bakaba.co | Bukittinggi | Pedagang Pasar Atas Bukittinggi semakin menyadari, skenario yang dibuat Pemerintah Kota ujung-ujungnya akan menghilangkan hak pedagang atas toko yang terbakar 30 Oktober 2017 lalu. Toko-toko yang dibangun dengan dana hibah pemerintah pusat karena terjadinya bencana kebakaran itu, akan disewakan Pemko kepada pedagang atau pihak yang berminat. Sistem kepemilikan toko yang lama tidak berlaku bagi Walikota sekarang. Berbagai upaya sudah coba dilakukan pedagang tetapi Pemko Bukittinggi, Walikota dan aparat dinas terkait menganggap sepi aspirasi pedagang. Melalui organisasi yang dibentuk, PPKKPA terus berusaha memperjuangkan hak atas toko. Dalam pekan ini, sebuah surat dilayangkan PPKKPA ke Presiden RI.
“Kami pedagang lama yang terdaftar sebanyak 763 petak toko agar diprioritaskan untuk mendapatkan kembali toko/kios dengan harga yang terjangkau sesuai dengan yang diamanatkan dalam Peraturan Presiden nomor 64 tahun 2018.
Kami juga meminta agar status kami dikembalikan sebagaimana awalnya dengan bukti hak atas toko berupa kartu kuning atau nama lain yang dikeluarkan Pemko Bukittinggi yang dapat dijadikan jaminan serta dapat dialihtangankan.”
Demikian dua dari enam poin permintaan pedagang melalui PPKKPA kepada Presiden RI dalam surat yang ditandatangani ketua dan sekretaris PPKKPA; Yulius Rustam dan Januar Chan Dt. Rajo Basa, bertanggal 17 Februari 2020.
Dua permintaan pedagang Pasar Atas kepada Presiden itu didasari rencana sepihak Pemko Bukittinggi yang dikeluarkan 11 Oktober 2019. Di mana Pemko melalui Dinas Koperasi mengumumkan bahwa toko-toko pada bangunan baru Pasar Atas akan disewakan. Pedagang lama yang jadi korban kebakaran bisa dapat toko dengan cara sewa murni dan tidak boleh toko dipindahtangankan.
Dalam surat ke Presiden, pedagang menyampaikan bahwa mereka berdagang di Pasar Atas meneruskan usaha orang tua. Hak atas toko berupa kartu kuning dikeluarkan Pemko. Hal itu berawal ketika pertokoan Pasar Serikat terbakar tahun 1972 dan dibangun kembali dengan nama baru; Pusat Pertokoan Pasar Atas tahun 1974. Waktu itu pedagang membayar kompensasi biaya pembangunan Rp 5 juta/toko (setara 2,5 kg emas, saat itu). Para pedagang dibebaskan dari semua kewajiban selama 15 tahun. Setelah itu pedagang pemegang kartu kuning membayar retribusi bulanan sesuai Peraturan Daerah. Hak atas toko berupa kartu kuning dapat dijadikan jaminan pinjaman dan toko dapat diwariskan atau dipindahtangankan. Semua hak itu ada Perda-nya.
Sekarang, pedagang Pasar Atas pemegang kartu kuning di mata Walikota dan Pemko Bukittinggi tidak lagi punya hak. Toko yang tahun 1974 dibangun setelah terbakar 1972 dan pedagang membayar kompensasi setara nilai 2,5 kg emas, di pikiran Walikota toko pedagang itu sudah hangus terbakar 30 Oktober 2017.
Tindakan Walikota itu seperti disampaikan pedagang ke Presiden adalah sikap kesewenang-wenangan terhadap masyarakat dan tidak menjalankan tugas dan fungsi sebagaimana mestinya.
“Bahkan Walikota telah mengangkangi apa-apa yang diamanatkan Presiden melalui Peraturan Presiden Nomor 64 Tahun 2018,” tulis pedagang dalam bagian surat ke Presiden RI.
Skenario
Seperti diketahui, 30 Oktober 2017 subuh, pusat Pertokoan Pasar Atas dilalap api. Tidak semua bangunan habis terbakar. Hanya lantai dua dan sebagian lantai tiga. Siang hari, ketika asap dan api belum padam, pihak berwenang sudah mengekspos ke media bahwa kebakaran Pasar Atas disebabkan oleh arus pendek listrik.
