bakaba.co – Kota Bukittinggi telah menerima takdir sebagai kota terbuka. Waktu masih berupa Nagari: Nagari Kurai Limo Jorong, tahun 1823, sudah membuka diri. Belanda, kolonial itu diizinkan mendirikan benteng di salah satu bukit. Bukit itu dikenal sampai sekarang sebagai Benteng Fort de Kock.
Sejak itu, Nagari Kurai yang berada di Minangkabau pedalaman, dalam wilayah adat Luhak Agam itu mengawali heterogenitas-nya. Melepaskan homogenitas. Mulai ada etnik Cina, India datang dan bermukim atas privilege Belanda. Sekarang penduduk Bukittinggi sangat beragam. Ada belasan macam etnis, selain etnis Minang dan masyarakat adat Kurai sebagai warga tempatan di Kota Bukittinggi.
Perjalanan sejarah mencatat Bukittinggi sebagai daerah/nagari/kota penting dan unik sejak era kolonial Belanda, Jepang, kemerdekaan. Dari sisi organisasi pemerintahan, Bukittinggi pernah dipimpin pejabat bangsa kolonial/asing. Dan di era setelah kemerdekaan Bukittinggi tidak mengenal istilah Putra Asli Daerah (PAD) untuk duduk sebagai orang nomor satu. Bukittinggi yang disebut ‘koto rang Agam‘ itu memang, ditakdir terbuka dan menjadi perhatian serta serasa dimiliki banyak pihak.
Dari 26 orang yang pernah memimpin Bukittinggi sejak kemerdekaan (empat orang di antaranya Plt. Walikota) menunjukkan fakta; tidak berlakunya PAD. Setiap lima tahun, Kota Bukittinggi yang sejuk berubah ‘hangat’ (kadang juga ‘panas’) saat menjelang pilkada, pemilihan kepala daerah. Pilkada memilih walikota Bukittinggi kembali berlangsung September tahun depan. Walikota Bukittinggi yang menjabat sekarang habis masa jabatannya 17 Februari 2021.
Lalu, bagaimana dan apa kriteria figur/kepribadian walikota Bukittinggi ke depan (periode 2021-2025) menurut publik/warga? Dalam status Facebook saya, Selasa, 25 Juni 2019, ada berbagai harapan spesifik yang disampaikan warga di luar prasyarat formal.
“Walikota Bukittinggi ke depan dituntut memiliki wawasan pemikiran mengglobal, tetapi tidak menggadaikan kepentingan dan kearifan lokal,” tulis Asyraf Munir, alumni SMA 1 Bukittinggi.
Tak kalah penting menurut Asyraf, pemimpin Kota Bukittinggi mendatang juga harus paham ABS-SBK, paham sejarah bahwa Kota Bukittinggi tidak bisa dilepaskan dari Luhak Agam. Secara adat, geografis, dinamika pertumbuhan dan perkembangan ekonomi Bukittinggi tidak bisa abaikan Agam.
“Secara batin, Bukittinggi dan Agam tidak bisa dipisahkan. Calon walikota Bukittinggi mendatang harus arif dan bijak. Perilaku arogan dan ingin maju sendiri, bersikap mengenyampingkan peran Agam sebagai penyangga Bukittinggi harus dibuang jauh-jauh dari pikiran pemimpin Bukittinggi,” tulis Asyraf.
Pentingnya kerjasama antara Bukittinggi dan Agam dalam perencanaan pembangunan strategis juga disampaikan Yon Herdi, alumnus SMEA Negeri Bukittinggi. Selain itu, “Walikota Bukittinggi mendatang penting memiliki wawasan keislaman yang kuat,” tulis Yon Herdi.
Baca juga: Mimpi Menjadikan Bukittinggi Kota Pintar
Berjiwa Seni
Kota Bukittinggi dengan luas 25 km2, itu hanya seperempat Danau Maninjau di Agam yang luasnya 99,5 km2. Penduduk yang bermukim Bukittinggi sekarang sekitar 120 ribuan jiwa. Bukittinggi memiliki berbagai julukan sebagai konsekuensi daerah urban. Kekaguman atas sejarah yang ditulis terkait Bukittinggi bisa membuat banyak orang kecewa jika membandingkan dengan kondisi riil kini.
Bukittinggi dijuluki Parijs van Sumatra, apa yang bisa jadi tanda julukan itu saat ini. Bukittinggi kota sejuk, itu tidak lagi dirasakan ketika gedung-gedung ‘tumbuh’, permukaan tanah ditutup dengan tembok sedemikian rupa dan pohon-pohon dipaksa mengalah dan tidak ditambah. Bukittinggi tidak memiliki ciri khas yang kuat sebagai identitas dan magnit kota bersejarah.
Sofia Trisni, penyair wanita yang mengakui Bukittinggi mempunyai kesan tersendiri: “Bukittinggi itu membentuk denai jadi Denai,” tulis Sofia Trisni.
Dalam pandangan Sofia Trisni, pemimpin Kota Bukittinggi ke depan harus peduli pada seniman dan folklore serta cultural wisdom. “Itu dasar untuk Bukittinggi agar tak kehilangan keindahan dan kesejukan alam dan masyarakatnya. Jangan jadi artifisial,” kata Sofia Trisni yang puisinya terhimpun dalam buku ‘Nyanyian Februari’.
Pentingnya walikota yang memimpin Kota Bukittinggi memiliki wawasan dan berjiwa seni juga disampaikan Syahrul Anggun. “Bukittinggi, kota yang begitu indah, walikotanya harus santun dan ramah,” tulis Anggun.
Benarkah? Kondisi Bukittinggi sekarang makin banyak yang tidak orisinil juga semakin terlihat banyak yang artifisial, yang tidak alami. Wisatawan atau warga kota kita sendiri, yang mau melihat dengan kacamata kritis, dengan mudah akan menemukan apa saja yang tidak orisinil, dan artifisial di Bukittinggi sekarang.
Terbuka atas kritik dan saran
Harapan warga terhadap pemimpin kota Bukittinggi ada juga yang normatif meski itu juga penting. Harapan normatif itu seperti amanah, antikorupsi, menepati janji kampanye, santun, ramah, tidak arogan, serta jujur.
Hartono, wiraswasta, alumnus SMA 2 Bukittinggi menulis, yang akan memimpin Kota Bukittinggi, figur yang bisa mengayomi masyarakat, santun terhadap orang kecil. “Dia juga siap menerima kritikan dan saran dari masyarakat,” tulis Hartono.
Walikota yang mau menerima saran juga menjadi poin dari Naldo Koto, warga yang berdomisili di pinggiran kota itu. “Dan mau baiyo jo ninik mamak dan peduli jo masyarakat nan datang bausaho dari lua Bukittinggi,” kata Naldo Koto.
Saran lain ditulis Surya Warman tentang walikota Bukittinggi ke depan: pandai membaur keluar, pandai membaca situasi. Rajin ke mesjid di tiga kecamatan yang ada.
“Kok gaya biaso-biaso sajolah. Jan lupo ka pagurauan. Ramah-tamah, rajin batanyo ka nan tuo-tuo apo nan ka dipabuek. Bapandai-pandailah,” tulis Surya Warman yang pernah jadi Ketua RT di salah satu kelurahan di Bukittinggi. (*)
| asraferi sabri
*Keterangan Foto: Kota Bukittinggi dalam frame lebar yang memperlihatkan sebuah labirin kota yang sesak, tak tertata. (Foto: Fadhly Reza)