[1] Membangun Watak Baru Hukum Islam

redaksi bakaba

Hukum Islam syari’ah yang dinukilkan dalam Al-Qur’an dan Sunnah dengan sifat orisinalitasnya, mencerminkan secara langsung tentang ketetapan-ketetapan Tuhan dan Nabi. Ketetapan-ketetapan itu bersifat pasti dengan lingkup pengaturan yang jauh lebih luas dari kemampuan studi yang dilakukan oleh para ahli hukum konvensional.

Gambar oleh Afdhal Haris dari Pixabay
Gambar oleh Afdhal Haris dari Pixabay
Irwan, S.H,I.,M.H
Irwan, S.H,I.,M.H

SUDAH 10 abad lebih karya-karya ulama besar Syafi’i, Hambali, Hanafi, Maliki, dan Dzahiri menjadi masterpiece dalam hukum Islam. Keberhasilan para ulama besar itu meletakkan fondasi hukum Islam, maka upaya penemuan hukum Islam dianggap telah berakhir. Peletakan dasar yang kokoh oleh para ulama tersebut, dianggap menjadi awal tertutupnya pintu ijtihad.

Sekalipun berbagai karya hukum bermunculan, karya-karya yang lahir kemudian tidak lebih hanya sebagai bentuk interpretasi atau syarah dari karya-karya sebelumnya, dengan kecenderungan memilih aliran hukum kepada salah satu ulama. Kecenderungan itu berakibat kepada hilangnya penemuan-penemuan konstruktif terhadap esensi hukum Islam, seperti dimaksudkan oleh Al-Qur’an dan Sunnah.

Pluralisme Hukum Islam

Konsepsi pluralism dalam hukum Islam banyak ditolak dengan alasan bahwa para mujtahid memiliki dasar yang sama, yaitu Al-Qur’an dan Sunnah. Meskipun para mujtahid melahirkan ragam pandangan mengenai substansi hukum yang termaktub di dalam kedua sumber itu, hal demikian tetap tidak mampu menyisihkan pandangan tentang kebelum-matangan produk hukum yang dilahirkan.

Bagi para juris yang hadir kemudian, ada kesan ketidakabsahan pendapat dan temuan hukum mereka apabila tidak bersandar kepada pendapat-pendapat terdahulu. Bahkan ada kecenderungan mengenai justifikasi, pendapat mereka yang kemudian benar-benar memiliki korelasi dengan salah satu ulama awal tersebut.

Pemapanan terhadap pendapat ulama terdahulu menjadi begitu penting, sehingga setiap ide atau gagasan hukum baru, sekalipun berasal dari sumber yang sama (Al-Qur’an dan Sunnah), apabila tidak ditarik dari garis hukum pendapat ulama awal, gagasan dan temuan hukum itu dianggap menyimpang atau bid’ah.

Ketetapan

Hukum Islam syari’ah yang dinukilkan dalam Al-Qur’an dan Sunnah dengan sifat orisinalitasnya, mencerminkan secara langsung tentang ketetapan-ketetapan Tuhan dan Nabi. Ketetapan-ketetapan itu bersifat pasti dengan lingkup pengaturan yang jauh lebih luas dari kemampuan studi yang dilakukan oleh para ahli hukum konvensional.

Al-Qur’an, menurut Werner Menski diwahyukan bukan dalam sebuah ruang hampa dialektika. Melainkan memasuki ruang sosio-kultural yang sesak di Timur Tengah pada awal abad ke-7 M. Kehadirannya memberikan sistem etika sosial baru yang dengan tegas memperbaiki perilaku tradisional masyarakat Mekkah, dengan kaidah wajib, sunnah, haram, dan boleh. Al-Qur’an dengan tegas menghancurkan cara pandang etika chthonic dan loyal-cosmos. Intinya, Al-Qur’an menciptakan ruang baru reformasi sosio-kultur.

Etika peradaban Arab yang jahiliyyah, sebagai fondasi kehadiran al-Qur’an, melalui penyusunan hukum oleh para juris dengan mengonstruksi metodologis penemuan hukum mereka berdasarkan kondisi sosio-kultur yang masih memiliki pengaruh jahiliyyah, mesti diakui telah berhasil menciptakan produk-produk luar biasa dalam aspek hukum, khususnya interpretasi para juris tersebut terhadap kontekstualisasi al-Qur’an di masa itu.

Pelopor

Muhammad Rasulullah S.A.W merupakan arbitrator utama dalam menyelesaikan berbagai persoalan kemanusiaan ketika etika tradisional Arab masih mempengaruhi prilaku umat Islam awal untuk disesuaikan dengan Al-Qur’an.

Fungsi Muhammad Rasulullah S.A.W sama sekali tidak ditolak, bahkan dengan perilakunya, Al-Qur’an diimplementasikan secara riel dan konsisten. Regulasi-regulasi yang dibuat Muhammad Rasulullah S.A.W untuk melengkapi wahyu, menjadi sumber hukum tambahan bagi umat Islam.

Dengan wafatnya Rasul, kehadiran individu-individu juris, dengan dukungan kekuasaan khalifah, putusan-putusan hukum menjadi semakin banyak, dan cenderung dipersempit oleh nalar individual para jurist.

Fatwa-fatwa para juris, pada akhirnya turut mendorong tenggelamnya elemen relegius dan esensial dari Al-Qur’an. Bahkan sunnah pun kemudian menjadi kacau antara perkataan, perbuatan, ketetapan nabi dengan pendapat-pendapat para sahabat yang seakan-akan benar-benar berasal dari Muhammad.

Lantas, mungkinkah mengacu kepada pengalaman historis para juris dalam menyusun regulasi syari’ah 10 abad silam itu, dengan titik tolak kultur etik Timur Tengah dapat digeneralisasi menjadi sejarah masa depan bagi terbentuknya watak baru hukum Islam berdasarkan keorisinilan Al-Qur’an dan sunnah nabi yang terintegralistik.

Pembaruan

Apakah tidak mungkin untuk membongkar kembali upaya eksplorasi tabiat tradisi hukum Islam lama itu, sehingga watak kekinian (kontekstual) membumikan Al-Qur’an dan sunnah integralistik, mampu menempatkan Al-Qur’an dalam semangat komprehensif tilkal ayyami nudawwiluha bainannas (pergantian waktu dalam peradaban manusia). Positifisme hukum Islam melalui konsep tagayyur sejatinya dapat menjadi entri masuknya peluang penciptaan watak baru hukum Islam.

Jujur diakui, semangat keadilan dan kebenaran dalam Al-Qur’an dan Sunnah terintegralistik, cenderung diabaikan, sehingga watak hukum Islam tradisional menutup kemungkinan-kemungkinan penerapan hukum Islam. Kelemahan utama itu, terletak pada penyeragaman instrument sosial masa lalu dan ke depan oleh para juris awal, sehingga menempatkan Al-Qur’an dalam kurungan logika sempit dan terbatas.

*Penulis, peneliti PORTAL BANGSA
**Gambar oleh Afdhal Haris dari Pixabay

Next Post

Novel Baswedan: Berantas Korupsi, Tidak Boleh Berhenti

"Selagi kita bisa, selagi kita mampu, baiknya perjuangan memberantas korupsi harus terus dilakukan, tidak boleh berhenti," kata Novel Baswedan
novel baswedan - bakaba.co

bakaba terkait