~ Abdullah Khusairi
Nyinyir mengritisi untuk sebuah perubahan di era pemimpin banal adalah kesalahan terbesar. Puncak paling arif adalah diam. Membiarkan semuanya kebobrokan membusuk meruntuhkan banalitas yang terjadi.
Pernyataan di atas merupakan sikap apatis paling mungkin dilakukan ketika sebuah perubahan diharapkan cepat terjadi, ternyata tidak semudah dibayangkan. Membiarkan sebuah kekacauan hingga sampai hancur sendiri. Seperti membiarkan batu besar jatuh karena tidak ada kekuatan untuk menopangnya. Jika ditahan, siap-siap akan dilindasnya.
Pada sebuah kekacauan, ada sistem komunikasi yang macet, sehingga efek tidak terjadi sesegera mungkin. Kemacetan itu bisa dari seorang pemimpin, dari bawahan pemimpin, ada juga kemungkinan ketidakmauan dan ketidakmampuan. Mengritisi sebuah kekacauan hanya dapat dipandang sebagai kekacauan baru. Menambah keruh yang sudah keruh. Jadi, biarkan keruh itu lelah sendiri dan meredam secara alamiah.
Pandangan serupa ini biasanya dianggap pengecut bagi para pemberani menyambut batu besar jatuh yang siap menjadi tumbal sebuah perubahan. Juga bisa dipandang sebagai kaum apatis yang mengambil jalan penyelamatan dari pada ikut dilibas oleh batu besar itu.
Begitulah analogi jika nyinyir tanpa ada pertimbangan, sekalipun memperjuangkan sebuah perubahan dan kebenaran. Pada dasarnya setiap orang ingin melangkah menjadi lebih baik dalam berbagai perspektif kehidupan. Hanya saja, perubahan sering kali dipandang sebuah petaka bagi yang sedang menikmati kekuasaan.
Perubahan diharapkan terjadi bagi orang yang punya cita-cita untuk kebaikan, kepentingan sesama, serta kemajuan peradaban. Pada sisi lain, ada yang tak ingin berubah (status quo) menganggap tak perlu ada perubahan karena sudah menganggap sesuatu itu telah baik menurut pandangannya.
Kritisisme terhadap keadaan telah berkembang pesat seiring dengan berkembangnya saluran, kanal, media. Senyatanya itu bukanlah jaminan sebuah perubahan bisa cepat. Sebab ada kekuasaan yang dipegang oleh pemimpin-pemimpin yang tidak siap ada perubahan. Kritik dianggap mengganggu kemapanan.
Pemimpin yang tertutup cenderung membuat kemapanan itu berlangsung lama sehingga bisa menikmati kekuasaan. Pemimpin serupa ini cenderung menutup telinga untuk perubahan. Mereka ini tidak akan pernah sadar ada perubahan besar di luar tempat ia memimpin.
Sadar dan malu ketika ia jauh tertinggal karena tidak mau berubah. Seperti orang yang baru sadar, ternyata ia sedang tak berbaju di sebuah panggung.
Kini nyinyir berkembang mekar di media sosial. Apa-apa saja dituliskan. Sebagai pemilik akun, setiap orang bisa saja mengritisi, menyinyiri setiap kejanggalan keadaan sosial yang dilihat, dialami dan dirasakannya. Tetapi semua itu belum tentu bisa membuat perubahan secara cepat setelah nyinyir diluahkan ke media sosial. Bisa-bisa justru terbalik menjadi bahan bully kepada yang melakukan nyinyiran itu. Bisa dibenci, sekalipun itu kebenaran yang dinyinyirkan. Begitulah terbaliknya keadaan hari ini.
- Baca juga: Bijak Menggunakan Media Sosial
Hati-hati dalam nyinyir, ini penting. Jika tidak mau berurusan dengan kebencian, hukum, serta hal-hal yang bisa membuat hidup kita susah. Kekuasaan bisa berbuat apa saja dengan alasan bisa dibuat-buat jika diganggu. Kasus seorang yang menulis di lini masa tentang keluhannya diusir di sebuah masjid karena dianggap tidak pakai jilbab adalah pelajaran baru. Selain ada kasus-kasus sebelum ini.
Menjebak untuk sebuah bukti dari kemungkaran juga bisa disalahkan, oleh mereka yang terganggu atas jebakan tersebut. Beragam argumen yang keluar sehingga kemungkaran itu bisa menjadi benar, menjebak adalah pekerjaan yang keliru dan harus di‘bully’. Begitulah dahsyatnya media sosial hari ini. Bisa membolak-balik keadaan.
Media sosial dan media online bekerja sama dengan baik untuk menjalankan kuasa informasi mau ke mana hendak dijinjing. Kebenaran dibangun dengan berbagai model argumen, yang kadang-kadang memang terasa begitu dipaksakan. Oleh karena itu, perlu ada waktu berhenti untuk nyinyir di media sosial. Mendiamkannya, lalu fokus meningkatkan kearifan diri, merenungi perjalanan, menargetkan pencapaian, serta meneguhkan cita-cita pada kehidupan.
Ini mengubah perspektif dan memperbaiki dari dalam diri. Sebab perubahan sejatinya tidak bisa cepat karena senjata nyinyir. Mungkin suatu waktu, diam adalah lebih baik. Gunakan akun media sosial sebaik-baiknya dari pada dibuat susah olehnya. Kecuali sudah siap mental, siap berkorban dan memiliki kepentingan umum untuk perubahan sosial. Catatan lain, kekuasaan tidak akan pernah punya toleransi yang cukup terhadap gangguan, sekalipun itu nyinyir di media sosial. Salam. **.
*Penulis, Dosen Jurusan Komunikasi Penyiaran Islam (KPI) Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi (FDIK) Universitas Islam Negeri (UIN) Imam Bonjol Padang
**Gambar oleh www_slon_pics dari Pixabay