Covid-19 dan Kearifan Lokal Minang yang Diabaikan

redaksi bakaba

“Kepedulian, tanggung jawab di Minangkabau sebenarnya sangat tinggi. Masalahnya adalah sikap batin, yang sekian lama tidak dibenahi. Padahal itu adalah ruh Minangkabau,” kata Buya Gusrizal.

bakaba.co | Payakumbuh | Wabah Corona: Covid-19 mulai muncul dan merebak di Sumbar –khususnya– sejak pekan pertama Maret 2020. Sampai pertengahan Mei ini, 19 kota dan kabupaten di Sumbar ada kasus warga masyarakat terpapar Covid-19. “Sumbar yang identik dengan Minangkabau dikenal memiliki kearifan lokal, local wisdom. Dalam menghadapi masalah Covid-19 ini, kearifan lokal itu tidak begitu terlihat. Ada apa? Kita perlu membangkitkan kearifan lokal itu secara bersama.”

Pertanyaan dan harapan ke depan tentang kearifan lokal Minangkabau itu mengemuka dalam diskusi virtual Zoom Bakaba Forum part-1 tema: ‘Mencegah Pandemi Covid-19 dengan Pendekatan Local Wisdom’ yang digelar bakaba.co, Portal Bangsa Institute, Sahati Law Firm, LuHak Muhammadiyah, didukung Sumbartime.com, Jumat, 15 Mei 2020.

Bakaba Forum menghadirkan tiga narasumber: Ketua MUI Sumbar Buya H. Gusrizal Gazahar, Dr. Emeraldy Chatra, Dr. Wendra Yunaldi, S.H., M.H. Diskusi dimoderatori Irwan, S.H.I., M.H. Diskusi yang berlangsung 2,5 jam itu, diikuti 76 orang, dari berbagai kalangan dan profesi.

Tradisi Kebersamaan

Dalam awal paparan, Emeraldy Chatra memulai dengan ilustrasi kebiasaan masyarakat saat baralek di Nagari Maek, 50 Koto. Pada acara baralek, yang ikut makan disyaratkan ‘membayar’ setara satu kilo ikan. Jika harga ikan Rp 15 ribu, sebanyak itu setiap orang ikut turun. Setelah makan, tuan rumah menyampaikan dana yang terkumpul. Dana itu disebut sebagai infak.

“Berapa pun kaya atau miskinnya orang di Maek, pestanya tetap seperti itu. Begitu cara mengatasi jurang antara kaya dan miskin. Juga mengatasi satu kegiatan, dalam hal ini baralek. Tradisi itu sudah turun menurun,” ujar Emeraldy, yang juga dosen di FISIP Unand.

Kebersamaan di Maek juga ditunjukkan dalam bidang keamanan nagari. Di sana, kata Emeraldy, kendaraan tanpa dikunci tidak akan hilang. Tidak diganggu orang. “Contoh saat baralek dan terjaganya keamanan, itulah bentuk kearifan lokal di suatu nagari di Sumatera Barat, di Minangkabau,” kata Emeraldy.

Secara akademis, kearifan lokal adalah turunan dari budaya suatu etnik. Budaya menjelaskan sisi-sisi abstrak dari suatu pemikiran yang diterima dan diproduksi secara kolektif satu suku bangsa. Kemudian diturunkan dalam bentuk praktis, teknis dan kongkrit.

“Itulah yang disebut kearifan lokal. Di Minang, praktik solidaritas, kebersamaan ditunjukkan dengan membangun rumah gadang bersama-sama dan tinggal bersama di rumah gadang itu. Kearifan lokal itu ekuivalen dengan tradisi,” papar Emeraldy Chatra.

Di dalam masyarakat Minangkabau juga dikenal idiom ‘sadanciang bak basi, saciok bak ayam’, ‘ka lurah samo manurun, ka bukik samo mandaki’ yang mencerminkan kebiasaan saling membantu.

