Konflik Islam dan Negara – Ada apa dengan Islam di Indonesia? Pertanyaan ini sangat menggelitik, ketika (setiap) rezim, selalu menempatkan Islam sebagai musuh kekuasaan yang tidak bisa ditolerir dan selalu diwaspadai.
Dalam penelitian R. William Liddle kelompok Islam selalu menjadi target represi, sekalipun orang Islam tidak pernah dibunuh melebihi jumlah orang-orang PKI. Namun, menurut Liddle, mereka didiskriminasi, dianiaya, ditangkap dengan tuduhan-tuduhan yang nampaknya lemah, dan kadang-kadang dikenakan hukuman penjara yang lama (1997; 66).
Kekerasan terhadap kelompok Islam paska orde lama memang terlihat agak berlebihan. Sekalipun, dengan penuh kesadaran tokoh-tokoh Masyumi sebagai representasi Islam politik melunak dan bekerja sama dengan rezim orde baru melawan komunisme. Akan tetapi, setelah situasi politik memungkinkan bagi Soeharto untuk melaksanakan program pembangunan, Islam politik kemudian disingkirkan dan bahkan dibatasi ruang geraknya dalam masa-masa kepemimpinan Soeharto.
Agak berbeda memang, praktik politik orde lama di bawah kepemimpinan Soekarno ketika tidak ada konflik dan kebijakan represif kepada kelompok Islam, sekalipun tuduhan-tuduhan gerakan pemberontakan dialamatkan kepada DI/TII di berbagai daerah. Namun, hampir tidak ada tindakan represif yang dilakukan Soekarno untuk membungkam aktifitas-aktifitas politik umat Islam.
Peristiwa pembubaran Masyumi sebagai representasi Islam politik dan PSI tahun 1960, akibat keterlibatan beberapa petinggi partainya dalam PRRI, hal itu tidak lantas menempatkan aktitifas-aktifitas Islam nonpartisan menjadi terhalang. Nahdlatul Ulama sebagai organisasi tradisional Islam serta Muhammadiyah representasi gerakan modern Islam tetap berjalan sesuai dengan visi dan misi organisasinya, tanpa sama sekali mendapatkan tindakan represif oleh negara.
Apa yang terjadi pada DI/TII, Masyumi dan maupun PRRI adalah gerakan-gerakan politik yang berposisi pada semangat meluruskan kepemimpinan Soekarno agar tetap dalam koridor demokrasi. Kartosuwiryo, Kahar Muzakkar, serta Natsir dengan tokoh-tokoh Sumatera Barat dalam PRRI, tidak lebih sebagai gerakan ”kembali kepada konstitusi” mengingatkan Soerkarno agar konsisten dengan Pancasila, melepaskan diri dari cengkeraman PKI serta memperhatikan daerah-daerah Indonesia, yang selama masa-masa tahun 1957 sampai 1964, lebih mementingkan politik konfrontasi dengan luar negeri.
Kejatuhan Soeharto pada tahun 1998, juga akibat dari pembatasan-pembatasan politik yang begitu kentara hampir terhadap seluruh aktifitas-aktifas civil society. Kelompok Islam, LSM, tokoh-tokoh pro demokrasi, pembonsaian hukum, pembatasan pers, ekonomi kapitalistik, serta pemerataan yang memihak kelompok-kelompok borjuis. Penggunaan cara kekerasan dalam membungkam suara demokrasi, keadilan dan kesejahteraan, merupakan faktor penting di mana semakin mengristalkan gerakan prodemokrasi.
Tindakan represif orde baru sangat kentara dirasakan oleh umat Islam. Dengan menggunakan sarana hukum dan militer, orde baru memakai cara-cara penindasan untuk membungkam setiap bentuk kegiatan ke-Islaman. Islam, menjelang tahun 1990 paska berdirinya ICMI, selalu menjadi momok bagi rezim orde baru.
Baca juga: Dekonstruksi Politik Islam di Era Negara-Bangsa
Ekspresi politik muslim di masa orde baru bukanlah sesuatu yang muncul tiba-tiba dan bersifat radikalis. Peristiwa Malari pada 15 Januari 1974 dan peristiwa pembatasan dakwah para mubalig dan ulama, adalah respon atas kebijakan politik negara yang tidak memihak kedaulatan rakyat, baik dalam konteks keberagamaan umat Islam, maupun karena kuatnya dominasi asing mempengaruhi roda ekonomi Indonesia.
Seperti api dalam sekam, api reformasi untuk menjatuhkan rezim Soeharto telah begitu lama membara namun tidak mencuat kepermukaan, berkat intimidasi politik yang menggunakan seluruh sarana kekuasaan agar rakyat tetap “bungkam”.
Bentuk-bentuk ekspresi politik Islam, yang notabene juga bersamaan dengan kelompok prodemokrasi dari kalangan Islam dan Nasionalis, tidak lantas mempolarisasi potensi kekuatan politik masyarakat sipil. Buktinya, ketika rezim reformasi telah berkuasa hampir 22 tahun paska 1998, Islam tetap dianggap sebagai musuh potensial untuk menciptakan reformasi-reformasi baru bagi rezim yang korup dan berketidak adilan.
Pengabadian konflik Islam dan Negara seperti menjadi “keharusan” bagi rezim politik baru. Siapakah yang menjaga situasi politik pembusukan ini di lingkaran kekuasaan? Sulit untuk menjawabnya. Preseden sejarah Islam dan Negara yang terus menerus bersitegang sepertinya akan menjadi catatan penting bagi penguasa-penguasa baru, sekalipun mereka dipilih secara konstitusional dan demokratis.
Menguatnya kecenderungan Islam politik yang diwakili oleh FPI, 212, dan ormas Islam –paska Islam Yes, Partai Islam No– sebagai gerakan civil society, menjadi gambaran dari berjalannya kontrol masyarakat terhadap kekuasaan. Kekuasaan demokrasi sebagai semangat reformasi diharapkan tetap berada dalam koridor, jadi bukan karena kebencian maupun syndrome kekalahan pemilu.
Gejala yang sama, dapat dianalogikan dengan apa yang disebut oleh Huntington dengan “gelombang demokratisasi” yang terjadi di Eropa Timur sebagai bentuk meningkatnya ketersediaan sarana dan prasarana demokrasi. Di mana kebebasan berpartisipasi yang dijamin konstitusi, membuka kran kebebasan bagi setiap orang menyampaikan kebenaran kepada penguasa.
~ Penulis, Advokat & Peneliti di Pusat Kajian Portal Bangsa
~ Gambar oleh Mehmet A. dari Pixabay