Pakaian Orang Minangkabau

redaksi bakaba

Menurut pantun dagang tersebut, dapat dikutip tiga 3 fungsi khusus pakaian, pertama; panyaok tubuah. Ukuran kepantasannya disesuaikan dengan tuntunan syara’ (agama Islam).

Gambar oleh Steve Bidmead dari Pixabay
Gambar oleh Steve Bidmead dari Pixabay
Muhammad Nasir
Muhammad Nasir

~ Muhammad Nasir

Beberapa pekan lalu, orang-orang ramai berdebat. Viral pula tu! Debatnya tentang pakaian. Padahal sekarang ini zaman globalisasi yang mengusung dagangan food, fun dan fashion. Selera (makanan), hiburan dan trend berpakaian. Hanya saja, temanya terutama yang terkait pakaian entah ada atau tidak ada kaitannya dengan globalisasi, entahlah pula.

Satu kelompok membahas laku perempuan yang suka berbusana serba hitam, jilbab lebar berkibar-kibar dan suka bercadar. Maka orang lain (yang berlain paham dengannya) akan menganggap orang tersebut sebagai seorang fanatis muslim bahkan teroris.

Sungguh debat yang benar tapi sia-sia. Sesuatu debat yang mestinya sudah selesai berabad-abad lalu. Apa lacur, karena persoalan politik yang menunggangi miskinnya literasi beberapa kelompok yang terlibat debat itu, membesar juga efek debat itu.

Pertanyannya, apakah memang ada kaitannya antara pakaian dengan prilaku teror atau moderat, sesungguhnya perlu diuji.

Menurut ahli kebudayaan, pakaian secara umum berfungsi sebagai penutup atau pelindung badan, penanda identitas diri, penciri kebudayaan, pembeda jenis kelamin, pembeda posisi sosial, sebagai tanda kebesaran, sebagai perhiasan.

Menurut Haji Abdul Karim Amarullah (HAKA) alias Inyiak DR (baca de-er) atau Inyiak Rasul dalam Kitab Pertimbangan Adat (1921), adat dan syara’ adalah pakaian orang Minangkabau yang sebenarnya. Adat dan Syara’ pakaian alam, kata beliau. Sudah termasuk ke dalamnya busana fisik yang melekat di badan. Karena itu, ketentuan berpakaian mengikut kepada ketentuan adat dan syara’. Inyiak mengingatkan bahwa “adat dan syara’ kalau bacarai (bercerai) tandanya alam ‘kan binaso.

Sekarang mari berfokus ke masalah pakaian. Bagi orang Minangkabau sesuai dengan fungsi yang sudah umum di atas, ada pula fungsi yang lain. Ada sebuah pantun dagang yang berbunyi:

Dilamun badan ka lipek kain
Tibo di pakan manjalang subuah
Oto baranti di kantua samsat
Mananti tuan suruah ka mari
Ditanun banang manjadi kain
Tibo di badan panyaok tubuah
Tibo di batin manjadi sifat
Manjadi hiasan di labuah rami

Menurut pantun dagang tersebut, dapat dikutip tiga 3 fungsi khusus, pertama; panyaok tubuah. Ukuran kepantasannya disesuaikan dengan tuntunan syara’ (agama Islam). Oleh sebab itu, syarat pakaian sebagai penutup tubuh mestilah sesuai dengan ketentuan agama tentang aurat. Tentang bagaimana bentuk pakaiannya, tak ada ketentuan khusus.

Menurut fungsi yang pertama ini, semestinya selagi dapat menutupi tubuh dari cuaca, gangguan hewan tertentu dan tentu saja dapat menutup aurat, cukuplah. Zaman dulu, pakaian sebagai identitas kebudayaan memang teramat penting. Cara berpakaian dan bahan yang dipakai seseorang dapat menentukan daerah asalnya.

Kedua; simbol sifat dan prilaku serta kebesaran. Pakaian orang Minangkabau selalu mempunyai arti simbolis karena sifat dan prilaku orang yang memakainya akan terlihat dari cara ia berpakaian. Orang Minangkabau meletakkan sifat dan prilaku tanda kebesaran seseorang pada bentuk dan pola baju yang ia kenakan. Karena itu, pakaian tak dapat dipertukarkan.

Pakaian penghulu harus dibedakan dari pakaian anak kemanakan, karena melekat sifat, prilaku khusus (behavioural base on traditional code) yang menunjukkan status dan perannya di masyarakat. Misalnya, simak saja satu penjelasan tentang baju pangulu: baju hitam gadang tangan, langan tasengseng tak bangih, bukan karano dek pambangih, pangipeh angek nak dingin, pahampeh gabuak naknyo habih.

Menurut fungsi yang kedua ini, pakaian merupakan simbol sifat, prilaku dan tanda kebesaran. Laki-laki mesti berpakaian menurut kodratnya. Bentuknya ditentukan supaya berbeda dengan yang perempuan.

Demikian pula sebaliknya untuk pakaian perempuan, terlarang pula memakai pakaian laki-laki. Zaman sekarang, perempuan sudah banyak pula memakai baju dengan pola gunting pria. Hanya saja, sedapat mungkin seorang laki-laki jangan sampai memakai pakaian perempuan, jika tak ingin disebut BG alias bujang gadih alias bencong.

Ketiga, tanda perhiasan orang Minangkabau tidak mengabaikan perkembangan mode.

Pakaian juga menunjukkan perhiasan agar terlihat menarik dan menunjukkan tingkat kemakmuran yang didapatkan oleh anggota kaumnya. Ternyata tak ada halangan bergaya dengan mengembangkan bentuk estetika dan mode berpakaian, selagi dua fungsi di atas terpenuhi. Boleh berias dan bergaya.

Dalam pengertian yang ketiga ini, selain berfungsi untuk memperindah, juga bertujuan untuk memperlihatkan tingkat kemampuan ekonomi penggunanya. Adalah aib bagi orang Minangkabau bila anggota kaumnya tak dapat berhias berpakaian baik dan tak dapat menunjukkan kebesaran kaumnya di tengah masyarakat. Bukan untuk gaya-gayaan saja, bila nyampang berjalan anggota kaum Minangkabau di labuah nan goloang (keramaian), mendapat tuah pula kaumnya. Ada pandai mengurus

Kembali ke isu awal tulisan ini. Di Minangkabau, bentuk dan jenis pakaian memang dikaitkan dengan identitas dan integritas penggunanya. Apakah muslimah bercadar sebagai pakaian teroris harus pula dibuatkan kaidahnya? Untung saja bapak yang kapatang (kemarin) itu sudah menyudahi perdebatan.*

*Penulis, Dosen Fakultas Adab dan Humaniora UIN Imam Bonjol, Padang. muhammadnasir@uinib.ac.id
**Gambar oleh Steve Bidmead dari Pixabay

Next Post

Pemko Reaktif, BPN Hormati Putusan PTUN

"Masalah konferensi pers, itu tanggung jawab Pemko karena Pemko yang mengadakan. Kami, BPN tidak akan mengadakan acara pertemuan semacam itu dalam menyikapi putusan PTUN tersebut," kata Yulizar.
Kepala ATR/BPN Bukittinggi - Yulizar Yakub diruang kerjanya - FR/bakaba.co