Pilkada Berlanjut, Pilkades Mengapa Ditunda?

redaksi bakaba

Penundaan Pilkades serentak dan penundaan pengisian Bamus Desa ini, disarankan Mendagri dalam kedua suratnya, dilakukan Bupati/Walikota sampai dicabutnya Penetapan Status Keadaan Tertentu Darurat Bencana Wabah Penyakit akibat Covid-19 di Indonesia.

Pilkades
Image by Mote Oo Education from Pixabay

Catatan:
Fajar Rillah Vesky

Panggung demokrasi di Indonesia seperti mengalami anomali akibat pandemi Covid-19. Anomali ini terlihat nyata dari tumpang-tindihnya kebijakan yang diambil pemerintah dalam penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) dan Pemilihan Kepala Desa (Pilkades).

Untuk Pilkada, meskipun di tengah pandemi Covid-19, tetap diputuskan dilanjutkan tahapannya dengan menggunakan protokol kesehatan yang ketat. Keputusan ini diambil Komisi II DPR-RI bersama Mendagri, KPU, Bawaslu, dan DKPP, dengan berbagai pertimbangan. Termasuk pertimbangan Pilkada sudah menjadi agenda nasional dan tidak ada yang tahu kapan pandemi ini akan berakhir.

Sementara, Pilkades yang di Sumatera Barat disebut Pemilihan Wali Nagari (Pilwanag), lalu di Aceh dinamai Pemilihan Geuchik, dan di Papua disebut Pemilihan Kepala Kampung, kebijakan pemerintah justru berbeda pula. Mendagri Muhammad Tito Karnavian dalam surat nomor 141/2577/SJ tertanggal 24 Maret 2020, menyarankan Bupati/Walikota menunda Pelaksanaan Pilkades Serentak dan Pilkades Antarwaktu.

Tidak hanya menyarankan menunda Pilkades, Mendagri dalam surat lainnya bernomor 440/3199/SJ tertanggal 19 Mei 2020, meminta Bupati/Walikota menunda pengisian dan peresmian Anggota Badan Permusyawaratan (Bamus) Desa dan Pengisian Bamus Desa Antarwaktu. Alasan kedua penundaaan ini sama. Menindaklanjuti Keppres Nomor 11 Tahun 2020 tentang Penetapan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat Covid-19 dan Keputusan Kepala BNPB Nomor 9.A Tahun 2020 tentang Penetapan Status Keadaan Tertentu Darurat Bencana Wabah Penyakit akibat Covid-19 di Indonesia.

Penundaan Pilkades serentak dan penundaan pengisian Bamus Desa ini, disarankan Mendagri dalam kedua suratnya, dilakukan Bupati/Walikota sampai dicabutnya Penetapan Status Keadaan Tertentu Darurat Bencana Wabah Penyakit akibat Covid-19 di Indonesia. Adapun status darurat tersebut, sampai awal semester kedua 2020, belum dicabut BNPB karena status pandemi global juga belum dicabut dan vaksin Covid-19 belum ditemukan.

Meski kewenangan pelaksanaan Pilkades ini sendiri sebenarnya adalah kewenangan pemerintah kabupaten/kota sebagaimana amanat Pasal 31 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. Namun, dengan adanya Surat Mendagri Nomor 141/2577/SJ tertanggal 24 Maret 2020, banyak pemerintah daerah di Indonesia telah memutuskan menunda Pilkades serentak di wiayah mereka.

Di antara daerah yang sudah menunda pelaksanaan Pilkades itu adalah Pemkab Bekasi dan Pemkab Sumedang di Jawa Barat. Kemudian, Pemkab Boyolali di Jawa Tengah. Lalu, Pemkab Bantul dan Pemkab Sleman di Daerah Istimewa Yogyakarta. Pemkab Sidoarjo, Pemkab Probolinggo, dan Pemkab Sumenep di Jawa Timur. Selanjutnya, Pemkab Lampung Tengah, Pemkab Banyuasin di Sumatera Selatan, Pemkab Limapuluh Kota di Sumatera Barat, Pemkab Wakotobi di Sulawesi Tengah, dan Pemkab Morotai di Maluku Utara.

Penundaan Pilkades karena alasan pandemi Covid-19 ini –sekalipun tahapan yang sudah berjalan dianggap tetap sah– barangkali tidak akan menjadi dilema bagi daerah yang tidak ikut penyelenggaraan Pilkada 2020. Sebaliknya, bagi daerah yang sudah terjadwal menggelar Pilkada 2020, penundaan Pilkades di daerah dimaksud, justru membingungkan publik. Membuat panggung demokrasi absolut di daerah tersebut seakan diwarnai anomali.

Wajar saja publik menjadi bingung. Sebab, Pilkada dengan anggaran lebih besar, melibatkan penyelenggara lebih banyak, dan eskalasi politik lebih dinamis, justru masih bisa ditabuh di sebuah daerah di tengah pandemi Covid-19. Sementara, untuk Pilkades dengan anggaran lebih murah dan potensi gesekan politik lebih kecil (karena tidak semua desa pada sebuah daerah menyelenggarakan Pilkades), malah ditunda jadwalnya.

