Adat Minangkabau dan Prinsip Syariat Islam
Adat Minangkabau dan prinsip syariat Islam memiliki hubungan yang sangat erat. Salah satu contoh utama penerapan adat dalam kehidupan sehari-hari adalah pandangan Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi mengenai warisan.
Falsafah Hidup “Adat Basandi Syarak”
Masyarakat Minangkabau memiliki salah satu falsafah hidup yang terkenal, yaitu “Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah” artinya adat berdasarkan syariat, syariat berdasarkan pada Kitabullah.
“Syarak Mangato, Adat Mamakai” artinya segala bentuk ajaran agama, khususnya yang bersumber dari al-Quran dan Hadis diterapkan melalui adat.
“Syarak Batalanjang, Adat Basisampiang” artinya setiap perintah agama adalah tegas dan terang, tetapi setelah diterapkan dalam adat, dibuatlah peraturan pelaksanaan sebaik-baiknya.
“Adat yang Kawi, Syarak yang Lazim” artinya adat tidak akan tegak jika tidak diteguhkan oleh agama, sedangkan agama sendiri tidak akan berjalan jika tidak dilazimkan (Bahtiyar, 2019, p. 33).
Tradisi Cupak Ushalli
Adat Islam di Minangkabau terdapat konsep cupak ushalli, yaitu suatu perserikatan yang diberlakukan kepada masyarakat mengenai hukum akan suatu perkara yang bersangkutan dengan adat.
Cupak ushalli ini dianggap berasal langsung dari Allah Subhanahu wa Ta’ala untuk menyelesaikan segala sengketa dan permasalahan yang dipimpin oleh hakim sehingga menimbulkan keadilan dalam hukum.
Terkait hal ini muncul syarak di Minangkabau yang berbunyi nahnu nahkum bizzawahir wallahu yatawlassair (kita manusia hanya bisa menghukum yang lahir, sedangkan yang batin sebenarnya Tuhan Allah Yang Maha Mengetahui) (Bahtiyar, 2019, pp. 33–34).
Konsep Matrilineal dalam Tradisi Minangkabau
Tradisi Pemberian Gelar dalam Budaya Matrilineal
Terkait dengan budaya matrilineal Minangkabau, Salah satu tokoh ulama terkemuka Minangkabau yaitu Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi menerangkan bahwa merupakan sebuah aib jika ada orang Minang menyebut nama ayahnya.
Penyebutan pada ayah hanya sebatas pada gelar yang dimiliki oleh sang ayah. Itu mengakibatkan orang Minang tidak mengetahui nama asli dari ayah mereka.
Tradisi pemberian gelar kepada laki-laki di Minangkabau
Tradisi pemberian gelar kepada laki-laki di Minangkabau terjadi ketika salah seorang dari anggota meninggal maka diselenggarakan acara untuk memberi gelar pada anak kecil yang anggota keluarganya meninggal itu. sehingga laki-laki di Minangkabau dipanggil nama aslinya hanya sampai di mencapai akil baligh.
Gelar yang diberikan tadi diwariskan secara turun-temurun dalam keluarga itu dan tidak akan hilang atau diganti sampai orang bersangkutan meninggal dunia. Gelar-gelar tersebut berpindah-pindah dari gelar yang kecil ke gelar yang besar secara bergiliran (Bahtiyar, 2019, pp. 45–46).
Pandangan Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi tentang Harta Warisan
Fatwa Al-Minangkabawi tentang Harta Warisan
Pada kitab Ad-Da‟i al-Masmu‟ fi Raddi ala man Yurisu al-Ukhuwah wa al- Akhawat maa Wujudi al-Ushuli wa al-Furu‟, secara lebih rinci, Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi menerangkan penyebab ditulisnya karya ini adalah dari tradisi masyarakat kampung halamannya sendiri yaitu Minangkabau yang menggunakan budaya matrilineal yang mengatur bahwa harta warisan hanya diberikan kepada anak perempuan dan anak laki-laki tidak mendapat apapun.
Sehingga kaum pria meminta petunjuk al-Minangkabawi terkait benar dan salah dari tradisi yang telah mengakar lama itu dengan mengirim surat kepadanya.
