Pertengahan bulan Maret lalu, tersebutlah Dr. Nurhayati Subakat, owner perusahaan Kosmetik Wardah, menyalurkan donasi dana Corporate Social Responsibility (CSR) perusahaannya sebesar 13 miliar rupiah. Uang itu diberikan kepada Rumah Sakit Persahabatan untuk pembelian kebutuhan alat medis untuk penanganan Covid-19. Sebagian orang Minangkabau gembira dan naik harga dirinya. “Contoh tu, pengusaha Minang, pemurah, dermawan!” katanya. Sebagian lagi dengan sinis berkata, “itu memang sudah kewajiban, karena yang ia donasikan adalah dana tanggungjawab sosial perusahaan.”
Di luar kedua pendapat di atas juga beredar percakapan yang lebih bersifat filosofis, yaitu apakah orang Minang itu sampilik (pelit) atau pemurah. Percakapan ini terlihat seperti bunga api percikan pedang dalam perdebatan. Agaknya patut pula disimak, karena mereka sedang mendiskusikan karakter kedermawanan orang Minangkabau.
Orang “Padang” Pelit?
Ada stereotip yang muncul di kalangan suku bangsa non-Minangkabau. Katanya orang Padang itu pelit. Bagi yang lapang dada, menyikapi stereotip ini dengan lapang dada pula. Bagi yang sempit kalang, akan menyikapinya pula dengan mata terbelalang.
Orang Padang dalam kalimat di atas tentunya dimaksudkan untuk menyebutkan orang Minangkabau secara keseluruhan. Namun, entah karena kurang jauhnya merantau atau karena keterbatasan pengetahuan, suku bangsa non-Minangkabau secara naif menyebut orang Minangkabau dengan orang Padang. Sebagiannya, memang karena kebiasaan, ingin gampang saja.
Namun patut diduga sebutan orang Padang menunjukkan suatu entitas Minangkabau yang berada di perantauan. Di perantauan orang-orang Minangkabau disebut dengan orang Padang. Bandingkan dengan jantung (heartland) Minangkabau, suku bangsa non-Minangkabau yang merantau ke berbagai daerah di Minangkabau ini justru tak pandai menyebut orang Padang.
- Baca juga: Identitas Kultural Orang Minangkabau
Agak mudah dimengerti, mengapa muncul stereotip orang Padang itu pelit. Sebab orang Padang yang mereka maksud adalah para perantau Minang. Sudah menjadi tabiat bagi perantau Minang untuk berlaku hemat dan penuh perhitungan di rantau. Sikap hemat dan perhitungan ini justru dimaknai sebagai sifat orang Minang yang pelit. Apakah semua perantau Minang seperti itu? Tidak ada pula datanya.
Tapi, memang itulah cara pikir stereotip, penilaian terhadap seseorang hanya berdasarkan persepsi terhadap kelompok di mana orang tersebut dapat dikategorikan, kata Stephen P. Robbins dan Timothy A. Judge (2010). Stereotipe lanjut Robbin, merupakan jalan pintas pemikiran yang secara intuitif cenderung menyederhanakan hal-hal yang kompleks, meskipun sebenarnya mereka tidak benar-benar mengetahuinya.
Bagaimana kompleksnya cara hidup orang Minangkabau alias “orang Padang” di rantau tak hendak dicoba untuk dipahami. Mereka harus pandai berhitung mengkalkulasi kehidupan dan sumber energi kehidupan. Antara memenuhi kebutuhan hidup di rantau dan memikirkan keluarga yang patut-patut untuk dibantu di kampung asal. Akhirnya, sikap penuh perhitungan ini menjadi dalil sebutan orang Padang pelit ini. Jelaslah, yang dimaksud orang Padang di sini adalah para perantau.
Tapi, yang namanya persepsi menurut penulis Rusia Boris Paternak dalam Surat Jalan (Diva Press, 2019) sesuatu yang terekam dan bertahan lama, namun jarang sekali usaha dari yang mempersepsi untuk membuktikannya. Hanya, peneliti dan akademisilah yang berkemungkinan mau menguji persepsi ini.
Sekedar untuk memberi gambaran bahwa orang Padang itu tidak pelit, ada baiknya diminta saja data kepada Badan Pusat Statistik atau lembaga lainnya yang rutin mencatat jumlah bantuan yang datang dari kedermawaanan orang yang berasal dari ranah Minang.
Kedermawanan Perantau
Di rantau mereka disebut pelit. Namun dalam buku-buku filantropi mereka disebut-sebut sebagai sumber dana pembangunan masyarakat. Hamid Abidin, Direktur Eksekutif Perhimpunan Filantropi Indonesia (2016) menyebut kegiatan mereka dalam membantu pembangunan kampung halaman dengan sebutan kedermawanan perantau (diaspora philanthropy).
Kedermawanan perantau memiliki makna yang berbeda dalam perspektif kebudayaan Minangkabau. Kedermawanan dalam pengertian umum dimaksudkan sebagai sebuah kewajiban moral dibandingkan personal/individual. Artinya, andaipun tidak dermawan, tidak merupakan sebuah kesalahan. Hanya meletakkan derajat manusia sedikit di bawah orang dermawan.
Lain halnya makna kedermawanan dalam kultur Minangkabau. Kedermawanan merupakan kewajiban individual yang sifatnya kultural. Hal ini tersua dalam pantun Minangkabau yang dikutip dari buku A.A Navis berjudul ‘Alam Terkembang Jadi Guru’ (1984).
