Sikap Muhammad S.A.W dan kaum Pagan terhadap Tempat Ibadah

redaksi bakaba

Ka’bah pada masa itu adalah representasi rumah ibadah bagi semua kalangan, lalu bagaimanakah sikap Nabi Muhammad dan para penyembah berhala terhadap Ka’bah?

Gambar oleh Abdullah Shakoor dari Pixabay
Gambar oleh Abdullah Shakoor dari Pixabay

~ Delianur

AWALNYA adalah migrasi Nabi Ibrahim beserta anak istri ke tempat tandus. Tempat tandus yang sekarang disebut Makkah, anak istri Nabi Ibrahim (Ismail dan Siti Hajar), bukan hanya berhasil menemukan mata air abadi, tapi juga berhasil membangun tempat ibadah bernama Ka’bah. Bangunan segi empat yang di dalamnya terdapat batu yang diyakini berasal dari surga; Hajar Aswad.

Orang meyakini bahwa pembangunan Ka’bah merupakan perintah Tuhan, berbagai kalangan datang ke Ka’bah meski antar mereka “berbeda Tuhan”. Bila kaum Sabian penyembah binatang meyakini Ka’bah sebagai tempat agung dan suci, maka orang Yahudi meyakininya sebagai warisan Nabi Ibrahim. Begitu juga bagi pemeluk Iman Kristiani. Di Ka’bah terdapat lukisan Bunda Maria dan Nabi Isa karena banyaknya pemeluk Kristen yang beribadah ke sana. Terlebih para kaum pagan atau penyembah berhala.

Pada masanya Ka’bah dikenal sebagai tempat yang dikelilingi ratusan patung berhala sembahan kaum pagan.

Selain itu, meski terletak di Arab, Ka’bah adalah tempat suci bagi orang luar Arab. Orang Hindu dan Persia menyebut Ka’bah dengan Maksyisya dan Maksyisyana. Mereka meyakini bahwa ruh Shibwat ada di di dalam Hajar Aswad. Shibwat adalah salah satu Dewa mereka yang pernah melakukan perjalanan ke Hijaz. Begitu juga dengan orang Persia yang meyakini ruh Hermes berada di Ka’bah.

Karena menjadi tempat beribadah bagi banyak kalangan, maka orang sangat meyakini bahwa Ka’bah adalah tempat suci yang tidak boleh dinodai. Penodaan Ka’bah akan berakibat fatal. Dalam sejarah Ka’bah tercatat kaum bernama Jurhum yang selama hampir 300 tahun mengelola Ka’bah pasca Nabi Ismail. Namun karena mereka serakah dan suka semena-mena terhadap pengunjung, akhirnya mereka jatuh. Kaum Jurhum disebut menderita mimisan akut sehingga dikerumuni semut yang mengakibatkan kematian.

Peristiwa penting itu yang bisa menggambarkan kesakralan, kepopuleran serta Ka’bah sebagai tempat ibadah bagi banyak kalangan adalah peristiwa tahun Gajah. Sebuah upaya penghancuran Ka’bah dengan melibatkan tentara Gajah.

Mulanya adalah ketika Abrahah penguasa Habsyah, Ethopia sekarang, di Yaman yang iri pada kepopuleran Ka’bah. Untuk menandingi dan menarik minat orang beribadah, Abrahah membangun Gereja besar dan megah di San’a. Meski akhirnya bangunan ini tidak membuat orang berpaling dari Ka’bah, namun seorang anggota suku Quraisy terlanjur marah. Suatu waktu, dia mendatangi Gereja buatan Abrahah dan membuang kotoran di sana. Abrahah pun marah dan mengirim pasukan Gajah untuk menghancurkan Ka’bah.

Manakala Abrahah datang ke Makkah dengan pasukan yang tidak bisa ditandingi, penduduk Makkah tidak melakukan perlawanan. Sebagian diam di dalam kota tanpa mempunyai niat melakukan perlawanan, sebagian lagi mengungsi keluar kota menyelamatkan diri.

Di sela-sela penyerbuan tersebut disebutkan bahwa Abdul Muthalib, kakek Nabi Muhammad yang menjadi penanggung jawab Ka’bah, menghadap Abrahah. Semula Raja menganggap bahwa kedatangan Abdul Muthalib adalah untuk membujuknya membatalkan rencana penghancuran Ka’bah. Namun Abrahah kaget. Alih-alih meminta Abrahah membatalkan penyerangan, Abdul Muthalib justru hanya menuntut Abrahah mengembalikan 100 unta miliknya yang sudah dirampas oleh anak buah Abrahah. Ketika Raja mempertanyakan sikap Abdul Muthalib yang lebih menghiraukan unta miliknya ketimbang Ka’bah yang dia jaga, Abdul Muthalib menjawab ringan. Menurut kakek Nabi tersebut, Ka’bah adalah rumah’ Tuhan dan Tuhan-lah yang akan menjaganya.

