bakaba.co | Bukittinggi | Pedagang pemilik/pemegang kartu kuning toko korban kebakaran Pasar Atas Bukittinggi, kembali mendatangi DPRD Kota Bukittinggi. Kebijakan sepihak Pemerintah Kota tanpa memusyawarahkan dengan pedagang pemilik toko dan pihak-pihak terkait, pedagang, kembali dipersoalkan.
“Kami meminta DPRD sebagai wakil rakyat, sesuai fungsi mengontrol eksekutif, mengingatkan Pemko yang sejak awal selalu bertindak sepihak. Semua tindakan yang diambil Pemko, Walikota tanpa bermusyawarah merugikan masyarakat pedagang pemilik toko pasar atas korban kebakaran.”
Demikian salah satu masalah urgen yang disampaikan Ketua Perhimpunan Pemilik Toko Korban Kebakaran Pasar Atas (PPTKKPA) Bukittinggi, Yulius Rustam, Rabu, 17 Juni 2020 dalam pertemuan dengan DPRD Bukittinggi.
Pertemuan antara perwakilan 763 pedagang yang terhimpun dalam PPTKKPA dengan DPRD Bukittinggi, sidang dipimpin Nur Hasra, jalannya acara dimoderasi Rusdi Nurman. Anggota DPRD yang hadir dari Gerindra, Golkar, PKS, Demokrat, Nasdem, PPP. Sementara dari pihak Pemko hadir Kadinas Koperasi, UKM yang juga Plt. Asisten I Sekda M. Idris, Kabiro Hukum Pemko Nano Dwi Kurnia Sari, SH.
Dalam paparannya, Yulius Rustam mengawali bahwa Pertokoan Pasar Atas terbakar 30 Oktober 2017. Sejak awal, untuk penetapan kios penampungan pedagang korban kebakaran, Walikota Bukittinggi sudah bersikap sepihak, tidak mau terbuka, dan bermusyawarah dengan seluruh pedagang pemegang hak kartu kuning.
Sikap Pemko dan Walikota sekarang, itu sangat berbeda dengan sikap dan kebijakan Walikota Bukittinggi ketika Pasar Atas terbakar habis tahun 1972. Saat itu Bukittinggi dipimpin Walikota Akmal, SH. Waktu itu, tidak ada uang Pemko terpakai untuk membangun. Pembangunan ditalangi Bank BNI, dan 763 pemilik toko membayar ke BNI secara cicil, dan ada juga yang tunai sebesar Rp 5 juta per petak toko. Dana sebesar itu setara 2,5 kg emas.
“Kebakaran tahun 1972, semua rencana dan langkah dimusyawarahkan Walikota dengan pedagang, dengan DPRD kota, semua stakeholder kota dilibatkan. Semua langkah terbuka dan transparan,” papar Yulius Rustam.
Sekarang? Pemko dan Walikota bertindak sepihak, tidak mau bermusyawarah, pedagang dibenturkan, laporan ke pusat dibuat seakan-akan semua telah melalui musyawarah, tidak transparan. Sering membuat pernyataan, jika tidak ada yang setuju dengan kebijakan Pemko, laporkan ke jalur hukum.
Baca juga: Soal Toko Pasar Atas, Perpres 64/2018 Diabaikan
“Setiap surat yang kami sampaikan terkait hak kami, tidak dilayani Pemko, Walikota. Inilah contoh nyata pemimpin yang otoriter, teganya kepada masyarakat. Makanya, kami ke DPRD lagi meski kami tahu DPRD juga tidak dilibatkan,” kata Yulius Rusman.