Dikaitkan dengan kondisi pandemi Corona: Covid-19, kearifan lokal di Minangkabau barangkali di bidang pengobatan. Dalam pandangan Emeraldy, tradisi pengobatan Minangkabau tidak kompatibel dengan pengobatan modern. “Pengobatan modern atau barat sangat rasional, empiris. Pengobatan di Minangkabau berbau mistik. Jadi, jangan coba-coba menyorongkan ide menghadapi Covid-19 dengan cara pengobatan Minang,” kata Emeraldy.

Kearifan lokal yang relevan dalam upaya menghadapi Covid-19 menurut Emeraldy, bisa berupa tradisi saling bantu, kebersamaan, gotongroyong. Misalnya ketersediaan pangan saat paceklik, orang Minang memiliki rangkiang ‘si tangguang lapa’.

“Sayangnya, itu sudah langka sekarang. Ini yang perlu jadi catatan kita, bagaimana tradisi itu bisa dihidupkan kembali,” kata Emeraldy Chatra.

Kearifan lokal Minangkabau tidak habis, masih ada meski tidak merata hidup dan berjalan di seluruh nagari. Di suatu nagari tetap hidup kearifan lokal di bidang agama, tetapi di nagari lain bisa tidak lagi kuat. Di bidang kebersamaan sebagai budaya Minangkabau, dalam bentuk konkrit sebagai kearifan lokal tidak banyak lagi terlihat.

“Sementara menghadapi virus Covid-19 dibutuhkan kebersamaan, saling harga menghargai. Juga dalam menghadapi efek Covid-19 di bidang ekonomi, bisa diatasi secara bersama-sama,”  ujar Emeraldy.

Pandemi Covid-19 menurut Emeraldy, tidak hanya masalah wabah, penyakit. Tetapi, momentum untuk menyadari betapa rapuhnya kita selama ini. Betapa abai kita terhadap budaya kita. Di saat membutuhkan kekuatan budaya kita, ternyata sudah tidak ada lagi.

“Jika pun masih ada tersisa, ternyata tidak relevan lagi dengan keadaan. Covid-19 harus membuat kita sadar untuk kembali membangkitkan kearifan lokal kita,” kata Emeraldy.

Tidak Pesimis

Pembicara kedua, Ketua MUI Sumbar Buya Gusrizal Gazahar Dt. Palimo Basa memulai dengan melihat apa yang istimewa dari adat Minangkabau yang dapat dijadikan kekuatan sebagai solusi menghadapi masalah seperti pandemi Covid-19.

Dalam pandangan Gusrizal, ada lima keistimewaan Minangkabau. Pertama, falsafah Minangkabau; adaik basandi syara’, syara’ basandi kitabullah – syara’ mangato, adaik mamakai. Falsafah itu mengisi ruang pemikiran, mengisi ruang keyakinan. Tradisi yang lahir dalam bentuk sikap dan prilaku merupakan buah dari pemikiran yang ada dalam diri orang Minang.

Kedua, sikap dan prilaku. Hal ini berkaitan dengan sopan-santun. Ketiga, tatanan kemasyarakatan. Di Minang struktur masyarakatnya ada kaum, suku, bako. Empat, konsep kepemilikan. Harta dimiliki secara bersama. Ada pusako tinggi, pusako randah. Dari kebersamaan itu dilihatkan dengan adanya tiga rangkiang di depan rumah gadang: si bayau-bayau, si tangguang lapa, si tinjau lauik. Kelima, struktur kepemimpinan. Adaik barajo, adaik bapangulu.

Lima keistimewaan Minangkabau itu, yang menjadi akarnya adalah yang pertama. Dari sisi pandang syariat, dalam menghadapi Covid-19, kenapa sekarang tidak efektif tradisi kita Minangkabau. Tidak terlihat dominan dalam menghadapi Covid-19.

