Oleh Irwan Rajo Basa
Sebagai seorang pemimpin, baik dalam konteks sosial, politik, apalagi agama, hijrahnya Muhammad pada tahun 622 M menjadi awal kegiatan politiknya, kata W. Montgomery Watt. Kegiatan politik Muhammad tidak melalui tulisan, melainkan ia mempraktikkan langsung tata kelola bernegara melalui perbuatan dan lisannya sehingga diperoleh pengalaman riil tentang konflik dan kepentingan yang harus dikelola secara adil dan bijaksana.
Kedudukannnya sebagai kepala negara yang tidak dipilih dari proses pemilihan, Muhammad secara otomatis ditempatkan oleh masyarakat sipil di Mekah dan Madinah untuk memimpin masyarakatnya. Dengan keswadayaan dan pengalaman sosial masyarakat yang telah terbentuk sebelum kehadirannya, masyarakat sipil menyadari Muhammad adalah pribadi yang mumpuni untuk memimpin keteraturan sosial yang dicita-citakan masyarakat sipil Mekah dan Madinah.
Muhammad sangat memahami tentang keyakinan dan asas ketuhanan politeistis yang berlaku di masyarakat Mekah dan Madinah. Mendobrak keyakinan ketuhanan dan sistem sosial dirasakan sebagai perjuangan yang berat dan luar biasa. Karena tidak saja mendobrak kejahililiyahan yang telah mapan namun juga menghancurkan tradisi politik oligarki kesukuan yang sudah mengakar di masyarakat.
Kondisi ini harus dihadapi oleh Muhammad karena ia bukan seorang filosof yang bertahta di menara gading para ahli politik. Breatly Hiler mengatakan dalam bukunya “Orang-Orang Timur dan Keyakinan Mereka”, Muhammad adalah seorang kepala negara dan punya perhatian besar pada kehidupan rakyat dan kebebasannya.
Muhammad bereksperimen langsung untuk membentuk sebuah sistem yang tidak saja hanya super body, power full dan berwibawa, melainkan juga memperkuat jiwa, kesadaran dan politik akal sehat untuk menyeimbangkan antara kekuasaan dengan jiwa manusia. Inilah yang dimaksud oleh Dr. Zuwaimer, orientalis Kanada, tentang Muhammad sebagai seorang reformis.
Kembali kepada fungsi double coint Muhammad, satu sisi berwajah manusia biasa keturunan Arab yang hidup dengan tradisi politik monarki absosut, di sisi lain, Muhammad adalah manusia dengan kelebihan spiritual yang murni dan suci dengan tanggung jawab menyelamatkan peradaban manusia yang telah terkontaminasi oleh logika sesat sekuler dan materialistis.
Penolakan dilakukan oleh Ali Abd al-Raziq tentang kepemimpinan politik Muhammad, di mana Muhammad hanyalah seorang Nabi dan Rasul yang tidak memiliki preferensi politik atas fungsi kenabiannya. Tidak berbeda dengan Khalid Muhammad Khalid yang menegaskan Islam adalah agama bukan negara sebagaimana ia tulis dalam bukunya ‘Min Huna Nabda’.
Muhammad sebagai pelanjut generasi politik persukuan Quraisy dalam kacamata sekularis, keduanya sama-sama berpendapat tentang Muhammad hanyalah Nabi dan Rasul tanpa mendapatkan titah politik dari Tuhan.
Menyikapi kesimpulan itu, dengan membandingkannya kepada masa 22 tahun paska kenabian serta perluasan kekuasaan sekuler politik di berbagai wilayah di Timur Tengah, melalui penunjukan pemimpin-pemimpin di tingkat lokal, kalaupun itu tetap dipandang sebagai kekuasaan penundukan atas nama agama dan kepentingan Tuhan, pada praktiknya Muhammad tetap menjadi simbol dari seorang kepala negara yang memiliki otoritas politik dengan kekuasaan yang tidak lagi hanya di Mekkah dan Madinah. Ekspansi politik Muhammad tidak dapat ditolak sebagai bentuk dari penguatan otoritas dan pengakuan terhadap Muhammmad sebagai kepala negara.
Perluasan kekuasaan yang lahir dari semangat pengadaban yang dilakukan Muhammad tidak lain sebagai langkah untuk membentuk masyarakat sipil yang terpatron oleh Islam atau keselamatan. Konsepsi keselamatan yang digagas Muhammad bersifat sakral dan profan dengan memperkokoh semangat kemanusiaan yang merdeka.
Oleh karena itu, dalam konteks kemanusiaan ilahiyyah, Muhammad dalam perspektif filosofis merupakan the unity of prophecy dan the unity of humanity, selalu menegakkan sikap egaliter dan moderat tanpa ada jarak dan batasan kesakralan untuk membedakan dirinya dengan para sahabat-sahabatnya. Muhammad berhasil menghadirkan model kepemimpinan populis.
Muhammad mendistribusikan kekuasaannya kepada para partner-partnernya yang disepakati oleh para elit politik yang dekat dan selalu dimintakan pendapatnya oleh Muhammad. Para elit Islam awal mendapatkan hak-hak dan otoritas untuk berargumen menelusuri sistem terbaik yang dipahami dan dimengerti oleh para kader-kader pemimpin Muhammad. Partner politik Muhammad disimbolkan sebagai sahabat. Dengan para sahabatnya itu tradisi moderasi dalam syura terbentuk secara manusiawi.
