bakaba.co | Bukittinggi | Pemerintahan Darurat Republik Indonesia atau PDRI bukan hanya sebuah peristiwa sejarah yang penting. Tetapi PDRI juga tentang karakter pemimpin yang memiliki moralitas, beretika dan mampu melampaui diri.
“Memerdekakan Indonesia dan mempertahankan eksistensi Republik waktu itu dilakukan para pemimpin yang terdidik, tercerahkan, beretika tinggi dan mereka mampu melampaui diri.”
Sejarawan Dr. Anhar Gonggong menyampaikan itu dalam seminar Hari Bela Negara (HBN) yang digelar Persatuan Wartawan Indonesia Bukittinggi dengan tema “Menolak Lupa Peran Bukittinggi dalam Pemerintahan Darurat Republika Indonesia”, Minggu, 18 Desember 2022 di Gedung Triarga, Bukittinggi.
PDRI adalah penyelenggara pemerintahan Republik Indonesia periode 22 Desember 1948-13 Juli 1949. Waktu itu terjadi Agresi Militer Belanda 2 (19 Desember 1948 – 20 Desember 1948. PDRI dipimpin Syafruddin Prawiranegara yang disebut juga dengan Kabinet Darurat. Pada tanggal 14 Juli 1949 serah terima pengembalian mandat dari PDRI di Jakarta. Sjafruddin Prawiranegara resmi mengakhiri PDRI dan menyerahkan kembali mandatnya kepada Soekarno.
Faktor Penting
Lebih jauh Anhar Gonggong mengatakan, Syafruddin Prawiranegara yang menjadi Ketua PDRI menunjukkan bahwa Indonesia tetap ada sebagai negara. Sementara di Jawa, Jenderal Soedirman dalam kondisi tidak sehat, terus bergerilya.
Dua faktor ini sangat penting, yang menyebabkan Belanda frustrasi. Dalam bayangan Belanda, dengan menduduki Yogyakarta dan menangkap Soekarno – Hatta dan lain-lain, Republik Indonesia sudah tidak ada. Itu yang ada dalam pikiran Jenderal Simon Hendrik Spoor yang memimpin pasukan Belanda.
“PDRI dengan ibukotanya Bukittinggi telah mengubah pandangan dunia tentang bangsa Indonesia,” kata Anhar Gonggong.
Anhar Gonggong juga mengingatkan, PDRI harus diletakkan dalam konteks peristiwa yang saling berkaitan waktu itu. Di mana, setelah perang dunia (1939-1945) usai, terjadi perang dingin (1947-1953). Waktu itu banyak negara terjajah memerdekakan diri. Termasuk Indonesia.
Belanda Kembali
Pada bulan Desember 1949 Belanda menjatuhkan bom di Yogyakarta dan selanjutnya Sumatra, Jawa. Indonesia Timur tidak terkena bom. Tanggal 19 Desember 1949 Soekarno, Hatta dan beberapa pemimpin lain tertangkap. Dalam situasi kritis, rapat kabinet masih bisa dilakukan. Rapat kabinet memutuskan Syafruddin Prawiranegara yang ada di Bukittinggi diminta membentuk kabinet. Untuk luar negeri ditugaskan Soedarsono membentuk kabinet tapi tidak berhasil terbentuk.
Adanya PDRI membuat Belanda terbuka kebohongannya di Badan Persatuan Bangsa Bangsa (PBB). Waktu itu, Belanda yang menjatuhkan bom di berbagai wilayah di Indonesia, seakan-akan telah mendapatkan kemenangan. Belanda berimajinasi. Faktanya tidak demikian. Adanya PDRI, Republik Indonesia masih ada.
Ada dua jalan yang disiapkan menghadapi Belanda waktu itu: jalan diplomasi dan jalan perang. Soekarno – Hatta memakai jalan diplomasi. Syafruddin memilih jalan perang dan harus menang seratus persen.
