Mengusir Wabah Ketakutan Virtual

redaksi bakaba

Berhentilah merayakan kedangkalan dalam berpikir. Mulailah menggali kedalaman setiap informasi dengan mencari, menggali, menelaah, setiap yang datang tiba-tiba memberi sesuatu.

Gambar oleh Syaibatul Hamdi dari Pixabay 
Gambar oleh Syaibatul Hamdi dari Pixabay 
Dr. Abdullah Khusairi, MA.
Dr. Abdullah Khusairi, MA

SAMPAI kapan kita terkurung di rumah? Apakah angka-angka kematian wabah itu menakutkan bagi orang-orang beriman? Apakah informasi-informasi yang digulirkan memberi arti dalam hidup ini? Adakah yang peduli dalam kesendirian yang menjenuhkan? Apakah kehidupan hanya selebar layar smartphone?

Deretan pertanyaan kian memanjang kalau diteruskan? Sedangkan jawaban mandeg ketika membaca angka-angka Orang Dalam Pemantauan (ODP), Pasien Dalam Pemantauan (PDP), Suspect Positif, Negatif, dst. Ketakutan diciptakan dan terciptakan dengan sendirinya, ketika kealpaan tentang keikhlasan, kecintaan, dan kejujuran telah dilahirkan secara semu oleh industri. Kapitalisme telah lama membuat pertunjukan akrobatik agar tampak wajar. Ia dikapitalisasi seakan-akan berjalan wajar, apa adanya secara sempurna.

Adalah Jean Baudrillard yang menggunakan sebuah istilah untuk menyadarkan agar umat manusia tetap berpijak di atas tanah. “Simulacra!” Realitas menjadi semu, sedangkan virtual menjadi realitas. Angka lebih dipercaya dari pada nyawa. Angka-angka dibuat menakutkan, sedangkan nyawa-nyawa yang dihitung itu tak lagi mampu diperiksa dengan pendekatan lain. Kematian telah mengakhirinya. Nyawa-nyawa yang hidup seperti dipaksakan mati oleh ketakutan virtual.

Yuval Noah Harrari dalam suatu halaman bukunya menjelaskan sejarah fungsi pencatatan pada masa awal penggunaannya oleh umat manusia. Sebagai pengingat melawan lupa karena sudah begitu banyaknya gandum di gudang. Lalu angka-angka menjadi laporan, menjadi penting melebihi penting realitas dari apa yang dihitung. Tiba-tiba kesalahan terjadi dalam membaca catatan angka-angka dijadikan landasan keputusan, suatu peradaban salah jalan. Hanya berkurang satu nol, dalam bilang! sebuah peradaban kehilangan peta jalan (roadmap) dalam melangkah. Kecelakaan sejarah terjadi dimulai dari keyakinan menggunakan virtual sebagai realitas.

Mampus! Kesadaran terhadap kenyataan (realitas) harus terus dijaga. Kaum empirisme tetap bertahan pada data dan fakta dengan validitas tinggi. Tetapi keduanya membutuhkan kejujuran yang tinggi. Apakah kita hari ini berpijak pada asas kejujuran itu? Virtual yang jujur tentu saja, sayangnya siapakah yang menjamin virtual itu penuh kejujuran?

Cobalah keluar dari lingkaran virtualitas, tabung hampa udara, layar datar, yang dipaksakan ke hadapan kita. Berjalanlah tanpa itu semua, lihat realitas. Pasang perspektif empirisme, temukanlah kenyataan yang masih jujur. Buktikan hingga sampai pada titik, virtualitas begitu sering memperdayakan pikiran-pikiran. Apalagi pikiran di kepala seseorang yang kehilangan daya kritis, mudah hanyut, mudah meyakini apa yang datang tanpa konfirmasi terus menerus.

Wabah Covid-19 memberi pelajaran penting tentang peradaban, era informasi punya kelemahan yang luar biasa berbahaya. Kejujuran dalam virtualitas sangat memungkinkan dipermainkan. Keikhlasan sangat sulit dilacak. Ketika kepentingan politik kekuasaan, ekonomi, budaya, menyaru dengan wajah-wajah yang tampak jujur, begitu mudah publik diperdaya. Ditambah lagi publik tidak memiliki daya kritis dalam pikirannya.

Lalu bagaimanakah agar kita selamat dari ketakutan berwajah kebenaran yang tampak wajar diberikan secara virtual itu? Sikap curiga, kritis, harus lebih kuat dari rasa percaya, rasa senang, rasa memiliki. Berhentilah merayakan kedangkalan dalam berpikir. Mulailah menggali kedalaman setiap informasi dengan mencari, menggali, menelaah, setiap yang datang tiba-tiba memberi sesuatu.

Jangan tertarik segera. Pertanyakan paling tidak dalam jurus klasik Harold Laswell; who, what, why, when, where, and how?! Ingat, realitas yang faktual dan citraan sedang/sering dibaurkan oleh orang-orang berkepentingan di belakangnya. Ingat iklan, ingat makna, ingat perangkatnya, jaga kesadaran. Mereka ingin kita mengarahkan tangan ke saku, mengambil dompet, dan mengeluarkan uang. Mereka ingin kita membeli! Lebih dari itu, kini tidak hanya membeli, mereka ingin kita menyerahkan data, rahasia, seluruh kehidupan kita kepada mereka. Mereka butuh itu untuk dipasang ke algoritma yang kita akan menjadi menghamba kepada robot-robot pintar itu. Siapa punya? Kapitalis!

Sebuah pandemi, pada skala tertentu dibangun, dibentuk, dilayangkan kepada publik untuk suatu urusan. Entah apa, yang jelas harus masuk ke ruang kesadaran psikologis. Ini sekaitan dengan revolusi informasi yang menjadikan manusia hampir saja bukan lagi sebagai subjek, mencair dan bahkan “mati”, seterusnya membuat yang real tidak pernah ada. Hanya pikiran-pikiran nakal mampu keluar dari kurungan!

Bangunkan optimisme dalam diri, katakan dengan lantang: hidup tak sekadar selebar layar smartphone yang diisi oleh orang-orang tak bertanggungjawab terhadap kehidupan. Ayo egois, ambil informasi yang dibutuhkan saja, jangan tamak, kemaruk, dengan melalap seluruh informasi. Informasi bisa menjadi racun dalam kadar-kadar tertentu, menjadi vitamin pada kadar lain.

Selamat mencoba memenangi kejujuran dan keikhlasan dengan cara menyabar dan menyadar, sebagai individu yang merdeka dari penjajahan informasi. Wabah apapun akan pergi jika kita sendiri melupakannya.[]

~Penulis, Dosen Jurusan Komunikasi Penyiaran Islam (KPI) Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi (FDIK) Universitas Islam Negeri (UIN) Imam Bonjol Padang.
~Gambar oleh Syaibatul Hamdi dari Pixabay 

Next Post

[8] Minangkabau: Kedatangan Bangsa India

Raja dan para pembesarnya dipanggil Datok. Kerajaan Sriwijaya disebut kerajaan Kedatukan. Raja Sriwijaya sendiri dipanggil dengan Yang Dipetuan Datuk Sriwijaya.
Gambar oleh Pexels dari Pixabay

bakaba terkait