Syura menjadi satu-satunya lembaga yang bersifat Islami dan demokratis guna menggodok hukum, permasalahan, harapan dan tindakan serta pengambilan police terbaik untuk masyarakat sipil. Dalam syura setiap orang mempunyai hak bicara, berpendapat, setuju ataupun menolak.
Tidak ada paksaan untuk mesti berpendapat sama dan seragam. Perbedaan merupakan rahmat atas akal pikiran yang diberikan Tuhan. Tidak ada hukuman kepada orang-orang yang berbeda atas hal-hal yang bersifat aqliyah dan profan. Syura karenanya menjadi simbol kewibawaan politik Muhammad yang sampai sekarang hadir dalam konteks modern dengan berbagai bentuknya.
Kehadiran parlemen dan partai politik dewasa ini, melalui lembaga syura dalam konteks modern berupa parlemen dan partai politik, sebenarnya tidak terlalu berbeda dengan gagasan pembaharuan politik yang dibawa Muhammad. Monarki absolut Arab Qurays yang telah mengakar dalam kultur Arab, sebagaimana kemudian tumbuh subur paska Khulafa al- Rasyidin, jelas penyimpangan nyata yang dilakukan oleh umat Islam sepeninggal Muhammad.
Kita memang tidak sependapat dengan Faraq Fouda dalam bukunya yang berjudul “Al-Haqiqah Al-Gaibah” yang mengatakan Islam adalah agama nonnegara. Sebab Islam dalam proses sekularisasi adalah way of live, sedangkan dalam konteks asketis yang sakral Islam merupakan keyakinan kepada tatanan kehidupan yang monoteistik.
Agak sulit memang untuk dengan mudah menjustifikasi jika dalam kehidupan sosial masyarakat yang beragama, komunitas itu tidak membutuhkan suatu sistem sosial politik. Sebab, secara teoritis, manusia adalah makhluk politik, di mana politik sebagai alat yang paling tepat dipergunakan untuk menata kepentingan yang berbeda dan ideologi yang beragam serta kepentingan dan orientasi sosial yang berbeda yang dalam waktu bersamaan harus saling mengisi.
Prinsip syura yang dikembangkan Muhammad menjadi saluran ide dan gagasan perbedaan. Jika syura berpijak kepada substansi kedaulatan dengan gagasan utamanya kepada sikap al-hanafiyatu as-samhah, maka demokrasi adalah teknis pengelolaan kedaulatan rakyat dengan cara-cara yang berdasarkan hukum. Di mana tidak ada toleransi atas sikap diktator maupun oligarki.
Sebagaimana dikatakan M. Natsir, demokrasi harus di bawah hukum agar tidak disalahgunakan untuk kepentingan-kepentingan yang potensial dilakukan oleh kekuasaan itu sendiri. Hatta juga menegaskan, demokrasi itu hanya alat untuk mewujudkan kepentingan yang lebih luas yaitu kedaulatan rakyat. Sebab itu, kedaulatan merupakan supremasi tertinggi dalam suatu negara dan sekaligus menjadi identitas penting dari suatu negara untuk membedakannya dengan monarki dan oligarki.
Praktik-praktik politik Muhammad, baik di Mekah maupun di Madinah bukanlah ilusi politik yang absurd. Muhammad bukan sekedar pendakwah yang misinya semata-mata setiap orang untuk bertauhid. Visi dan misi Muhammad yang bersifat universal itu berdaya jangkau luas, mengejar masa depan umat manusia. Melalui prektik dirinya sendiri, ia ajarkan politik kepemimpinan yang dapat memperkuat sebuah sistem politik atau negara. Muhammad tidak mungkin menguasai dan mengatur seluruhnya secara personal, ia distribusikan kekuasaan politiknya, bahkan juga hak kenabian dan kerasulan kepada para sahabatnya yang ditugaskan menjadi gubernur di berbagai daerah.
Melalui pengakuan Muadz ibn Jabal, tentang kepatuhan kepada sumber hukum, dengan terang Muadz berkata akan menggunakan akal cerdasnya untuk menetapkan hukum, jika dalam Quran dan sunnah nabi Muhammad belum ada. Artinya, Muhammad menyadari sepenuhnya akan ketidakmungkinan mengelola kekuasaan jika tidak didistribusikan dengan keotonomiannya melaksanakan kekuasaan di berbagai wilayah yang begitu luas.
Ketidaksetaraan di tengah-tengah masyarakat, baik karena kedudukan sosial, ekonomi dan maupun hak-hak prerogatif yang diperoleh telah menimbulkan ketimpangan-ketimpangan sosial. Ketimpangan sosial itu jelas tidak mungkin dihapuskan, melainkan hanya dapat dikelola dengan bijaksana agar keadilan dapat ditegakkan.
Menurut Muhammad Baqir ash-Shadr dalam “Introduction to Islamic Political System” ketimpangan sosial yang telah terjadi jauh berabad-abad itu, setiap nabi Allah, dengan cara mereka sendiri mencoba menata pemerintahan yang adil dan paripurna sebagai bagian dari misinya. Barulah pada masa Muhammad, bentuk pemerintahan yang paling kongkrit dan murni ditegakkan sebagai titik balik dari sejarah pemerintahan yang monarkis dan dehumanisasi. (bersambung)
Penulis; Irwan Rajo Basa, Peneliti PORTAL BANGSA institute