Tidak Mencari Musuh, Kita Orang Bersodara. Kerusuhan dan penyerangan brutal yang terjadi di Wamena dengan korban cukup banyak dialami perantau Minang telah menimbulkan empati warga Minang terhadap peristiwa dan korban yang berjatuhan. Ada fenomena politik lucu yang diperlihatkan oleh pemerintah terkait dengan penanganan kasus Wamena dan terhadap korban khususnya warga Minang di Wamena.
Secara sosiologis, warga Minang yang telah cukup lama merantau di Wamena, berhadapan dengan kultur dan agama yang berbeda. Asimilasi masyarakat Minang dengan budaya Papua tidaklah menjadi problem besar yang menimbulkan api dalam sekam.
Kultur egaliter dan persaudaraan yang diperlihatkan oleh warga Minang telah menarik simpati warga Wamena sehingga dalam puluhan tahun pergaulan itu sama sekali tidak pernah terjadi konflik di antara warga Minang dan warga Papua. Prinsip Bhinneka Tunggal Ika benar-benar terwujud dengan baik.
Merantau
Kaidah sosial merantau bagi orang Minang adalah ‘di ma bumi dipijak di situ langik di junjuang’ dimaksudkan sebagai sikap toleran dan akulturasi dengan kebudayaan setempat. Bagi orang Minang, ‘musuah indak dicari’, artinya perjalanan rantau warga Minang ke Wamena semata-mata untuk mencari hiduik dan sekaligus hendak mengekspresikan kaidah ‘di kampuang paguno alun’.
Baca juga: Identitas Kultural Orang Minangkabau
Dengan merantau, orang Minang tidak saja melakukan kegiatan-kegiatan ekonomi, namun di balik itu, orang Minang berupaya mencari dunsanak atau saudara. Hitamnya kulit orang Papua tidaklah menunjukkan hitamnya hati orang Papua.
Orang Papua memiliki jiwa yang bersahabat dan suka bergaul dengan tipe masyarakat manapun. Orang Papua bukanlah tipe masyarakat yang suku mem-politik-i berbagai persoalan. Bagi mereka hidup adalah realitas yang mesti dijalani dengan sukacita dan penuh gembira. Prinsip mereka terhadap siapapun adalah ‘kita orang bersodara’.
Pergumulan ekonomi, antara kekayaan negeri Papua dengan kemiskinan yang begitu mencolok dengan kehadiran orang Minang sebagai pedagang, tidaklah seperti dipersepsi marxisme; munculnya kelompok borjuis dan proletar di Papua, atau terbentuknya kelas menengah kapitalis. Perdagangan orang Minang tidak lebih sekedar pergulatan mencari sesuap nasi tanpa sama sekali membangun kartel besar untuk memiskinkan Papua.
Oleh karena itu, pertemuan bisnis antara warga Wamena sebagai pembeli dengan orang Padang (baca: Minang) sebagai penjual bukan semata-mata dalam konteks “pembeli dan penjual”.
Bahkan, sebagaimana pengakuan warga Minang, dengan perdagangan tersebut semakin memperkuat ikatan-ikatan sosial patembayan di mana perbedaan kedua suku budaya Papua dan Minang, semakin mencair dan bersahabat. Tidak jarang, orang Minang ketika bertemu dengan anak-anak Wamena memberikan hadiah-hadiah untuk anak-anak Wamena.
Sebaliknya, warga Wamena pun melakukan hal yang sama, memberi warga Minang berbagai macam hadiah sebagai tanda persaudaraan. Dalam berbagai pertemuan penulis dengan warga Papua di Jakarta pada ajang pertemuan pelajar dan organisasi pelajar, bergaul dengan warga Papua menimbulkan keasyikkan tersendiri.
Sikap mereka yang ramah, sopan, mudah bergaul dan cepat akrab, serta tidak kaku menyatu dalam kelompok yang berbeda dengan mereka, sekalipun mereka hanya sendirian, memperlihatkan tingkat akseptabilitas dan akomodalitas yang tinggi warga Papua terhadap suku budaya lain.