Apo gunonyo kabau batali
Usah dipauik di pamatang
Pauikan sajo di tangah padang
Apo gunonyo badan mancari
Iyo pamaga sawah jo ladang
Nak mambela sanak kanduang
Pantun di atas menunjukkan bahwa sekaya-kaya orang Minangkabau pastilah dia akan memikirkan bagaimana ia dapat membantu dunsanaknya di kampung halaman. Bahkan dalam konteks komunal, membantu pembangunan kampung halaman.
Kedermawanan dalam Pituah Adat
Sekarang kita periksa pula pituah adat (fatwa adat) kepada personal individual “orang Padang” alias orang Minangkabau. Sepertinya, kedermawanan sebagai pesan kemanusiaan universal juga ditemukan dalam ajaran adat Minangkabau. Misalnya, ada pepatah yang berbunyi; Handak kayo badikik-dikik, handak tapuji bamurah-murah (N.M. Rangkoto, Balai Pustaka, 1982)
Kalimat fatwa itu ditulis dalam bentuk pepatah. Pepatah dalam sastra klasik Melayu digunakan untuk nasehat dan pengajaran. Pepatah di atas merupakan bagian pola pengajaran moral bagi anak negeri Minangkabau. Jika ingin kaya harus badikik-dikik (hemat) dan jika ingin mulia (terpuji) harus pandai berbagi. Dalam versi yang lain juga ditemukan pepatah yang semakna, yaitu ‘Nak mulia batabua urai, nak kayo kuat mancari.’
Jika masa sekarang masih juga ditemukan orang Minangkabau yang sampilik kariang, maka boleh jadi ia sedang tidak mengamalkan ajaran Minangkabau. Ajaran yang semestinya tidak hanya ia dapat dalam adat Minangkabau. Kedermawanan adalah ajaran universal yang ada di kebudayaan manapun.
Maka jika ada yang mengatakan orang Padang itu pelit, agaknya terlalu berlebihan. Bisa jadi itu karena ajaran kapitalisme yang diperoleh di rantau begitu kuat pengaruhnya atau boleh jadi, ia sama sekali tak pernah ditunjuk ajari.
Martabat Urang Kayo
Terakhir, jika kedemawanan dikaitkan secara ekslusif sebagai sikap orang kaya, maka Minangkabau juga membuat kewajiban moral (moral obligation) yang gunanya untuk menunjukkan martabat mereka. Dalam pantun adat yang disusun N.M Rangkoto (1982) ditemukan lima kewajiban orang kaya (martabat urang kayo), yaitu:
Pertama, tidak tamak, loba dan serakah, apalagi tanpa memperhitungkan mana yang halal dan haram. Sifat ini harus dijauhi, ibarat pantun berikut: Dibangun pondok lah duo tigo/rimbo manjadi sabuah taratak/Martabat partamo di urang kayo/sakali-kali usahlah tamak
Kedua, bertanggung jawab terhadap sanak famili. Tak akan pernah orang kaya Minangkabau membiarkan sanak familinya terhina karena tak berpunya. Dengarkan pantunnya: Induak taratak dusun namonyo/ basawah baladang rumah lah rami/Martabat kaduo di urang kayo/manutuik malu sanak famili.
Ketiga, orang kaya Minangkabau itu punya tanggung jawab sosial memelihara negerinya. Harta yang ia peroleh juga mesti berguna bagi negeri, agar negerinya tak binasa. Sebagaimana pantun berikut: Dusun barubah manjadi koto/tiok suku ado panghulunyo/martabat katigo di urang kayo/ mamaliharo nagari usah binaso
Keempat, orang kayo Minangkabau pemurah kepada orang miskin, meskipun orang miskin itu bukanlah anggota kerabat-kaumnya. Simaklah pantunnya; Pambantu panghulu manti namonyo/ pagawai dubalang sarato malin/ Martabat kaampek di urang kayo/ pamurah kapado urang musikin
Kelima, menjauhkan bala dan menolak bahaya. Dari sini jelas bahwa kewajiban orang kaya adalah menjauhkan bala dan menolak bahaya terutama yang bersumber dari usahanya. Dimaklumi sangat, bahwa kegiatan ekonomi memang memberi resiko kepada pelaku ekonomi dan masyarakat banyak. Karena itu urang kayo harus dapat berpandai-pandai. Ibarat kata pantun; Sasudah koto nagari pulo/panghulu kapalo nan mamarentahnyo/Martabat kalimo di urang kayo/manjauahkan bala manulak bahayo
Alangkah indahnya pantun di atas. Apalagi jika maksud pantun itu diamalkan oleh orang Minangkabau. Mungkin tak banyak yang mengeluh di masa Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) ini. Karena orang-orang kaya Minangkabau hobi berderma.
Namun pantun itu memang ideal ibarat lampu lalu lintas (traffic light). Sebanyak-banyak yang mematuhi, sebanyak itu pula yang melanggar. Jadi bukan karena orang Minang-nya, tetapi karena banyak yang melanggar ajaran Minang-nya, hingga tinggallah sifat kabaunya saja.*
~ Penulis, Muhammad Nasir, Dosen Fakultas Adab dan Humaniora, UIN Imam Bonjol, Padang, muhammadnasir@uinib.ac.id
~ Gambar oleh Peter H dari Pixabay