Puan Maharani, foto ist.

Puan Menebar Angin Menuai Badai

Dr. Abdullah Khusairi, MA.
Dr. Abdullah Khusairi, MA

Linimasa dipenuhi hujatan terhadap Puan Maharani. Hampir tak ada jeda, Ketua DPP PDIP Bidang Politik itu dicerca habis-habisan atas pernyataannya yang dianggap “a historis.”

Sementara itu, pengamat di televisi bertengkar hebat. Ada yang pro ada yang kontra terhadap pernyataan Puan. Tokoh-tokoh penting Sumbar angkat bicara, menyayangkan pernyataan yang dianggap melukai hati. Reaksi terjadi atas aksi Puan tampaknya belum akan belum berakhir. Mungkin kian digoreng menjadi kepentingan politik dalam Pilkada Serentak 2020.

Bila hanya membaca berita, siapapun akan terasa tersinggung dengan pernyataan Puan. “Semoga Sumbar mendukung Negara Pancasila.” Kalimat ini mengandung beban tuduhan seakan-akan selama ini masyarakat Sumbar tidak mendukung Negara Pancasila. “Yang benar sajalah, Mbak!” Beban tuduhan tersebut tentulah hasil dari interpretasi dari penerima pesan. Sedangkan pemberi pesan belum tentu begitu maksudnya. Ingat teori representasi Stuart!

Bermacam-macam penjelasan setelah pernyataan Puan tetap saja tidak dianggap. Tokoh-tokoh PDIP ambil bagian. Bahkan tokoh partai lain pun ikut-ikutan. Berkaitan erat dengan dukungan PDIP terhadap pasangan calon yang diusung dalam Pilkada Serentak 2020.

Mengingat posisi Puan sebagai politisi PDIP, pernyataan tersebut memiliki maksud tertentu. Apalagi sebelum itu, emak Puan, Megawati juga menyatakan keheranan kenapa masyarakat Sumbar tidak banyak menjatuhkan pilihan politik ke PDIP. Ada pengamat menyatakan agar PDIP introspeksi diri. Sebab beban sejarah bagi PDIP yang berhubungkait dengan Soekarno. Bapak proklamator itu berpisah jalan politik dengan Mohamad Hatta. Bukan itu saja, sederetan fakta sejarah akan terlalu panjang untuk diungkapkan di sini.

Pernyataan Puan sangat disayangkan. Seperti ingin menguji lawan dan kawan. Politik memang suka begitu. Puan mungkin juga terpeleset, harus dimaafkan jika ia meminta maaf. Puan adalah Puan Maharani binti Taufik Kiemas Dt. Basa Batuah. Kaumnya di Kanagarian Sabu, Batipuh Ateh, Tanah Datar, Sumatera Barat. Emaknya Megawati Soekarno Putri Puti Reno Nilam. Keduanya punya darah Minang. Begitulah sejarah keluarganya. Puan adalah kita, jika mau. Jika tidak, Puan bukan kita. “Kekitaan” kita memang sering mudah retak oleh kepentingan politik praktis.

Tetapi ini bukan sejarah keluarga, bukan pula sejarah bangsa. Ini pernyataan politik Puan yang mungkin sudah disiapkan dan sengaja, bisa pula sebagai pernyataan sambil lalu semata. Lalu ada yang memelintir, membuat berita, yang bisa mengaduk-aduk emosi publik. Ada pula mungkin mengambil keuntungan dari ucapan kontroversi untuk kepentingan politik praktis.

Semua itu mungkin saja terjadi. Pernyataan tersebut keluar ketika partai-partai memberi dukungan kepada para bakal calon kepala daerah untuk mendaftarkan sebagai kontestan Pilkada Serentak 2020. Jadi ini pernyataan politik, keadaan kekinian, yang bagi Puan, PDIP, Mega, berdasarkan fakta politik PDIP di Sumbar. Sayangnya, kalimat Puan seakan-akan tidak memilih PDIP tidak mendukung Negara Pancasila.

Puan seperti hendak menguji dan mengunci peta politik melalui model politik identitas. Membuat garis demarkasi. Identifikasi itu sangat jelas, ketika hasil penelitian tentang radikalisme beberapa waktu lalu menyatakan daerah-daerah pendukung salah satu pasangan capres cenderung menyimpan sikap radikal. Reaksi atas hasil penelitian tersebut juga bermacam-macam, ada yang setuju ada yang tidak, ada pula tidak ambil pusing atas semua itu. Sebab elit politik itu hobinya bertengkar, sehabis itu minum kopi bersama. Damai.

Kini publik terus menghujat Puan, dari bahasa yang paling sederhana hingga kata-kata paling canggih. Risih terasa. Tetapi biarlah Mbak Puan merasakan serangan itu sebagai hadiah terindah dari publik atas pernyataan kontroversi tersebut. Yang jelas, Pilkada Serentak 2020 jangan sampai memicu disharmoni, sebab sudah begitu pahit hidup ini menghadapi pandemi. Hendaknya Pilkada adalah hiburan bagi publik di tengah persoalan ekonomi yang kian sulit ini. Walau memang, bagi sebagian orang, pernyataan Puan memang sulit menjadi hiburan. Apalagi bagi sebagian yang punya kepentingan politik kekuasaan. Pernyataan itu harus terus disalah-salahkan agar ada hubungan dan efek terhadap calon yang diusung. Begitulah kira-kira, ya.

Melalui media sosial, hiburan paling manjur melupakan keadaan adalah melihat bagaimana elit politik bertempur menguasai wacana. Sungguhpun kadang-kadang terasa sekali mana yang punya sudah berpengalaman mana yang belum. Mana yang aksioner dan mana reaksioner. Mana yang politisi mana yang aktivis. Mana yang ikut-ikutan mana yang tidak mengerti persoalan. Mana yang bawa perasaan (baper) mana yang tidak.

Baca juga: Pilkada di Media Sosial

Politik kekuasaan mendapat tempat di media sosial karena bisa dimainkan secara personal dan kelompok tanpa sensor. Buzzer dan influencer sebagai pasukan tiada kenal lelah menyerang lawan dan memenangkan jagoan.

Adu argumen jarang seimbang, justru masuk ke adu sentimen. Kalah argumen pakai sentimen. Pola ini terus dikembangkan di lini massa tanpa batas akhir. Hanya lelah dan kehabisan paket data yang mengakhiri. Energi terkuras dengan rasa tak pernah puas. Seakan-akan memenangkan pertikaian bisa memenangkan pemilihan dan mengantar calonnya ke tampuk kekuasaan padahal tidak sama sekali. Tidak ada kaitan erat soal itu. Lupa diri seperti inilah yang bakal kita nikmati di lini massa.

Pernyataan Puan baru permulaan, yang menebar angin menuai badai. Keseruan lebih akan terjadi pada masa kampanye hingga menjelang hari ke TPS tiba. Lini massa akan menjadi panggung hiburan bagi penikmat permainan politik praktis dari elit-elit yang memang sudah menyiapkan diri untuk itu. Syaratnya, jangan mudah baper. Sebab politik itu cepat berubah, seiring momentum waktu dan kepentingan bertemu antara lawan dan kawan.[]

Penulis, Dosen Pengkajian Islam dan Komunikasi Massa Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi Universitas Islam Negeri Imam Bonjol Padang