bakaba.co | Jakarta | Pengacara Dr. H. Eggi Sudjana, S.H., M.Si yang dikuasakan Pedagang Aur Kuning, Bukittinggi, meminta Walikota Bukittinggi tidak memperlakukan pedagang di Aur Kuning dengan cara-cara represif.
“Kami atas nama Pedagang Aur Kuning juga meminta Walikota segera membuka segel toko dan menghentikan rencana pengosongan toko di Pasar Aur Kuning “
Demikian salah satu poin isi surat pengacara Eggi Sudjana, bertanggal 12 Desember 2019 yang disampaikan ke Walikota Bukittinggi, yang juga diperoleh bakaba.co, kemarin.
Surat pengacara Eggi Sudjana ke Walikota Bukittinggi itu terkait terbitnya surat Dinas Koperasi, UKM, dan Perdagangan Kota Bukittinggi dengan Nomor: 007/865/DKUKMdP/XII/2019, tertanggal 11 Desember 2019; Perihal Pemberitahuan.
Surat Kepala Dinas Koperasi yang perihalnya ‘Pemberitahuan’, isinya berupa ‘ancaman’ pengosongan dan pemutusan hak sewa terhadap toko yang disegel secara sepihak oleh aparat Pemko, 26 November 2019 lalu. Ketika menyegel toko-toko yang pemiliknya memegang kartu kuning, yang menolak membayar retribusi, Pemko memakai aturan Perwako.
Pedagang menilai Perwako nomor 40 dan 41 tahun 2018 yang jadi aturan pungutan retribusi yang dinaikkan 600 persen dari tahun sebelumnya, tidak sesuai aturan berlaku. Retribusi toko menurut UU nomor 28 tahun 2009 hanya bisa dipungut dengan Peraturan Daerah, tidak bisa dengan Perwako (Peraturan Walikota).
“Bertahun-tahun kami membayar retribusi toko karena dasar hukumnya jelas berupa Peraturan Daerah. Sekarang, sejak awal tahun, retribusi dinaikkan sangat besar dengan Perwako. Kami bukan tidak mau bayar retribusi. Kami menolak membayar karena retribusi dinaikkan secara sepihak, dasar memungutnya pun tidak sesuai undang-undang,.
Untuk menyegel toko pun tidak ada dalam aturan, yang ada sanksi denda,” kata Anum, pedagang Aur Kuning yang tokonya termasuk yang disegel Pemko Bukittinggi, yang juga membuat surat bantahan kepada Dinas Koperasi.
Surat ‘ancaman’ Dinas Koperasi untuk mengosongkan dan memutuskan izin sewa toko di Aur Kuning, Kepala Dinas Koperasi Bukittinggi memakai aturan lain lagi. Seperti dituangkan dalam surat, aturan dipakai juga bukan Perda. Tetapi Perwako Nomor 36 Tahun 2009 tentang Pelaksanaan Pembekuan Izin, Pengosongan dan Pencabutan Izin Hak Sewa Toko, yang selama ini tidak pernah diketahui pedagang.
“Peraturan Walikota yang sudah kedaluwarsa itu dihidupkan kembali. Jika Perwako itu sebagai aturan pelaksanaan Perda, nomor berapa Perdanya. Jika Perwako itu diterbitkan sebagai aturan mengisi kekosongan hukum, berlakunya pasti terbatas. Ini sudah sepuluh tahun, kok Perwako itu tidak ditingkatkan jadi Perda?” begitu salah satu poin surat Anum yang dibuat secara pribadi.
Surat Berkali-kali
Dalam surat pengacara Eggi Sudjana nomor: 012/ESP-ABS/KEB/XI/2019 ke Walikota, Eggi menyatakan sudah beberapa kali surat dikirim ke Walikota Bukittinggi untuk menyelesaikan secara baik-baik masalah pedagang Aur Kuning yang jadi kliennya, tetapi tidak pernah direspon Walikota.
“Ternyata Walikota tidak memiliki itikad baik,” kata Eggi Sudjana.
Meski begitu, dalam suratnya Eggi kembali mengingatkan dan menegaskan beberapa tuntutan pedagang Aur kuning yang diwakili Kantor Advokat Eggi Sudjana and Partner. Pertama, menuntut Walikota Bukittinggi untuk memberikan fasilitas pasar/toko kepada rakyat untuk dimanfaatkan dan tidak menaikkan tarif retribusi Pasar.