Anomali Papua
Peristiwa Wamena jelas memperlihatkan situasi keanehan luar biasa. Sikap beringas yang terjadi di Wamena dengan kekejaman yang luar biasa, sepertinya bukanlah tipikal warga Papua yang suka konflik dan memicu pertikaian, apalagi yang dialami oleh warga Minang yang sehari-hari bergaul sangat dekat dengan warga Wamena.
Ekspresi politik warga Wamena bukanlah terhadap warga masyarakat di sekitar mereka, melainkan terhadap kebijakan pemerintah pusat yang cenderung gagal membangun Papua yang notabene memiliki kekayaan alam melimpah-ruah.
Pengendapan mentalitas melawan warga Papua bukanlah terhadap saudara-saudara mereka berlainan budaya yang ada di Wamena ataupun daerah lainnya di Papua, melainkan terhadap janji-janji pemerintah pusat yang sering gagal terwujud di Papua.
Adakah korelasi peristiwa Wamena dengan Pilpres di Sumatera Barat dengan kerusuhan Wamena? Analisis terhadap peristiwa tersebut tentu membutuhkan bukti-bukti yang cukup kuat. Namun, melihat kejadian tersebut, siapapun dapat menghubung-hubungkan dua kejadian politik itu. Kekalahan di Sumatera Barat dengan penindasan terhadap warga Minang dengan menggunakan tangan warga Papua.
Sikap politik orang Minang di luar Wamena memang agak sedikit eksesif. Dan itulah tipikal orang-orang Minang, sekalipun jauh di rantau, hubungan kekerabatan tidak pernah terpisahkan oleh ruang dan waktu.
Kealpaan negara memahami kebudayaan masyarakatnya telah menciptakan ketegangan antara negara dengan Minangkabau.
Pengumpulan uang yang mencapai angka lebih kurang Rp 4 miliar di Jakarta, kunjungan Wakil Gubernur Nasrul Abit ke Wamena, infak bagi Wamena di setiap mesjid di seluruh Sumatera Barat, aksi-aksi turun ke jalan minta keadilan kepada negara dan berbagai poster-poster yang sangat ekspresif, mengkristalisasikan perlawanan masyarakat Minang terhadap negara.
Negara gagal mengakomodir jaminan keselamatan warga negara di negeri sendiri. Negara tidak mampu menciptakan keamanan dan kepastian hukum bagi warganya sendiri.
Ekspresi-ekspresi yang bercampur-baur antara politik dan hak asasi ini memperlihatkan bagaimana kemudian dalam perspektif orang Minang. Negara dalam periode ini adalah negara yang sibuk dengan politisasi kepentingan oligarkisme dan aristokrasi politis dengan mengabaikan apa yang semestinya dilakukan negara.
Kebungkaman elit politik dan pengabaian terhadap peristiwa ini, sekalipun dalam simbol politik hubungan negara dengan warga Minang, semakin meyakinkan bagi sebagian pendukung demokrasi, betapa negara gagal hadir untuk rakyatnya.
Dalam pendekatan yang agak lebih teoritis, negara mengklaim dirinya menentukan kebaikan-kebaikan bagi warga negara. Negara mempersepsi mana yang layak dan tidak untuk warga, serta secara eksplisit, bahwa sepertinya ada pelajaran yang mesti diberikan kepada orang Minang.
Dalam konteks khusus politik Minang, penghilangan tekanan pada paradigma dan penggambaran kembali tantangan yang akan dihadapi oleh negara di tahun-tahun mendatang. Negara harus mampu melihat peristiwa Wamena sebagai fenomena sosial penting.
Persepsi untuk menganalisis peristiwa tersebut tidak semata-mata dilihat dari kacamata elit Jakarta yang kadang-kadang gagal menangkap makna substansial dari peristiwa yang terjadi. Cara pandang local-wisdom penting dirujuk oleh negara agar ke depan hal-hal serupa seperti di Wamena tidak terjadi lagi di daerah-daerah lain di Indonesia. (*)
*Penulis, Irwan, S.H.I., M.H., Peneliti Portal Bangsa Institute
**Gambar fitur oleh truthseeker dari pixabay