~ Abdullah Khusairi
“Manajemen yang buruk tak mungkin pernah mampu membangun citra yang baik.” Sekalipun dengan polesan teknologi paling mutakhir ia menghasilkan topeng-topeng kepalsuan yang tebal tetapi hal itu segera luntur bila terkena air. Bila hujan badai tiba, ia akan tertangkap basah dalam keadaan polesan yang dipaksakan sedang meluntur.
Pernyataan ini sempat menjadi diskusi yang hangat di ruang kuliah Manajemen Krisis dan Strategi Public Relation. Seorang mahasiswa mengajukan pendapat, bisa saja sensasi melebihi substansi. Polesan strategi membuat sesuatu menjadi lebih mengkilap dari aslinya. Publik harus hati-hati dengan itu.
Benar. Begitu banyak citra dipaksakan tidak sesuai aslinya. Musim kampanye dalam pilkada serentak juga telah menjalankan hal-hal demikian. “Kecap nomor satu!” begitu istilahnya.
Ada pertanyaan dari kaum konservatif, kenapa pula citra harus dibangun? Citra baik akan bergulir sendiri dan aktif jika memang ada kebaikan di dalamnya. Pendapat ini seperti ingin menggugat pendapat, “kejahatan yang terorganisir akan lebih berkuasa dari kebaikan yang bercerai berai.”
Kaum yang belum masuk menjadi masyarakat informasi biasanya bertahan pada pendapat, citra diserahkan kepada publik tanpa perlu ada strategi membangun citra (image building). Sekalipun ia sudah masuk ke era informasi dengan keadaan yang membanjir. Banjir informasi. Pendapat begini segera membuat keadaan dirinya, lembaganya, lingkungannya segera menjadi masa lalu dalam waktu dekat.
“Siapa yang menguasai informasi maka ia menguasai dunia.” Dunia apa saja yang hendak digapainya hendaknya ia menguasai dengan baik informasi seputar itu. Begitulah tabiat kehidupan di era informasi.
Kaum konservatif tanpa memahami keadaan zaman akan terus menutup diri dan menyuruk dari panggung informasi dan begitu rawan dihempas badai informasi. “Salah satu yang paling berat bagi top manajemen adalah mengakui dengan jujur kesalahan dan kelemahan. Padahal itu, baik.”
Pernyataan yang satu ini juga menjadi kelemahan dari setiap orang yang sudah mendapatkan kursi jabatan karena ambisi tetapi tidak punya keberhasilan substantif. Sehingga tak berani membangun citra diri karena tidak punya kinerja baik. Mereka akan terus berpendapat dengan keras kepala. “Kenapa pula citra itu dibangun?”
Seseorang, atau lembaga, membutuhkan citra baik (good will) karena itu dibutuhkan strategi membangun citra baik itu (image building). Jika tidak, citra itu tetap ditangkap oleh orang lain dengan keadaan apa adanya.
“Tetapi akhirnya orang dan lembaga memaksa diri agar ada selalu sensasi maka hilang substansi. Sering kita merasakan segalanya dibuat seksi agar jadi sensasi,” protes yang lain. Itu juga harus dipelajari. Tidak mungkin sesuatu dipaksakan hanya untuk image building. Saya menulis di lini masa soal ini. “Kepalsuan sudah berbasis data, verifikasi butuh perjuangan berkali-kali lipat.” Kunci paling baik untuk membangun citra baik adalah kejujuran terhadap fakta-data. Sedangkan kunci publik melihat citra baik yang ditawarkan harus melakukan verifikasi berbagai tingkat kepentingannya.
Kepalsuan tidak bisa serta merta membuat image terhadap sesuatu bisa kokoh dalam waktu lama. Sebab sesuatu dibangun dengan kepalsuan selalu keropos, tak bisa bertahan lama. Akar tunggang dari image building tetaplah kejujuran. Catat itu.
Kini kesadaran untuk membangun citra itu begitu tinggi, melalui berbagai medium, strategi mutakhir, dikerjakan dengan tenaga profesional dan dibayar mahal untuk itu. Medium yang paling mahal hingga yang gratis, media massa dan media sosial, menjadi alat yang terus digunakan membangun citra.
Sementara, pada sisi lain masih banyak yang tidak menyadari pentingnya citra dan membenam diri untuk tidak hadir di ruang publik. Terkubur di dalam kejumudan ilmu dan egoisme yang mengerdilkan diri dan lembaga yang dipimpinnya. Kita berada di pihak yang mana?[]
*Penulis, Dosen Jurusan Komunikasi Penyiaran Islam (KPI) Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi (FDIK) Universitas Islam Negeri (UIN) Imam Bonjol Padang.
**Image by Gerd Altmann from Pixabay