Dalam Peraturan Presiden Nomor 64 tahun 2018 yang diterbitkan Presiden pasca kebakaran Pasar Atas, jelas dari judulnya, tentang: Renovasi. Pada pasal 7 ayat ( 1 dan 2) Perpres menyatakan:
Pemerintah Daerah Kota Bukitinggi wajib memberikan prioritas kepada koperasi, usaha mikro, dan menengah yang telah terdaftar sebagai pedagang lama di Pasar Atas Bukittinggi (ayat 1)
Pemerintah Daerah Kota Bukitinggi dalam memberikan prioritas kepada koperasi, usaha mikro, dan menengah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan tugas dan fungsinya menetapkan harga pemanfaatan yang terjangkau (ayat 2)
Apa artinya itu: renovasi bukan pembangunan, Pemko wajib prioritaskan pedagang lama, menetapkan harga pemanfaatan yang terjangkau. “Apakah semua ketentuan itu membolehkan Pemko, Walikota menyimpulkan, mengklaim sendiri secara sepihak dan bertindak sendiri tanpa bermusyawarah dengan pedagang lama. Kami ini pedagang lama, sah memegang hak atas toko yang dulu kami beli,” ujar Yulius Rustam kepada bakaba.co
Banyak Masalah
Pertokoan Pasar Atas Bukittinggi telah dibangun, dananya dari pemerintah pusat. Pihak kontraktor akan menyerahkan hasil kerjanya ke Pemerintah Pusat/Kementerian PUPR. Tanpa menunggu penyerahan dari pemerintah pusat ke Pemko Bukittinggi sebagaimana amanat Peraturan Presiden Nomor 64 Tahun 2018, Walikota dan aparatnya sudah mengekspos bahwa toko-toko akan disewakan, hak pemilik toko pemegang kartu kuning sebelumnya dihilangkan. Alasan Pemko, pertokoan Pasar Atas adalah milik pemerintah, tanah sudah disertifikatkan secara sepihak tanpa diketahui Syarikat 40 Nagari AgamTuo, pemilik hak tanah sebelumnya.
Pemko pun menyatakan segera me-lotting toko. Pedagang pemilik kartu kuning sampai saat tidak tahu, berapa ukuran petak-petak toko, bagaimana pembagian blok, apakah akan campur-aduk saja? Juga, kenapa disewakan, padahal pedagang membeli toko-toko itu dulunya, setelah terbakar kenapa hak pemilik dihilangkan dan akan dijadikan penyewa saja. Peraturan Presiden mengatakan, Pasar Atas itu direnovasi, bukan pembangunan.
Baca juga: Hak Terancam Hilang, Pedagang Pasar Atas Mengadu ke Presiden
“Bantuan pusat turun untuk merenovasi karena pasar terbakar, kenapa Pemko menghilangkan hak pemilik sebelumnya. Dana pusat itu untuk membantu pedagang yang tokonya terbakar atau membantu Pemda? Jika Pemko secara sepihak mengklaim Pertokoan Pasar Atas sekarang milik pemerintah, artinya apa? Pedagang yang rugi besar karena toko dan barang dagangan terbakar, Pemda sekarang yang dapat untungnya,” papar Yulius Rustam.
Dalam pertemuan dengan DPRD, Yulius Rustam menyatakan, jika tidak terjadi kebakaran, apakah pemerintah pusat mau menurunkan dana Rp 292 miliar itu. “Cobalah Pemko itu buat proposal pembangunan pasar, yang baru sama sekali di atas tanah kosong, ajukan ke pemerintah pusat. Saya yakin, tidak akan dikabulkan pemerintah pusat,” kata Yulius Rustam.
Selain itu, tanah pusat pertokoan Pasar Atas Bukittinggi yang disertifikatkan secara sepihak oleh Pemko Bukittinggi, juga tidak bisa dianggap sepele. Masyarakat adat 40 Nagari AgamTuo yang memiliki tanah Pasar Syarikat AgamTuo sejak pasar ada, jauh sebelum Belanda datang, juga akan segera menggugat sertifikat yang diterbitkan secara sepihak tersebut.
“Pernyataan Walikota yang arogan, gugat jika tidak setuju, sekarang apa yang kita lihat. Sudah berapa kali Pemko dikalahkan masyarakat di pengadilan. Kami pun, jika Pemko tetap merasa benar sendiri, akan menggugat ke jalur hukum,” kata Yulius Rustam.
Baca juga: Pedagang Pasar Atas Layani Tantangan Walikota
Respon Pemko
Dari persoalan yang disampaikan pengurus PPTKKPA, pengatur Lalu lintas sidang Rusdi Nurman memberi kesempatan pada perwakilan Pemko Bukittinggi untuk menjawab dan menyampaikan alasan kebijakan Pemko dan Walikota terkait Pertokoan Pasar Atas Bukittinggi.
Pelaksana Tugas (Plt). Asisten I Sekda M. Idris yang menyatakan diri sebagai utusan Sekda/Pemko, terkait disertifikatkannya tanah Eks. Pasar Syarikat 40 Nagari AgamTuo, atas nama Pemko Bukittinggi dasarnya adalah UU Nomor 9 Tahun 1956 tentang Pembentukan Daerah Otonomi Kota-Besar dalam Lingkungan Daerah Propinsi Sumatera Tengah.
M. Idris menyatakan, dengan ditetapkannya Bukittinggi (juga Padang dan Jambi), seluruh aset bergerak dan tak bergerak milik pemerintah diserahkan ke Pemda Bukittinggi. “Itu dasar hukumnya mensertifikatkan tanah Pasar Atas,’ kata Idris.
