Secanggih apapun teknologi informasi di tanganmu, yang perlu diingat ada banyak cara bisa melacaknya jika orang mau. Sehebat apapun menyuruk di akun anonim suatu saat akan ketahuan.
Satu lagi, hidup ada cermin. Apapun yang kau lakukan akan kembali kepada dirimu. Kenapa bisa begitu? Perbuatan baik akan dibalas perbuatan baik, perbuatan buruk akan dibalas perbuatan buruk.
Tetapi orang memang jarang peduli dengan akibat. Lakukan dulu, baru dipikirkan. Lebih-lebih di masa kini, di media sosial. Akun anonim bisa dibuat, lalu dihapus. “Lempar batu sembunyi tangan.” Padahal, jika sedikit cerdas, tak ada sedikitpun bisa sembunyi di media sosial. Bisa bersembunyi tetapi ketahuan juga.
Begitulah kira-kira, setelah menyimak salah satu tulisan yang menyangka-nyangka Boby Lukman Piliang sebagai orang yang mampu mengendalikan dua tokoh penting. Padahal, teman saya ini salah seorang staf ahli di lembaga legislatif, setelah sebelumnya pernah menjadi tenaga ahli di istana negara. Tak lebih dari itu. Mana pula ia bisa mengendalikan tokoh-tokoh, dua ketua partai tingkat daerah.
Menjadi jurnalis telah membawa Boby Lukman Piliang ke dunia profesional kajian media dan politik. Bisa bekerja di Eksekutif dan Legislatif dalam waktu dan fase yang berbeda adalah pengalaman yang luar biasa. Tak banyak jurnalis yang bisa seperti Boby Lukman Piliang.
Soal anonim dan serangan ke Boby Lukman Piliang, sangat mudah ditebak. Ketika sebuah tulisan dengan nama palsu diviralkan dengan berbagai alasan. Siapa yang dimenangkan oleh tulisan tersebut? Itu satu jalan dari sekian banyak jalan untuk melokalisir siapa yang paham bermain hal-hal demikian. Oleh karena itu, bermain-main dengan akun anonim butuh kelihaian yang luar biasa.
Jalan lain? teknologi bisa menjawabnya. Bukan hanya bisa melacak keberadaan nomor tetapi juga IMEI smartphone. Khusus WhatsApp, amat mudah dilacak siapa yang melakukan kegiatan “share pertama.”
- Baca juga: Anomali Kebenaran Dunia Maya
“Sudahlah, itu teman-teman kita juga. Semacam psywar, tak banyak yang suka dengan tokoh-tokoh yang sedang melejit. Juga kepada kita. Biasalah itu, tak perlu ditanggapi seriuslah,” ungkap Boby.
Boby memang menyampaikan banyak hal secara kritis di media sosial. Apa yang dikatakannya adalah berdasarkan fakta, sayang tak banyak yang siap adu fakta. Orang lebih suka adu emosi, adu kelompok, lalu “bersembunyi di lalang sahalai.” Saya juga menyayangkan Boby dengan caranya yang konfrontatif, sebab dia bukan wartawan lagi. Sering lupa mengontrol diri. Kami dulu memang wartawan yang sulit dijinakkan. Nakal. Kini konfrontasi sudah jarang bisa dianggap hero seperti tiga dekade sebelum era post-truth ini. Konfrontasi bisa diputar balik dengan spiral kebencian. Ini teori yang dikemukakan abang profesor anyar, Iswandi Syahputra dalam pidato pengukuhannya di UIN Sunan Kalijaga beberapa waktu lalu.
Tapi sudahlah, ini memang arena politik praktis yang punya seribu kemungkinan (probabilitas). Saya hanya hendak menyatakan, sepandai apapun akun anonim bermain, selalu ada celah untuk menebak dan menyidik siapa yang sedang bermain api. Bisa dipelajari dari diksi, maksud yang hendak dicapainya, juga melacak secara virtual.
Smartphone memang milik pribadi tetapi penggunaannya melewati ruang publik. Seperti sepeda motor, yang melewati jalan tertib lintas, ada peraturan-peraturan yang mengintai. Hati-hati saja. Atau memilih, menjadi sewajarnya saja. Gunakan akun resmi, akun pribadi, lalu berlatih berpikir dalam menggunakannya. Kritis harus, benci jangan. “Akun anonim, bagi sebagian orang adalah tindakan pengecut,” kata seorang politisi kawakan.
Menurut saya, akun anonim adalah tindakan yang “menyuruk di ilalang sahalai.” Akun itu akan ketahuan pada waktunya. Seperti kebenaran, selalu akan muncul pada waktunya. Oleh karena itu, berhati-hati sangat penting agar tak terjebak dalam kemenangan adu wacana yang semu melalui akun anonim. Salam.*
*Penulis, Doktor Pemikiran Islam UIN Syarif Hidayatullah/Dosen di Jurusan Komunikasi Penyiaran Islam Fakultas Dakwah & Ilmu Komunikasi UIN Imam Bonjol Padang
**Image by Pexels from Pixabay