Peristiwa selanjutnya adalah seperti yang sudah menjadi cerita mashur. Bahwa pasukan gajah bukan hanya tidak mau bergerak menuju Ka’bah, tetapi Abrahah beserta pasukannya mendapat serangan dari burung-burung yang membawa batu panas.

Ka’bah pada masa itu adalah representasi rumah ibadah bagi semua kalangan, lalu bagaimanakah sikap Nabi Muhammad dan para penyembah berhala terhadap Ka’bah?

Berkaitan dengan pertanyaan di atas, adalah hal menarik untuk menyimak salah satu episode kehidupan Nabi Muhammad. Utamanya ketika Nabi menandatangani perjanjian gencatan senjata dengan orang Makkah di tempat bernama Hudaibiyyah.

Suatu hari Nabi Muhammad menyampaikan mimpinya kepada para sahabat di Madinah. Kata Nabi, beliau bermimpi memasuki Ka’bah dalam kepala tercukur dengan kunci Ka’bah dalam genggaman. Mimpi yang menurut Nabi petunjuk untuk melakukan haji ke Ka’bah ini, disambut antusias para sahabat. Selain karena ingin melaksanakan ibadah, berhaji berarti menyambangi tanah kelahiran yang sekian lama ditinggalkan; Makkah.

Namun dalam rencana itu Nabi memberlakukan aturan tegas, semua yang berangkat tidak diperkenankan membawa pedang. Ketika itu hubungan Makkah dan Madinah masih panas. Umar yang kuatir terhadap keselamatan rombongan sempat mengusulkan membawa Pedang sebagai antisipasi bila orang Makkah menyerang. Namun Nabi tetap menolaknya. Menurut Nabi, satu-satunya benda tajam yang boleh dibawa hanyalah pisau. Itupun untuk berburu hewan makanan di tengah perjalanan.

Rencana Nabi ini melahirkan dilema bagi elite Makkah. Secara sosial budaya, orang Makkah tidak boleh menghalangi siapapun orang yang datang ke Mekkah untuk beribadah. Adalah kehinaan bagi masyarakat Makkah bila mereka menolak atau melarang orang yang hendak beribadah ke Makkah. Namun di sisi lain, Makkah dan Madinah sedang bermusuhan. Mereka baru selesai Perang Khandak yang dimenangkan Madinah. Secara politik, akan tersemat kehinaan bagi masyarakat Makkah bila membiarkan orang Madinah musuh mereka melenggang masuk Makkah tanpa perlawanan. Ada kekalahan dan kehinaan secara politis.

Upaya mencegah kedatangan Nabi memasuki Makkah pun dilakukan elite Makkah. Upaya pertama adalah dengan mengirim pasukan yang dipimpin Khalid bin Walid untuk mencegat Nabi jauh di luar area Makkah.

Upaya ini gagal. Nabi yang mengetahui hadangan itu, membelokkan arah rombongan sehingga terhindar dari hadangan Khalid. Qashwa, unta tunggangan Nabi, berhenti di daerah bernama Hudaibiyah

Setelah penghadangan terhadap rombongan Nabi Muhammad gagal, muncullah Budail bin Warqa Kepala Suku Badui Khuza’ah. Suku yang pada satu sisi tidak mengimani Nabi namun lebih berpihak kepada Nabi dibanding kepada Mekkah. Berperan sebagai mediator untuk meredakan ketegangan, Budail mencari kebenaran niat Nabi untuk beribadah, bukan untuk berperang, dan memberikan kesaksian itu kepada Quraisy Mekkah. Upaya ini juga gagal. Elite Makkah tidak mempercayai kesaksian Budail bahwa rombongan Madinah alih-alih membawa senjata, justru membawa hewan kurban untuk haji.

Setelah itu, pihak Makkah dan Madinah pun saling berkirim utusan. Utusan-utusan yang tidak hanya bertugas melakukan negosiasi dan lobi, tetapi juga melakukan fact checking. Utamanya utusan Makkah yang mencari bukti bahwa kedatangan Nabi untuk beribadah bukan berperang.

