Perkembangan Radikalisme di Media Sosial

redaksi bakaba

Jadi, orang menjadi radikal juga karena kegagalan negara dalam mengelola kesempatan bagi rakyatnya, juga tak sanggupnya negara dalam mengakomodasi dan menjalankan amanat UUD 45 dan Pancasila, memberi keadilan, kesejahteraan dan kemakmuran kepada rakyatnya.

Gambar oleh edar dari Pixabay
Gambar oleh edar dari Pixabay
Dr. Abdullah Khusairi, MA.
Dr. Abdullah Khusairi, MA.

Gerakan radikalisme berkembang melalui media sosial. Perkembangan ini memiliki hubungkait dengan kecerdasan seseorang dalam memahami watak media sosial. Mereka yang mudah terpengaruh dan mudah terpapar, biasanya mereka membutuhkan sandaran kebenaran yang sedang diperjuangkannya.

Ketika kebutuhan itu terpenuhi, gelora perjuangannya menjadi-jadi hingga melewati batas kepatutan. Saat itulah gerakan radikal bagi seseorang menjadi tindakan. Tindakan radikal itu salah satunya adalah teror. Radikalisme akar terorisme ketika ia menjadi aksi.

Semua orang punya sikap radikal, sebab dalam ilmu filsafat, berpikir radikal (radix, akar) itu merupakan syarat. Berpikir sampai ke akar persoalan. Radikal sebagai alat dalam sistem berpikir.

Pada perkembangannya, istilah radikalisme mengalami distorsi makna. Kadang-kadang terjebak dalam makna peyoratif sesuai dengan kehendak kalimat dari orang-orang yang mengucapkannya. Apalagi dipakai oleh mereka yang hampir tak mengerti makna asal, makna historis, makna politis di baliknya. Radikalisme pada dasarnya adalah diksi yang netral.

Banyak diksi yang memiliki beban yang berat karena persoalan politik. Apalagi di media sosial, orang mengucapkannya tidak berdasarkan makna historis tetapi makna politis dan peyoratif. Radikalisme punya persaudaraan yang dekat dengan diksi fundamentalisme, extremisme, sektarianisme. Bahkan bila menelusuri ruang-ruang sejarah, kita akan mendapatkan pola pemikiran dan gerakan serupa ini hingga jauh ke dalam. Kini orang tak mau berdalam-dalam, kedangkalan sedang dirayakan. Makna mengalami abrasi, makna yang kadang-kadang terasa lucu.

Media sosial adalah kemajuan peradaban yang bersenjangan dengan kemampuan cara adaptasi publik dengannya. Ada yang baik, ada yang buruk di media sosial. Bagi yang cerdas, akan menggunakannya dengan baik, bagi yang lebih cerdas, akan menggunakan untuk kepentingan politik, ekonomi dan bisnis. Kadang-kadang berpoles pula dengan bahasa agama. Bagi yang tidak memahami watak media sosial sebagai alat untuk melancarkan pengaruh, akan segera terpengaruh.

Era post-truth ini, orang sering mencari dalil, sekalipun lemah sesuai dengan keinginan nafsu. Pada titik inilah, nalar dan perasaannya dipaksakan untuk mengikuti hawa nafsu. Media sosial mengakomodasi ini sehingga mendukung berkembangnya pemikiran dan gerakan radikalisme. Ada pertemuan kepentingan para level pemikiran yang sama dalam agama, politik, ekonomi, kekuasaan, di media sosial. Mereka bersatu, mengeras, membangun tembok dan siap berkonflik dengan perbedaan yang memang alamiah dalam kehidupan ini. Pemikiran dan gerakan radikal cenderung membunuh sifat toleransi, ketika ada perbedaan, bukan persamaan pikiran yang dicari tetapi menegakkan pemikiran sendiri, memaksa, dengan dalil yang dangkal munculah diksi-diksi yang tak elok. Kasar, jauh dari kearifan dalam komunikasi efektif.

Pengalaman menyelesaikan program doktor sepanjang tahun 2016-2019, lalu menulis disertasi dengan judul “Diskursus Islam Kontemporer di Media Massa; Kajian terhadap Radikalisme dalam Artikel Populer Harian Kompas dan Republika 2013-2017 (Disertasi UIN Syarif Hidayatullah: 2019), menunjukkan bagitu banyak faktor-faktor kenapa berkembangnya pemikiran dan gerakan radikalisme, sesuai dengan tahapan kesusahan untuk meluruskannya. Pada satu sisi, berpikir radikal diperlukan untuk ketajaman hasil tetapi pada satu sisi lain, orang bisa tenggelam dalam pikiran radikal sendiri dan memaksanya pada lingkungannya.

Catatan paling menarik, ketika radikalisme menjadi booming dibahas melebar ke mana-mana, aparat pemerintah kadang-kadang juga gagal paham mencari formula penyelesaian. Saya justru bersetuju dengan Eric Fromn yang menyatakan, radikalisme sering kali dimulai dari kehampaan kepribadian dalam ruang sosial. Sementara, setiap pribadi butuh eksistensi, ketika eksistensi itu tidak didapatkan, sempitnya kesempatan, membuat seseorang mencari jalan lain untuk diakui oleh lingkungannya. Ditambah lagi, faktor ekonomi, pendidikan, yang akhirnya memilih jalan radikal bersandar pada agama, sebagaimana agama sebagai pokok peradaban manusia paling aman untuk sandaran kekalahan.

Jadi, orang menjadi radikal juga karena kegagalan negara dalam mengelola kesempatan bagi rakyatnya, juga tak sanggupnya negara dalam mengakomodasi dan menjalankan amanat UUD 45 dan Pancasila, memberi keadilan, kesejahteraan dan kemakmuran kepada rakyatnya.

Radikalisme tumbuh di media sosial karena medium ini memiliki kebebasan tanpa batas dalam menyebarkan pikiran-pikiran kepada khalayak. Pada media massa, ada pakem jurnalistik yang akan membatasi, sementara media sosial bisa dibuat semaunya dan dituju bebas kepada siapa pula. Namun bagi yang cerdas dalam bermedia sosial tak mudah menerima pikiran-pikiran dalam bentuk apapun, termasuk pikiran radikal, dari media sosial. Mereka akan mencerna dan menganalisis dengan baik setiap informasi yang datang, tidak main telan dan percaya, lalu bersetuju tanpa berpikir lebih mendalam. Media sosial adalah medium yang netral, para penggunanyalah yang memiliki kepentingan. Semua orang punya kepentingan, sesuai kadar akal masing-masing.*

~ Penulis, Dosen Pemikiran dan Komunikasi Islam di Jurusan Komunikasi Penyiaran Islam (KPI) Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi (FDIK) Universitas Islam Negeri (UIN) Imam Bonjol Padang
**Gambar oleh edar dari Pixabay

Next Post

5 dari 6 Fraksi di DPRD Persoalkan Masalah RSUD

"Kami sangat menyayangkan sikap Pemerintah Kota Bukittinggi yang tidak jujur terkait masalah tanah Ex. Pusido dan areal perencanaan pembangunan RSUD." Demikian disampaikan Fraksi Karya Pembangunan
Rapat Paripurna DPRD Bukittinggi - bakaba.co

bakaba terkait