Kedua, menuntut walikota untuk memberikan kepastian hukum bagi pedagang terkait kartu kuning sebagai alas hak (hak milik atau HGB) dan menuntut pengembalian kartu kuning sebagaimana sebelumnya agar dapat secara bebas dimanfaatkan pemilik kartu kuning untuk pengalihan hak penguasaan/hak pakai demi kelancaran perdagangan di Pasar Aur Kuning.
Ketiga, menuntut agar Walikota membuka segel dan menghentikan cara-cara represif, dan mengedepankan cara musyawarah dalam setiap penyelesaian masalah Pasar di Aur Kuning.
Alasan Hukum
Lebih jauh Eggi Sudjana mengingatkan bahwa saat ini sedang terjadi sengketa hak antara Walikota dengan para pedagang Aur Kuning. Mestinya Walikota membuka ruang audiensi, bukan malah melakukan upaya represif kepada rakyat dalam hal ini pedagang, melalui tindakan Penyegelan toko/pembekuan izin serta mengeluarkan Surat Pemberitahuan pengosongan toko.
“Tindakan pemko itu sangat mengecewakan pedagang. Sebagai pejabat pemerintah daerah, Walikota seharusnya bekerja bukan semata-mata untuk meningkatkan pendapatan daerah namun sejatinya untuk memajukan dan memakmurkan rakyat, khususnya dalam hal ini memakmurkan pedagang di Aur Kuning,” tulis Eggi Sudjana.
Terkait surat Pemberitahuan Pengosongan Toko dan sebelumnya tindakan penyegelan yang dilakukan Pemerintah Kota Bukittinggi mendasarkan Peraturan Walikota Bukittinggi Nomor 40 Tahun 2018, Eggi Sudjana kembali menegaskan analisa hukumnya, bahwa Peraturan Walikota dibuat tanpa sosialisasi yang cukup dan sangat memberatkan pedagang secara ekonomi.
Di mana tarif retribusi dinaikkan sampai 600 persen. Di sisi lain fungsi kartu Kuning sebagai alas hak bagi pedagang juga tidak ada kejelasan atau kepastian Hukum. Sebelumnya kartu Kuning bisa dialihkan, dijaminkan, dibalik nama atau dipindahtangankan.
“Saat ini kartu kuning tidak dapat berfungsi sebagaimana sebelumnya. Hal itu sangat merugikan pedagang sebagai pemegang kartu kuning. Kami menilai Peraturan Walikota tersebut bertentangan dengan Peraturan Perundang-Undangan di atasnya,” kata Eggi Sudjana.
Tindakan penyegelan yang dilakukan pemerintah Kota Bukittinggi melalui Dinas Koperasi, UKM dan Perdagangan merupakan tindakan yang tidak berdasar hukum, karena tidak ada aturan mengenai sanksi administratif penyegelan baik di dalam Undang Undang Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, Peraturan Daerah Nomor 15 Tahun 2013 Tentang Retribusi Pasar Grosir dan/atau Pertokoan, maupun di dalam Peraturan Walikota Nomor 40 Tahun 2018 Tentang Peninjauan Tarif Retribusi Pasar Grosir dan/atau Pertokoan.
Sanksi administratif yang diatur pada Pasal 160 Ayat (3) Undang Undang Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah: “Dalam hal Wajib Retribusi tertentu tidak membayar tepat pada waktunya atau kurang membayar, dikenakan sanksi administratif berupa bunga sebesar 2 persen setiap bulan dari retribusi yang terutang yang tidak atau kurang dibayar dan ditagih dengan menggunakan STRD.”
Pada bagian akhir suratnya, Eggi meminta Walikota memberikan rekomendasi atau perintah kepada Kepala Dinas Koperasi, UKM dan Perdagangan Kota Bukittinggi untuk membuka segel toko dan menghentikan rencana pengosongan toko di Pasar Aurkuning.
“Jika segel tidak dibuka, bahkan jika pengosongan toko dilaksakan maka pedagang akan kehilangan pekerjaan dan sumber penghidupannya. Padahal hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak telah dijamin sebagai hak asasi manusia. Walikota dapat ditenggarai melanggar undang-undang,” kata Eggi Sudjana.
Surat ke Walikota Bukittinggi tersebut juga ditembuskan Eggi ke Presiden, Mendagri, Gubernur Sumatera Barat, Kapolda Sumatera Barat, Ketua Perwakilan Ombudsman Sumatera Barat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota Bukittinggi dan beberapa instansi terkait.
~aFS/bakaba.co