Disrupsi Media Massa

redaksi bakaba

Viral telah melemahkan rating. Biro iklan mengalihkan aliran biaya iklan ke para influencer. Media massa memang masih mendapat banyak tetapi influencer mulai dari youtuber, selebgram, sudah mengambil bagian yang cukup banyak dengan tenaga kerja yang sedikit.

Gambar oleh Haynie C. dari Pixabay
Gambar oleh Haynie C. dari Pixabay
Dr. Abdullah Khusairi, MA.
Dr. Abdullah Khusairi, MA.

Zaman kemerdekaan sampai tahun 1980’an, pemilik-pemilik media adalah wartawan-pejuang dan pejuang-wartawan, sehingga idealismenya sangat kuat. Hari ini pemilik media kebanyakan tokoh-tokoh bisnis, yang banyak kepentingan dan sangat mudah ditekan oleh kekuasaan. Quo vadis press Indonesia.

Demikian cuitan dari seorang tokoh lewat akun @RamliRizal. Maksud pernyataan ini dapat diambil maknanya, betapa mudah pers tunduk pada tekanan kekuasaan karena dimiliki bukan dari kalangan wartawan-pejuang dan pejuang-wartawan. Padahal, pers diharapkan dapat menjadi watchdog bagi demokrasi. Penggonggong dari penyelenggara negara. Pilar keempat demokrasi setelah eksekutif, legislatif dan yudikatif. Itu idealnya.

Kini, setelah pers memasuki wilayah industri informasi telah bergeser dari perjuangan idealisme ke perjuangan komersialis. Lembaga pers memang memiliki dua sisi itu, sebagai lembaga yang didirikan pemiliknya untuk mendapatkan kepercayaan (trust) publik dan hidup di tengah publik karena disokong iklan karena trust.

Iklan datang karena trust. Program televisi yang berkualitas akan antri karena iklan. Media yang kritis, mengakomodasi kepentingan dan aspirasi publik akan menjadi tumpuan bagi publik. Tumpuan harapan menekan pihak kekuasaan untuk menjalankan aspirasi mereka. Itulah idealnya.

Pernyataan akun @RamliRizal merupakan kesadaran yang telah lama terasa. Ketika terjadi oligopoli kepemilikan industri informasi di Indonesia. Patronase politik kekuasaan dan ekonomi telah membuat ruang redaksi tunduk pada keadaan. Walau masih ada harapan tumbuhnya ruang redaksi yang kritis, membangun jurnalisme yang berkualitas, mampu membongkar setiap penyelewengan kekuasaan.

Semua itu butuh daya tahan, daya juang, daya kritis yang mengeras dalam kekompakan para pemilik dan awak media untuk berpihak kepada publik.

“Orang-orang yang mengaku jurnalis, tapi hampa sikap kritis, sudah selayaknya tidak dianggap sebagai jurnalis.

Mereka lebih cocok disebut pelantang. Sekadar buzzer yang mendengungkan informasi sesuai order. Bagi mereka, mungkin saja news value bukan seberapa penting informasi itu bagi publik, tapi parameter yang dipakai; seberapa bahagia narasumber/lembaga atas berita yang mereka terbitkan. Ini tragis.”

Kalimat ini muncul di akun FB @Bhenz Maharajo. Keresahan pernyataan di atas lebih kepada jurnalis-jurnalis yang tidak memiliki daya kritis. Jika @RamliRizal soal kepemilikan media massa maka @Bhenz_Maharajo soal jurnalis, tenaga profesional yang bekerja untuk media massa. Dua pernyataan ini mewakili persoalan media massa secara di tengah gempuran media sosial. Kedua pernyatan juga dilemparkan ke media sosial.

Kehadiran media sosial adalah disrupsi bagi media massa mainstream. Publik bisa melakukan pekerjaan jurnalistik walau dengan kelemahan di sana-sini namun kekuatan masif media sosial sudah bisa menikung kekuasaan pers dalam merebut wacana publik.

Viral telah melemahkan rating. Biro iklan mengalihkan aliran biaya iklan ke para influencer. Media massa memang masih mendapat banyak tetapi influencer mulai dari youtuber, selebgram, sudah mengambil bagian yang cukup banyak dengan tenaga kerja yang sedikit.

Persoalan korporasi media massa di tangan beberapa orang, bisa jadi kini menjadi puncaknya dan akan runtuh dengan sendirinya bila sekadar menjadi pelantang.

Sebab, mengedepankan sisi komersialisme dengan memadamkan sisi idealisme, membuat korporasi tersebut berkepak sebelah sayap. Hal ini berarti tidak menjalankan tugas alamiah media massa, melayani informasi (to inform) yang berkualitas, memiliki sifat mendidikan (to educate) terhadap publik, memberikan hiburan (to entertaint), serta ini yang penting sebagai lembaga sosial kontrol (social control). Fungsi yang terakhir adalah kunci agar media massa bisa bertahan dan dapat dipercaya oleh publik.

Keresahan @RamliRizal dan @Bhen_Marajo hendaknya menjadi introspeksi diri bagi pemilik dan pekerja media. Sepanjang masih memperjuangkan hak-hak sipil, keadilan, kesejahteraan dan kemakmuran, media massa bersama jurnalis masih dibutuhkan. Namun, bila sekadar pelantang, siap-siaplah tersungkur di kaki kekuasaan.***

*Penulis, Dosen Pemikiran dan Komunikasi Islam di Jurusan Komunikasi Penyiaran Islam (KPI) Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi (FDIK) Universitas Islam Negeri (UIN) Imam Bonjol Padang
**Gambar oleh Haynie C. dari Pixabay

Next Post

Pemekaran Agam Kembali Mengapung

Guspardi Gaus, dalam pertemuan itu mengatakan, bahwa kebijakan moratorium bisa saja dibuka. Oleh karena itu, masyarakat dan DPRD Agam perlu menyiapkan semua kualifikasi dan syarat pemekaran sebagai DOB (daerah otonomi baru).
PETA AGAM