Periode itu, bagi Belanda jalan menguasai kembali Indonesia tidak mulus. Sementara bagi Indonesia sendiri sangat problematis dengan tantangan besar. Saat genting itu yang menarik adalah faktor kepemimpinan dan toleransi dalam masa krisis.
Moralitas Pemimpin
Anhar Gonggong tidak melihat PDRI sebatas peristiwa sejarah biasa. Tetapi juga menyigi sisi tokoh, pimpinan saat itu. Sejak perjuangan kemerdekaan, orang yang memerdekakan Indonesia adalah orang-orang terdidik dan tercerahkan.
Soekarno yang insinyur jika mau bekerjasama dengan Belanda, enak hidupnya. Begitu juga Hatta yang berasal dari keluarga kaya dan sarjana ekonomi yang sudah keliling dunia, waktu itu tidak berjuang, belum tentu kita seperti sekarang. Syafruddin Prawiranegara, dia punya titel mister, jika mau dia bisa hidup enak. Tetapi kenapa dia berjuang, karena dia melihat di depan kemerdekaan dan kebebasan seluruh rakyat Indonesia.
“Itulah yang terjadi dengan pemimpin yang mampu melampaui diri. Jika tidak bisa melampaui diri, mereka akan hidup enak. Moralitas para pemimpin itu yang harus kita pedomani,” kata Anhar Gonggong.
Kepada peserta seminar yang berprofesi sebagai guru sejarah SLTP dan SLTA, Anhar berpesan, sebagai guru sejarah, ketika mengajarkan sejarah kepada siswa, jangan hanya dipandang sedang mengajarkan peristiwa. Mengajarkan sejarah tidak hanya terkait kecerdasan otak tetapi juga tentang etika dan moralitas. Ilmu tidak akan pernah memberikan apa-apa jika tidak dilahirkan dan dilandasi moralitas dan etika.
“Itulah yang menyebabkan seorang Hatta, Soekarno, Sjahril, Cokroaminoto bersedia membuang sesuatu yang mestinya bisa mereka peroleh jika hanya ingin sekedar hidup sebagai manusia biasa,” kata Anhar Gonggong.
HBN dan PDRI
Pada pembukaan seminar yang juga menghadirkan narasumber Prof. Phil Gusti Asnan itu, Sekda Bukittinggi Drs. Martias Wanto, MM mewakili Walikota Bukittinggi mengatakan, Hari Bela Negara identik dengan Hari Ulang Tahun Pemerintahan Darurat Republik Indonesia.
Perpres 28 Tahun 2006 tentang Hari Bela Negara menetapkan tentang Hari Bela Negara, dan menafikan keinginan masyarakat yang menginginkan Perpres tersebut menegaskannya sebagai Hari PDRI.
“Sejarah Hari Bela Negara dan Hari Ulang Tahun Pemerintahan Darurat Republik Indonesia harus kita kemas dan gaungkan terus dengan baik, agar semua tahu betapa pentingnya peristiwa bersejarah ini, untuk kita ingat dan diwariskan kepada generasi selanjutnya,” kata Martias Wanto.
Sementara, Gubernur Sumbar diwakili Kaban Kesbangpol Sumbar, Jefrinal menjelaskan, PDRI yang berada di bawah kepemimpinan Syafruddin Prawiranegara selalu berpindah-pindah dari satu daerah ke daerah yang lain, hal itu dilakukan untuk menjaga keamanan dan keselamatan para pejuang PDRI.
Beberapa Pos Komando yang mendukung gerakan PDRI di wilayah Sumbar yakni di Sumpur Kudus, Koto Tinggi dan Kota Bukittinggi yang merupakan pusat pemerintahan.
“Kota Bukittinggi memang sudah dikenal dengan konstribusi perjuangannya sejak di zaman penjajahan Belanda, maupun di zaman penjajahan Jepang,” ujar Jefrinal.
ken | afs