Tanggal 5 November 2017, Wakil Presiden Jusuf Kalla (waktu itu) meninjau Pasar Atas yang terbakar. Saat itu Wapres meminta Menteri PU/PR segera meneliti bangunan pasar, jika kondisinya masih baik direnovasi. Jika tidak bisa direnovasi, dibangun. Kepada Walikota Bukittinggi Wapres menegaskan, pembangun tidak boleh memakai investor. Dibangun dengan dana APBN untuk membantu pedagang korban kebakaran agar bisa segera berusaha, toko-toko bisa dijual kepada pedagang dengan murah, tidak perlu cari untung.
Setelah itu, Walikota bertindak dengan kemauan sendiri tanpa musyawarah dengan pedagang. Mulai meruntuhkan eks. Pasar Atas tanpa menjelaskan hasil penelitian tim ahli, membuat dan menempatkan kios penampungan tanpa sosialisasi. Mensertifikatkan tanah eks. Pasar Atas (milik Pasar Serikat 40 Nagari AgamTuo) diam-diam dengan cara mengklaim sebagai tanah negara. Dengan menguasai tanah, yang disertifikatkan (nomor sertifikat 21 tahun 2018 dengan luas 17.840 m2) dana APBN berhasil diperoleh Pemko Bukittinggi.
Pasar Atas dibangun dengan dana APBN Pusat sebesar Rp 292 miliar. Dalam proses pembangunan Pemko Bukittinggi tidak pernah bermusyawarah dengan pedagang. Bahkan DPRD Bukittinggi pun tidak dibawa-serta. Dengan logika: dana pembangunan dari pemerintah, tanah pun milik pemerintah, maka apapun yang akan dilakukan terhadap Pasar Atas berada di bawah kekuasaan pemerintah. Akhirnya, pemerintah kota pun tidak lagi mengakui hak pedagang pemegang kartu kuning atas toko sebelumnya. Sejak Pasar Atas terbakar, Oktober 2017, sudah 2 tahun lebih pedagang mengalami kerugian usaha. Pihak Pemko menganggap setelah kios penampungan dibuat, berjual-beli atau tidak, itu urusan pedagang. Bukan urusan pemerintah daerah.
Dengan skenario demikian, Pemko mengambil langkah sendiri. Semua petak toko di bangunan Pasar Atas yang baru akan disewakan. Dengan cara itu, Pemko Bukittinggi sudah menghitung, setiap tahun bisa memasukkan dana ke kas kota sebesar Rp 30 miliar. Dalam waktu kurang 10 tahun, dana pembangunan Pasar Atas sudah bisa dikembalikan ke kas pemerintah.
Poin yang lain
Menghadapi pemimpin kota yang berjalan sesuai mau sendiri, 763 pedagang pemegang kartu kuning berusaha memperjuangkan hak atas toko. Pedagang mencoba menyampaikan masalah yang dihadapi DPRD Bukittinggi, DPRD Sumbar, Komnas HAM, mengadu ke PTUN. Sekarang, pedagang mengadukan nasib yang Presiden RI.
Selain dua poin di atas, ada empat lain yang dipaparkan pedagang sebagai bentuk harapan terhadap pemimpin nomor satu di republik ini. Di mana pedagang meminta ke Presiden agar 763 pedagang lama, lembaga perwakilan rakyat, instansi terkait dilibatkan dalam rencana pemanfaatan toko-toko pada bangunan baru Pasar Atas.
Selain itu, pedagang juga meminta Presiden merespon dan menindaklanjuti surat Rekomendasi Komnas HAM Nomor: 013/TUA/I/2020 yang isinya agar Presiden mengambil kebijakan yang konkrit terhadap Walikota Bukittinggi yang telah melakukan pelanggaran HAM terhadap pedagang Pasar Atas Bukittinggi.
Melalui surat yang sama pedagang meminta Presiden untuk menunda penyerahan Gedung Pasar Atas kepada Pemko Bukittinggi. Dan meminta Presiden memerintahkan kepada Walikota Bukittinggi untuk menyelesaikan berbagai masalah antara Pemko dengan pedagang.
Untuk menyelesaikan masalah antara Pemko Bukittinggi dengan pedagang, PPKKPA meminta pemerintah pusat mengawal penyelesaian masalah yang masih ada.
“Permintaan dalam pengaduan pedagang ke Presiden agar pemerintah pusat mengawal kerja Pemko Bukittinggi karena kami mengkhawatirkan terjadinya hal yang tidak diinginkan yang berdampak pada tidak tercapainya maksud dan tujuan Presiden RI mengucurkan dana membantu pembangunan pertokoan Pasar Atas Bukittinggi,” tulis pedagang dalam penutup surat ke Presiden tersebut.
~ aFS/bakaba
**Foto Fadhly Reza