Sekarang ujar Gusrizal, terlihat sikap batin orang Minang tidak duduk dalam menghadapi wabah Covid-19. MUI dari awal menghimbau pentingnya sikap batin didudukkan, diperhatikan dan diberi ruang yang cukup. Sebab, sikap mental, aspek keimanan menghadapi Covid-19 sangat minim. Seakan semuanya akan kita selesaikan dengan rumah sakit, para medis, labor kesehatan.

“Seolah-olah aspek keimanan yang menjadi penggerak lahir dalam kondisi ini, yang melahirkan sikap dan perbuatan dapat perhatian sangat kecil. Berbagai pihak diajak untuk memperhatikan aspek keimanan, dianggap bahwa itu adalah domain majelis ulama,” papar Gusrizal Gazahar Dt. Palimo Basa.

Dalam agama, ada dua sikap dalam menghadapi wabah. Yakni sikap i’tiqadi atau sikap keimanan, dan sikap amali atau praktis. Sikap i’tiqadi, ada masyarakat kita yang menyatakan ‘masa takut pula sama Corona daripada sama Allah’.

“Itu menunjukkan, sikap imani, sikap i’tiqadi tidak duduk. Orang itu tidak paham bahwa takut itu terbagi dua; takut thabi’iy dan takut imani,” ujar Gusrizal.

Kita juga mendengar ummat saling tuduh dengan mengatakan, Covid-19 sebagai azab, cobaan. Padahal dalam Al-Qur’an ada jaminan: selagi kita pandai meminta ampun tidak akan diturunkan Allah azab.

Jika sikap i’tiqadi dan imani duduk, akan melahirkan sikap amali, di mana ummat akan berdoa, saling menjaga ucapan, sikap dan perilaku. Merujuk pada ulama, bagaimana petunjuk agama menghadapi wabah. “Termasuk di dalamnya nilai-nilai yang dulu yang dijadikan sebagai adat, tradisi di Minangkabau,” kata Buya Gusrizal.

Syara’ di Minangkabau bagaikan ruh, jiwa. Apapun yang dilakukan orang Minangkabau, yang menggerakkan itu adalah jiwa, syariat yang ada dalam diri. Sekarang, apakah kita akan namakan local wisdom, kearifan lokal, adat istiadat. Sekarang disebut tidak efektif, padahal memiliki nilai yang baik.

“Kepedulian, tanggung jawab di Minangkabau sebenarnya sangat tinggi. Masalahnya adalah sikap batin, yang sekian lama tidak dibenahi. Padahal itu adalah ruh Minangkabau,” kata Gusrizal.

Struktur Sosial Lemah

Wendra Yunaldi memulai paparannya menyorot masalah birokrasi. Ketika Covid-19 terjadi, kata Wendra, nampak secara nyata struktur negara, birokrasi kita tidak siap. Terlihat struktur dan infrastruktur di bawah tidak ada. Tidak ada komando di tingkat bawah. kondisi ini berbahaya. Jika fakta ini dibaca intelijen negara lain, negeri ini sangat gampang dijajah. Cukup dengan satu Covid-19, pasukan di bawah sudah kocar-kacir.

Sebenarnya gagasan local wisdom, kesatuan masyarakat hukum adat, sudah lama didengungkan. Itu bisa dilihat pada dasar negara. Sekarang ada yang lupa, menguatkan struktur sosial di tingkat bawah. Dalam amandemen UUD, struktur ketatanegaraan diperkuat, diberikan otonomi daerah.

Tetapi, otonomi itu semu. Bahkan beberapa kali UU Pemda diubah otonomi daerah itu ditarik kembali ke pusat secara perlahan. “Bidang kesehatan dan perlindungan dasar masyarakat merupakan kewenangan pemerintah daerah. Tetapi menghadapi Covid-19, Pemda terlihat tidak siap.