Baca juga: Syekh Ahmad Chatib: Pelopor Pembaharu Islam
Awalnya Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi meminta bantuan dari gurunya, Bakri Syatha, untuk menuliskan fatwa-fatwanya. Namun karena pihak Minangkabau merasa belum puas atas jawaban yang diberi Bakri Syatha maka Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi sendiri menulis buku kecil untuk melengkapinya. Setelah ia tunjukan kepada Bakri Syatha dan disetujui maka dikirimlah karya tulis ini (Bahtiyar, 2019, p. 54).
Respon terhadap Tulisan Al-Minangkabawi
Perdebatan Ulama Minangkabau
Tulisan al-Minangkabawi ini membuat gempar dan beberapa ulama Minangkabau dengan tuduhan ia telah membawa agama baru. Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi sendiri menimpali dengan menganggap mereka tidak membaca bab faraidh dalam fikih.
Ia menegaskan, menurut syariat, anak laki-laki harusnya mendapat warisan yang lebih besar jumlahnya ketimbang anak perempuan. Kitab ini adalah karya pertama al-Minangkabawi yang menimbulkan perselisihan di Minangkabau. Tulisan ini dibuat pada tahun 1309 H. atau 1888 M.
Perbedaan Harta Pusaka Tinggi dan Harta Pencaharian
Perlu diingat bahwa Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi sangat kritis, dalam harta warisan. Ia malah tidak membedakan antara kedua jenis harta pusaka ini.
Menurutnya kedua harta ini harus tunduk kepada hukum faraid. Bekas murid-muridnya yang memperkenalkan pemikiran pembaharuan di Minangkabau mulai menyadari bahwa antara kedua jenis harta ini harus diadakan pembedaan.
Dalam hal harta suku, mereka melihat bahwa pemilik harta itu tetap ada, walaupun anggota suku sudah meninggal dunia, pemiliknya ialah suku itu sendiri.
Oleh karena itu tidak terdapat soal faraid, harta suku tetap lanjut, disebut harato pusako, sebagai harta wakaf bagi suku yang hasilnya dinikmati anggota suku bersangkutan menurut kesepakatan. Hanya harato pencaharian yang dapat tunduk kepada hukum faraidh. Harato pusako tadi mereka sebut harato musabalah.
Oleh sebab itu dalam soal itu Datuk Sutan Maharaja (pemilik pemberitaan pers di Padang) bekerja sama dengan kaum bangsawan di Padang untuk melawan pihak pembaharu, ia kehilangan alasan dengan perlawanannya dalam hal waris itu (Nofrianti & Mirdad, 2018).
Buya HAKA sebagai Sosok Penengah
Tanggapan Buya HAKA terhadap Harta Pusaka Tinggi
Setelah terjadi perdebatan antar kelompok agama dan adat bahkan sesama kelompok agama, akhirnya muncul sosok-sosok penengah yang berhasil mengkompromikan kedua pikiran yang berseberangan.
Dari sejumlah tokoh yang muncul, sosok yang dinilai lebih representatif adalah Syekh Abdul Karim Amrullah atau Buya HAKA. Ia menjadi bagian kontradiksi terhadap pernyataan yang disampaikan oleh Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi (Iskandar, 2022).
Terdapat sejumlah alasan untuk menjadikannya sebagai sosok representatif dalam konteks ini. Pertama, Buya HAKA adalah ulama paling menonjol di antara kelompok reformis Islam di Minangkabau.
Kedua, ia memiliki karya tulis tentang kewarisan dan tanggapan khusus mengenai pandangan Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi yang mengharamkan status harta pusaka tinggi.
Ketiga, ia menanggapi masalah ini dalam kapasitasnya sebagai orang Minangkabau yang tinggal dan bersosialisasi di ranah Minang. Berbeda halnya dengan tokoh-tokoh lain yang walaupun memiliki pikiran jitu tentang Minangkabau, tetapi fisiknya tidak berada di alam Minangkabau.
Penulis: Johan Septian Putra,
Peneliti dari Komunitas Magistra Kota Padang.
Email: johan.albusyro@gmail.com
Gambar Fitur Ilustrasi Keluarga Tradisional created by AI