~ Delianur
ANGGAP saja kita sedang berada di Jakarta dan harus bergerak. Maka pastilah pertanyaan awal dan paling dasar adalah, ke manakah kita mesti bergerak?. Bila kita sudah mendapat jawaban pertanyaan awal itu, mesti muncul pertanyaan kedua. Bagaimanakah cara kita bergerak ke sana. Anggap saja kita harus bergerak ke Bandung. Maka pertanyaan keduanya adalah bagaimana cara kita bergerak ke Bandung? Moda transportasi apa yang paling tepat dipakai? Di mana kita mesti naik dan turun dan kapan waktu terbaik untuk berangkat.
Kira-kira seperti di ataslah saya memahami hubungan antara Agama dan Science. Agama memberikan arah apa tujuan kita dalam hidup. Namun mengetahui cara kita mencapai tujuan, itu adalah wilayah sains. Karenanya dahulu, banyak agamawan yang juga ilmuwan karena antara Agama dan Pengetahuan itu saling melengkapi. Tidak bertentangan.
Bila kita bertanya pada Agama manapun, apa yang harus dilakukan menghadapi wabah, pasti jawabannya; selamatkan nyawa. Sebab, nyawa itu lebih berharga dari apapun juga. Hidup itu anugrah. Menyelamatkan satu nyawa seperti menyelamatkan seluruh semesta.
Namun bagaimana cara kita menyelamatkan nyawa di tengah pandemi? Editorial The Jakarta Post pada Rabu lalu, mengatakan; Science First. Mari bertanya ke para ilmuwan. Bila para Matematikawan bisa mempetakan kemungkinan jumlah korban pada masa akan datang, maka para epidimiologist atau pakar kesehatan masyarakat pasti bisa mempetakan apa yang harus dilakukan. Test masif, karantina, cuci tangan memakai sabun, memakai masker, physical distancing adalah cara yang diberi tahu para ilmuwan.
Baca juga: Jaga Kesehatan and Stay Strong!
Dalam perkara Covid-19 ini, masyarakat kita itu hanya keliru tempat bertanya dan kebetulan beberapa orang yang ditanya juga keliru menjawab. Jawaban yang disampaikan, melewati batas posisi dirinya.
Masyarakat mencari tahu cara menghadapi wabah dengan bertanya ke agamawan bukan ilmuwan. Akibatnya beberapa cluster penyebaran justru datang dari kegiatan keagamaan. Karena solusi ilmuwan itu menghindari kumpulan orang banyak, bukan membuat kumpulan orang banyak. Meskipun itu kegiatan keagamaan.
Rumitnya di Indonesia, kekeliruan bertanya ini juga dilakukan para pengambil kebijakan.
Bertanya yang Benar
Untuk negara yang dianggap sangat berhati-hati, Jerman sempat dianggap negeri yang lalai menghadapi pandemi corona. Waktu virus corona sudah menyeberang ke Jepang, Jerman masih belum begitu aware. Di Jerman memang penyakit ini disebut dengan Pandemi of Skiers. Pembawa virusnya bukan orang China, tapi orang Jerman yang bermain Ski di negeri tetangganya.
Namun Jerman mengoreksi sikapnya. Ketika wabah sudah memasuki Italia, Jerman sigap. Perbatasan-perbatasan langsung diblokir, sekolah-sekolah ditutup, mobil-mobil berkeliling kota untuk melakukan test masif dan Angela Markel berbicara di publik menjelaskan apa yang sedang terjadi dan mengajak semua bersiap-siap menghadapi kemungkinan terburuk. Lalu, dan ini yang sangat penting, Jerman menjadikan ilmuwan sebagai rujukan tempat bertanya dalam menghadapi wabah.
Robert Koch Institute adalah tempat berkumpulnya 450 ilmuwan bidang kesehatan publik milik pemerintah federal Jerman. Lembaga penelitian ini adalah bagian tidak terpisahkan dari upaya Angela Markel menangani krisis.
Hasilnya, dibanding negara Eropa lainnya, statistik Covid-19 di Jerman menunjukkan angka anomali. Tingkat kematiannya rendah dan jumlah kasus bisa ditekan. Tidak seperti negara-negara tetangganya.
Negeri yang Keliru
Sementara di Indonesia seperti yang sudah kita ketahui, pengambil kebijakan keliru bertanya. Ilmuwan yang mengetahui masalah ini tidak dijadikan rujukan. Menteri Kesehatan meremehkan temuan lembaga pendidikan sekaliber Harvard. Presiden bertanya penanganan Covid-19 ke Menteri investasi yang juga militer, juga ke Menteri Keuangan.
Solusi utamanya seperti yang sudah kita ketahui. Menjaga dan melindungi arus tenaga kerja dari investor (meskipun itu pusat wabah), menjaga ekonomi, mengatakan corona virus tidak akan berkembang di Indonesia yang bercuaca panas. Bahkan sempat tercetus ingin memberlakukan solusi ala militer; darurat sipil. Sementara suara IDI (Ikatan Dokter Indonesia) dalam menangani bencana, tidak diindahkan.
Karena itu, mumpung belum terlalu terlambat, pada saat sekarang ini para pengambil kebijakan hanya perlu melakukan satu hal saja; mengubah tempat bertanya. Peduli terhadap pendapat ilmuwan dan menjadikan mereka sebagai rujukan. Karena merekalah yang tahu tentang virus ini.
~Penulis, mantan Ketua PB PII, berasal dari Agam
~Gambar oleh Gerd Altmann dari Pixabay