Sebagaimana diketahui, ujung dari kejadian ini adalah terumuskannya sebuah perjanjian gencatan senjata bernama perjanjian Hudaibiyah. Dalam perjanjian ini disepakati bahwa pada tahun itu penduduk Madinah tidak diperkenankan memasuki Makkah dan mesti kembali ke Madinah. Namun pada tahun depannya, umat Islam diperkenankan beribadah ke Makkah dan penduduk Makkah mesti menyingkir dari Makkah selama tiga hari untuk memberi kesempatan kepada penduduk Madinah melakukan ibadah.

Selain itu disepakati bahwa setiap orang Makkah yang membelot ke Madinah, mesti dikembalikan ke Makkah. Sebaliknya, bila ada penduduk Madinah yang membelot ke Makkah, tidak ada kewajiban bagi orang Makkah untuk mengembalikannya ke Madinah.

Ada beragam kesimpulan yang diambil banyak kalangan berkait dengan proses perjanjian Hudaibiyah ini. Bagi yang mempelajari Islam Politik atau Politik Islam, perjanjian Hudaibiyah mencirikan visi dan strategi Nabi Muhammad.

Di kala Sahabat kecewa tentang pasal pengembalian orang yang membelot ke Madinah, Nabi justru menyetujuinya. Di kemudian hari terbukti bahwa orang yang membelot dari Makkah ke Madinah, meskipun sudah dikembalikan ke Makkah, mereka berinisiatif untuk memberontak. Alih-alih kembali ke Makkah, mereka justru lari dan membuat komunitas yang menjadi satelit Makkah. Komunitas inilah yang akhirnya melemahkan kekuatan Makkah karena mereka yang secara konstan merongrong kekuatan Makkah dengan memotong jalur perniagaan orang Makkah keluar Arab.

Bagi para pengkaji Tasawuf, peristiwa Hudaibiyyah adalah gambaran seharusnya ibadah itu dilakukan. Pada masa itu, para sahabat disebut kecewa terhadap keputusan Nabi karena mereka mesti menunda rencana masuk Makkah ke tahun berikutnya. Padahal mereka bukan hanya sudah berniat untuk berhaji tahun itu, tetapi juga sudah membawa hewan kurban. Karena tidak bisa memasuki Makkah, Nabi tetap menyuruh para sahabat untuk memotong hewan kurban dan mencukur rambutnya.

Menurut banyak riwayat yang dikutip para pengkaji Ilmu Tasawuf, rambut-rambut yang dipotong itu berterbangan tertiup angin menuju kota Makkah. Potongan rambut itulah yang kemudian melakukan thawaf di Ka’bah. Berkaca dari peristiwa ini, menurut pengkaji Tasawuf seperti itulah mestinya ibadah itu dilakukan. Mesti dengan niat suci dan kesungguhan. Kehadiran fisik di tempat Ibadah tidak menjadi jaminan kualitas ibadah seseorang dan penerimaan Tuhan.

Namun yang agak jarang dibicarakan dari peristiwa Hudaibiyyah ini adalah tentang sikap Nabi Muhammad dan masyarakat Arab ketika itu, termasuk di antaranya para penyembah berhala, terhadap rumah ibadah.

Pada peristiwa tersebut, Nabi terlihat jelas berusaha keras menghindari peperangan di tempat Ibadah. Sementara di sisi lain, masyarakat Arab umumnya dan Quraisy Makkah khususnya, juga sangat menjaga dan menghormati Ka’bah sebagai tempat ibadah.

Mereka menjaga konvensi bahwa di Ka’bah tidak boleh ada peperangan. Meski orang menyebut mereka sebagai kaum jahiliah dan kaum pagan, penyembah berhala.

Mungkin hal yang jangan dilupakan bahwa dalam sejarah Islam pun dikenal istilah Masjid Dhirar. Sebuah tempat ibadah yang dibangun atas dasar kemunafikan sebagai alat tipu daya dalam memenuhi hasrat politis. Berhadapan dengan masjid seperti ini, dalam sejarahnya Nabi Muhammad tanpa keraguan sedikit pun menghancurkannya. Sebab tempat Ibadah yang didirikan itu bukan untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia untuk beribadah, namun hanya alat manipulasi. Hanya saja berkenaan dengan hal ini, tentunya kita membutuhkan ruang yang lebih luas dan lebih khusus untuk membicarakannya.

~ Penulis, mantan Ketua PB PII, berasal dari Agam
**Gambar oleh Abdullah Shakoor dari Pixabay 

Next Post

Kebenaran Bungkam karena Kekuasaan

Jurnalisme pada dasarnya adalah jalan juang untuk mengungkapkan kebenaran faktual. Kini itu pula yang dipermainkan segelintir orang yang tiba-tiba memakai jurnalisme sebagai alat kepentingan memelintir kebenaran.
Gambar oleh PDPics dari Pixabay

bakaba terkait