Dalam kasus ini, kebijakan pemerintah cenderung ambivalen. Membuat publik ikut kesulitan meraba-raba antara ekor dengan kepala. Padahal, penyelenggaraan Pilkades serentak, terutama di daerah-daerah yang ikut menyelenggarakan Pilkada 2020, bisa menjadi semacam test case atau uji kasus bagi pemerintah mulai dari pusat, provinsi, sampai ke daerah.

Paling tidak, dengan tetap digelarnya Pilkades serentak di daerah yang menyelenggarakan Pilkada 2020, pemerintah bersama penyelenggara Pilkada dalam hal ini KPU dan KPUD, bisa mengevaluasi sejauhmana tingkat partisipasi pemilih. Apalagi, Mendagri Tito Karnavian menargetkan partisipasi pemilih pada Pilkada 2020 nanti di atas 50 persen. Untuk mencapai target tersebut, test case-nya bisa dilakukan lewat Pilkades yang digelar sebelum Pilkada.

Selain bisa menjadi uji kasus partisipasi pemilih, Pilkades serentak di daerah yang menyelenggarakan Pilkada 2020, jika digelar sebelum Pilkada, tentu bisa pula menjadi semacam ‘simulasi’ bagi pemerintah dan KPU/KPUD, dalam melatih masyarakat mengikuti protokol kesehatan yang ketat dalam menggunakan hak suara mereka di tengah pandemi Covid-19. Setidaknya, melalui Pilkades yang digelar sebelum Pilkada serentak, masyarakat sudah punya gambaran, seperti apa mereka harus datang ke TPS  dengan protokol kesehatan itu.

Baca juga: Pilkada Serentak 2020: Bergincu Visi-Misi, Menguras Gizi

Banyak lagi contoh kasus lainnya yang dapat dilakukan pemerintah bersama penyelenggara Pilkada, jika Pilkades di daerah yang menyelenggarakan Pilkada 2020, dapat digelar sebelum Pilkada. Bahkan, partai politik ataupun calon perseorangan dan kandidat kepala daerah, juga bisa menjadikan Pilkades sebagai barometer untuk mengukur kekuatan masing-masing, dalam menghadapi Pilkada.

Hanya saja, contoh kasus ini tentu bergantung pula kepada ‘tas daerah’ atau anggaran daerah. Apakah, setelah mengalami refocusing dan realokasi akibat pandemi Covid-19, anggaran daerah masih kuat menggelar Pilkades serentak, sebelum Pilkada digelar? Jika daerah itu masih kuat, tak ada salahnya, Kementerian Dalam Negeri membuat kembali surat kepada bupati/walikota yang daerahnya menyelenggarakan Pilkada, untuk mengizinkan daerah-daerah tersebut menggelar Pilkades serentak di wilayah mereka, sebelum pelaksanaan Pilkada.

Dalam hal ini, Kemendagri perlu membaca logika berpikir yang berkembang di tengah masyarakat. Logika masyarakat sederhana saja: jika untuk Pilkada dengan anggaran bermiliar-miliar di sebuah daerah tahapannya bisa dilanjutkan, mengapa untuk Pilkades yang anggarannya jauh lebih kecil itu harus ditunda? Jika alasan menunda Pilkades karena wabah Covid-19, bukankah Pilkada juga digelar di tengah wabah tersebut?

Bila Kemendagri luput membaca perkembangan ini karena banyaknya agenda nasional yang lebih penting untuk diurus, pemerintah daerah, baik kabupaten/kota ataupun provinsi, agaknya perlu pula berkirim surat ke Kemendagri untuk memberitahu kondisi ini. Perlu diingat, Pilkades serentak sebelum Pilkada 2020 ini sejatinya juga meringankan  “beban moral” pemerintah daerah, khususnya lagi kepala daerah dan wakil kepala daerah incumbent.

Sebab, jika jabatan Kepala Desa atau Wali Nagari banyak diemban oleh Pj. (Penjabat) atau Pelaksana Tugas (Plt.) yang berasal dari PNS lantaran Pilkades-nya ditunda, bisa-bisa kepala daerah dan wakil kepala daerah petahana tersebut, nantinya akan dipersoalkan pula oleh kompetitor mereka karena dianggap memobilisasi PNS dalam Pilkada. Walau kadang dugaan itu amatlah jauh panggang dari api. Tapi di panggung  politik segala cara bisa saja saja dihalalkan dan segala kemungkinan bisa saja terjadi. Segala potensi gesekan harus dihindari. Bukankah, Pemilu 2019 cukup meninggalkan pelajaran berharga bagi kita semua?**

~ Penulis, Wartawan Utama/Jurnalis Padang Ekspres

Next Post

Silek Fisik ke Silek Pikiran dan Komunikasi

Apakah dengan demikian silek akan dibiarkan saja musnah ditelan perubahan zaman?
silek minagkabau - Image by AgusTriyanto from Pixabay

bakaba terkait