Alif, 16 tahun, harus menerima kenyataan pahit, sepeda motor kesayangan harus ditarik pihak finance karena tunggakan kredit. Pandemi Covid-19 telah membuat pendapatan ayahnya menurun drastis, karena itulah kredit motor yang digunakan untuk pergi ke sekolah itu macet. Pihak finance tak mau tahu, setelah menawarkan pelunasan tunggakan kredit empat bulan, kemudian enam bulan ke depan bisa tunda pembayaran.
Jangankan membayar untuk empat bulan, satu bulan saja sulit. Ayah Alif tak menjual buah keliling selama Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Keluarga kecil itu bertahan dengan tabungan seadanya. Alif kini menjadi kuli bangunan sembari menunggu sekolah. Sekolah kini online pula, Alif tak punya android.
Siang itu, siang yang pahit bagi remaja hitam manis ini. Pihak finance tanpa bersahabat, mengangkut motor kesayangannya. Antara pasrah dan tak rela, ia melihat motor di atas pick up kali terakhir hingga ke pengkolan penghabisan dari rumahnya. Emaknya mencoba menghibur tetapi hati lelaki itu terlanjur hancur. Kekecewaan yang kubur dalam tetapi raut wajahnya tak bisa sembunyi.
Inilah satu dari sekian banyak kisah pahit dalam kehidupan ketika wabah tiba. Alif memang tak sampai frustasi, ia kini bangkit dengan semangat baru. Bekerja kuli mengikuti sang paman. Berjanji dalam hati, ingin jadi orang kaya setelah ini. Ingin rajin sekolah agar nanti bisa dapat pekerjaan yang layak.
Kasus Alif harusnya tak terjadi jika saja bantuan terhadap warga terdampak bisa dikelola tepat sasaran dan layak nominalnya. Bantuan warga terdampak memang terasa tidak merata. Semua mengaku berhak tetapi jumlah bantuan sangat terbatas. Petugas hanya main aman dengan kriteria penentuan, tidak melihat lebih dekat, lebih berhak dari seharusnya. Tentu saja, yang punya kolega kuat akan mendapat jatah.
Di media sosial, bahu-membahu filantropi didengungkan, pemerintah dengan segenap cita rasa kepahlawanan mengucurkan bantuan, ada yang sukses ada yang tidak. Alif adalah kisah tidak sukses. Bukti dari abainya kekuasaan dapat melindungi kaum papa.
Perbankan dan finance memang diminta oleh pemerintah agar melonggarkan kredit, tetapi kenyataan yang paradoks terhadap Alif. Banyak informasi yang begitu manis di media massa dan media sosial senyatanya pada realitas kehidupan, senyatanya begitu pahit. Jangan-jangan gerakan filantropi hanyalah topeng para pemodal memagari kekayaan. Jangan-jangan relawan filantropi memang berladang di punggung kemanusiaan. Semoga itu salah.
Baca juga: Gagal Pakai Sistem Online
Pemerintah memang tidak perlu banyak diharapkan. Jangankan bantuan-bantuan yang memang teramat ribet sampai kepada orang yang berhak, mengurus antrian BBM di setiap SPBU saja tak mampu. Sementara itu, citra dan pesona pemimpin terus diumbar-umbar dalam rangka memenangkan pemilihan kepala daerah (Pilkada). Menyedihkan!
Alif adalah kenyataan. Bukan citra dan pesona. Tak pernah ia pergi ke media massa dan media sosial mengadu keadaan. Hanya tahu, hidup harus diterima dengan kenyataan sepahit apapun. Lalu bangkit berusaha kembali, membaca dan mencari kesempatan, walau bergelimang dengan rasa pahitnya untuk bertahan. Tidak ada pilihan.
Sungguh masih banyak rakyat yang seperti ini. Mereka tidak berharap banyak dengan pemerintah. Sudah apatis dengan kehadiran berbangsa dan bernegara. Mereka hanya tahu, bagaimana bisa bertahan dan bisa menata masa depan lebih baik dengan tangan sendiri. Selebihnya menyerah kepada Yang Maha Kuasa.
Saya punya harapan, begitu banyak kenyataan pahit ini diungkapkan media massa maupun viral di media sosial. Biar publik tahu kenyataan sebenarnya untuk mengalahkan citra pesona para bakal calon kepala daerah yang kian masif berkampanye terselubung. Berbagai cara dilakukan demi meraih simpati agar terpilih, lalu berkuasa lagi dan memerkaya pribadi, keluarga dan kolega. Menjauhkan cita-cita kehadiran sebuah negara dengan sistem yang diagungkan bernama demokrasi.
Para jurnalis harus turun ke lapangan, melihat dari dekat mereka yang terdampak, di rumah-rumah kumuh, rumah kontrakan, pekerja swasta, nelayan, petani, yang mereka dengan fasih menyebutkan dampak dari semua kebijakan pemerintah menghadapi pandemi Covid-19 yang secara langsung atau tidak langsung telah mendekatkan leher kehidupan mereka dengan tajamnya ancaman kematian. Para jurnalis harus turun membaca keadaan, mengurangi dan mungkin waktunya menjauhkan mikrofon kepada para politisi, pejabat, yang begitu mahir dan manis mengungkapkan sesuatu di media massa dan media sosial. Sementara, jerit perih dan pahitnya kehidupan begitu nyata di tengah masyarakat yang tidak beruntung oleh sistem yang ada. Ini semua membutuhkan kerja keras jurnalis untuk menyuarakan fakta tentang gagalnya sistem yang telah mengutamakan prosedur dari pada substansi.
Alangkah banyak orang seperti Alif, tetapi mereka tidak tahu jalan untuk menyuarakan aspirasi. Mereka cuma tahu, pejabat, pemimpin, politisi, begitu sibuk bekerja mengatasnamakan rakyat, namun hasilnya tak pernah sampai kepada orang-orang seperti Alif. Orang-orang seperti Alif bertahan tanpa ada sentuhan baik secara langsung maupun tidak langsung dari pejabat, pemimpin dan politisi di negeri ini.
Alif akan terus berjuang untuk tegak dan berdiri walau tertatih-tatih. Sekolah harus dijalani, berkuli harus dilakoni, sembari kian mengerti tentang manisnya berita-berita dari pejabat dan politisi tetapi begitu pahitnya fakta yang harus dihadapi dalam kehidupan ini. Itu pula yang membuatnya tak percaya dengan janji-janji manis yang pernah hadir di gendang telinganya selama ini.
~ Dr. Abdullah Khusairi, MA. Dosen Pengkajian Islam dan Komunikasi Massa di Jurusan Komunikasi Penyiaran Islam (KPI), Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi (FDIK) Universitas Islam Negeri (UIN) Imam Bonjol Padang.
~ Image by Alireza Leyli from Pixabay