Untuk melihat dasar yang dijadikan alasan itu, bakaba.co membuka UU Nomor 9 Tahun 1956, pada pasal 12 ayat (1) tertulis, lengkapnya: Tanah, bangunan, gedung dan barang tak bergerak lainnya milik Pemerintah yang dibutuhkan Kota-Besar untuk memenuhi tugas kewajibannya menurut Undang-Undang ini, diserahkan kepada Kota-Besar dalam hak milik atau diserahkan untuk dipakai atau diserahkan dalam pengelolaan guna keperluannya.
Baca juga: Komisi II DPR-RI Terkejut Lihat Cara Terbitnya Sertifikat
Sementara obyek tanah Pasar Atas eks. Pasar Fond Syarikat 40 Nagari AgamTuo, selama ini tidak pernah berubah status menjadi tanah Pemerintah. Tidak pernah niniak mamak 40 Nagari AgamTuo menyerahkan tanah itu ke pemerintah pusat.
Pemko Bukittinggi melalui pernyataan Sekda mengklaim saja tanah Pasar Atas eks. Pasar Fond tersebut sebagai tanah negara yang telah diserahkan ke pemerintah kota sejak tahun 1945. Dan baru 17 Januari 2018, setelah Pasar Atas terbakar, diurus sertifikatnya. BPN menerbitkan Sertifikat Hak Pakai (SHP) Nomor 21, Februari 2018, dengan luas tanah 18.740 M2.
Sementara Kabiro Hukum Pemko Nano Dwi Kurnia Sari, SH. menjawab bahwa toko-toko di Pusat Pertokoan Pasar Atas statusnya selama ini adalah hak pakai/sewa. Dalam setiap dokumen yang dipegang pedagang disebut kartu kuning itu tertera ketentuan; tidak boleh disewakan, dipindahtangankan, dijual dan dijadikan jaminan/borg pinjaman.
“Sekarang Pemko tidak lagi mengikuti itu, tapi toko-toko yang baru dibangun akan disewakan, yang jangka waktunya per satu tahun. Aturan menentukan, aset pemerintah hanya bisa disewakan,” kata Nano Dwi Kurnia Sari.
Jawaban Nano Dwi Kurnia Sari direspon Young Happy, salah seorang pemegang hak kartu kuning Pasar Atas. Young Happy mengatakan, pencantuman ketentuan di kartu kuning itu harus dikaitkan dengan Perda Nomor 22 Tahun 2004 tentang Pengelolaan dan Retribusi Pasar. Dalam Perda itu tidak ada larangan pemegang hak kartu kuning menyewakan, memindahtangankan. Juga tidak ada ketentuan batas waktu. Kewajiban pemegang kartu kuning adalah membayar retribusi. Tidak ada sewa.
Baca juga: Hak Pedagang Dilanggar, Komnas HAM minta Presiden Bertindak
“Baca pasal sepuluh ayat satu, dua, dan tiga. Mau dipindahtangankan, disewakan, diwariskan, dijadikan borg bank oleh pemegang kartu kuning, boleh dengan terlebih dahulu dapat izin dari walikota. Perda itu sampai kini masih berlaku. Jadi, bukan tidak boleh,” ujar Young Happy.
Tanggapan Dewan
Dari semua permasalahan dan respon pihak Pemko, para anggota DPRD yang hadir juga memberikan tanggapan dan saran. Anggota dewan Bukittinggi menilai, persoalan Pasar Atas sejak awal sudah muncul. Sampai sekarang, telah dua tahun lebih sejak terbakar, masalah tidak adanya komunikasi dan keinginan bermusyawarah dari pemerintah, masih bergulir dan diaspirasikan pedagang ke DPRD.
“Melalui wakil Pemda yang hadir, kami minta sampaikanlah dengan jernih apa-apa yang menjadi persoalan dari masyarakat pemilik toko Pasar Atas ini. Mestinya tidak ada kusuik yang indak bisa diselesaikan. Mari berpikir untuk kepentingan masyarakat yang lebih luas, agar tidak ada pihak yang dirugikan. Mestinya semua memperoleh keuntungan dan kebaikan, baik masyarakat pedagang maupun pemerintah,” kata Rusdi Nurman sebelum mengembalikan forum ke pimpinan sidang. Pertemuan itu berlangsung hampir dua jam, ditutup menjelang waktu zhuhur.
~ aFS/bakaba