“Sumatera Barat yang memiliki kearifan lokal, mestinya mampu menjadi bumper menghadiri berbagai permasalahan seperti wabah Covid-19. Mestinya kekuatan lokal bisa digerakkan untuk mengatasi wabah ini,” ujar Wendra yang juga dosen di Fakultas Hukum UMSB.

Sekarang menghadapi Covid-19 terlihat lebih sebagai tindakan birokratis dan administratif. Tidak merangkul, memanfaatkan potensi masyarakat lokal, nagari, jorong sampai ke level suku dan kaum.

Selama ini kita sibuk memframing ABSSBK, baliak ka surau yang hanya berupa statemen. Tetapi dalam bentuk formulasi sebagai gerakan. Baliak ba-surau, baliak ba-nagari hanya berupa statemen politik tanpa langkah nyata di birokrasi dan pemerintahan. Bahkan Perda Propinsi Nomor 7 Tahun 2018 tentang Nagari, justru menambah kerusakan struktur dan kultural nagari di Sumbar. Perda tersebut landasan berpikir dan filosofisnya tidak jelas.

Di Sumbar, bicara local wisdom, kearifan lokal hanya statemen politik. Bicara nagari hanya kepentingan di masa kampanye yang laku dijual dengan slogan ‘berbakti untuk nagari, membangun nagari’. “Tetapi substansi kultural, tidak ada gerakan yang nyata dilakukan,” kata Wendra.

Ke Depan, Bagaimana?

Dari persoalan tidak terlihat efektif dan berfungsinya kearifan lokal Sumbar, Minangkabau dalam mengantisipasi dan melawan wabah Covid-19, bagaimana lagi setelah ini. “Apa yang harus dilakukan agar tidak kehilangan tongkat dua kali,” tanya Buya Januaridi, salah seorang peserta diskusi.

Emeraldy Chatra berpendapat, dampak Covid-19 membuat ekonomi masyarakat semakin susah, jumlah orang miskin bertambah. “Rasa kebersamaan, saling tenggang, saling memberi, tolong menolong harus dibangkitkan kembali. Syaratnya, harus terlembaga agar dia tidak dilakukan secara emosional tapi menjadi tradisi, menjadi kearifan lokal,” kata Emeraldy.

Wendra Yunaldi menilai, kekuatan kearifan lokal sebagai jawaban dan solusi pasca Covid-19. Masyarakat di nagari bisa menggalang dana untuk kebutuhan pangan warga dan membantu ekonomi warga yang terpuruk.

“Jika dulu ada rangkiang di Tangguang Lapa, sekarang bisa melalui ‘Peti Bunian’ sebagai lembaga penghimpun dana di nagari untuk membantu warga yang kesulitan. Itu sudah dilakukan di suatu daerah di Payakumbuh,” kata Wendra.

Begitu juga Buya Gusrizal menggarisbawahi, kearifan lokal masyarakat Minangkabau tidak sepenuhnya hilang. Tetapi harus dimulai dengan kesadaran dan pengakuan bahwa kita semua sudah lalai selama ini. Semua piranti kearifan lokal yang dulu begitu hebat, sekarang karena kita abai menjadi tidak efektif, tidak berfungsi lagi.

“Dengan pengakuan itu, ke depan kita bisa melakukan perbaikan keadaan secara bersama. Jika tidak bisa melakukan perbaikan untuk semua hal, kita mulai dengan semampu kita dulu,” ujar Dt. Palimo Basa.

~ aFS/bakaba

Berikut Diskusi Lengkapnya di YouTube bakaba channel :

Next Post

Covid-19 Sumbar: 117 Orang Sembuh

Informasi warga positif Covid-19 yang sembuh hari ini; warga Padang 5 orang, warga Bukittinggi 2 orang, masing-masing satu orang warga Padang Panjang, Tanahdatar dan Padang Pariaman.
Gambar oleh muhammad rizky klinsman dari Pixabay

bakaba terkait