Disrupsi media massa oleh media sosial memasuki babak baru. Kehadiran fasilitas siaran langsung (live) di platform media sosial terasa sudah mengganggu dunia penyiaran. Karenanya diprotes agar perlu mendapatkan izin dari otoritas seperti halnya media penyiaran.
Sebab, media massa, khususnya lembaga penyiaran seperti televisi mesti mengikuti aturan perundang-undangan. Sementara itu media sosial hanyalah akun personal yang berkembang biak karena memiliki pengikut setia. Jumlah pengikut setia (follower) tersebut bisa mendatangkan minat pengiklan.
Media massa, baik cetak dan elektronik memiliki aturan yang jelas. Lembaga penyiaran diatur melalui UU Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran. Televisi dan Radio harus mendengar pengaturan lebih lanjut secara teknis yang dikomandoi oleh Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), salah satunya Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3 & SPS). Lembaga penyiaran dalam memproduksi berita juga harus mengaju kepada UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Senada dengan media cetak dalam menjalankan tugas jurnalistik.
Pada posisi tersebut media sosial hadir sebagai sebuah medium yang bisa digunakan sebagaimana media massa. Namun media sosial yang memiliki fasilitas live tidak menggunakan frekuensi publik, namun bisa lebih dahsyat dari lembaga penyiaran yang resmi dan membayar pajak karenanya. Fasilitas live jika digunakan secara profesional dan sudah ada yang melakukannya seperti itu, ternyata mendatangkan profit yang tidak sedikit. Kehadiran iklan telah membuat para selebriti ramai-ramai membuat kanal di media sosial untuk meraup untung. Bermodalkan popularitas, centang biru terverifikasi sebagai akun personal yang berpengaruh membuat iklan tiba bak air bah.
Dirjen Penyelenggaraan Pos dan Informatika (PPI) Kominfo Ahmad M Ramli yang mengatakan pemerintah akan mengharuskan platform media sosial (medsos) untuk menjadi lembaga penyiaran yang wajib berizin apabila Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan gugatan RCTI. (CNNIndonesia, 2020) Pro kontra terjadi di lini massa.
Baca juga: Disrupsi Media Massa
Pro atas pengaturan agar media sosial digunakan secara baik dan benar. Bayar pajak dan dikelola profesional. Kontra atas pengaturan mencurigai ketidaksiapan pihak televisi terhadap kemajuan teknologi. Publik punya hak untuk mengurus dan menikmati suguhan secara bebas di media sosial. Sebab media sosial bukan media massa.
Menjadikan media sosial menjadi media massa sebenarnya hanya urus izin lembaga. Sebagai sebuah medium, siapapun bisa menggunakannya asalkan tidak untuk melanggar dan membuat rusuh negeri ini. Kini ada tiga platform yang memiliki siaran langsung dimanfaatkan publik baik secara profesional maupun sebagai kepentingan kelompok dan personal. Jika semuanya ditutup berarti telah menutup kehebatan teknologi untuk digunakan publik. Karenanya perlu pengaturan agar izin menyiarkan sesuatu untuk kebaikan bersama.
Kue iklan Indonesia memang menjadi ladang perebutan bagi media massa. Media sosial mendapat jatah melalui akun-akun yang memiliki pengaruh besar. Pemerintah juga membayarkan akun-akun personal (influencer-youtuber-selebgram) untuk kepentingan penyebaran informasi. Akun-akun berbayar bernama buzzer juga berkembang biak di musim suksesi. Semua itu berhubungkait dengan uang.
Ini bagian dari disrupsi yang sebelumnya banyak dibahas tentang senjakala media cetak dengan kehadiran media online. Pembagian kue iklan begitu timpang antarsatu medium dengan medium lain. Media cetak paling sedikit, lebih banyak televisi, kini jatah televisi harus berbagi dengan medium baru bernama media sosial. Media sosial yang mengambil alih peran penyiaran di lembaga media massa televisi.
Menurut data yang dirilis Adstensity, pada kuartal pertama (Q1) 2019, belanja iklan nasional mencapai Rp27,94 triliun. Tumbuh 10,22 % secara year on year (yoy) jika dibandingkan dengan Q1 2018 yang mencapai Rp25,35 triliun. Demikian laporan yang telah dirilis Adstensity.
Terlepas soal berebut kue iklan atau tidak, yang jelas siaran langsung yang digunakan publik, entah siapapun itu melalui media sosial merupakan kebebasan berekspresi. Namun jika bersentuhan tatanan berbangsa dan bernegara, mengganggu ketertiban umum, harus ditindak. Namun bila ada ibu-ibu rumah tangga yang kreatif menggunakan fasilitas ini untuk berdagang kecil-kecilan lalu dilarang, berarti kita tidak menghargai kreativitas atas kemajuan teknologi dan kehebatan emak-emak di rumah di masa pandemi ini dalam menggunakan kesempatan.
Ilustrasi betapa lamban sebuah peraturan datang nyaris sama dengan kehadiran travel liar dan ilegal di jalanan dalam kota, sementara bus-bus resmi kehilangan pelanggan karena memilih fasilitas lebih murah untuk keluar kota. Bus-bus parkir tanpa bisa berbuat banyak karena travel liar dan ilegal memberi pelayanan prima. Era jaya bus tersingkir pelan-pelan karena pengaturan tidak disiapkan. Bus-bus antarkota antarprovinsi pernah keok ketika maskapai banting harga tiket. Pengaturan terlambat, ambang batas harga membuat perusahan oto (PO) protes.
Hal serupa juga terjadi pada media massa ketika kehadiran media sosial melaju mengambil seluruh peran media massa di tengah publik. Lazimnya pengaturan dibuat untuk keadilan, kedamaian, kesejahteraan dan kemakmuran. Gugatan hadir agar negara peduli dan melindungi ketika pasar dan teknologi mengancam keadaan. Itulah tugas negara melalui pemerintah agar ada pemerataan kue iklan terjadi di tengah publik. Tidak hanya diatur oleh pasar dan kemajuan teknologi informasi semata.
Terakhir, pihak media massa juga harus berbenah. Konten televisi yang berkualitas, jurnalisme aspiratif dan inspiratif, sangat diharapkan agar peran informasi, edukasi, hiburan dan kontrol sosial benar-benar terpenuhi. Media sosial menuju ke arah itu, salah satunya melalui siaran langsung. Memancungnya menjadi sia-sia jika tidak dibarengi dengan pembenahan produk kebun sendiri. Tabik! []
~ Penulis, Dosen Pengkajian Islam dan Komunikasi Massa Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi Universitas Islam Negeri Imam Bonjol Padang