bakaba.co | Bukittinggi | Anggota Dewan Perwakilan Daerah RI (DPD-RI) dapil Sumbar, H. Leonardy Harmainy turun ke Bukittinggi. Pertemuan digelar di gedung Tri Arga dengan Pengurus Kadin dan pengurus organisasi pedagang Pasar Atas, pedagang Aua Kuniang dan perwakilan tim inisiator hak nagari AgamTuo.
Pada pertemuan Selasa siang, 10 Maret 2020 itu, dimoderatori Ketua Kadin Bukittinggi Sadri MK, tumpukan permasalahan yang dihadapi pedagang dan masyarakat kota Bukittinggi disampaikan ke anggota DPD.
Masalah Toko
Masalah yang dihadapi pedagang Aua Kuniang setelah Bukittinggi dipimpin Ramlan Nurmatias membuat ribuan pedagang secara pelan tapi pasti, dimiskinkan. Walikota dengan dua Peraturan Walikota-nya: Nomor 40 dan 41 Tahun 2018, menaikkan retribusi toko sampai 600 persen. Berdasarkan Perda Retribusi nomor 16 Tahun 2013, retribusi toko Rp 10.000 per m/bulan, dinaikkan menjadi Rp 60.000 per m/bulan.
Haji Acin, salah seorang Pengurus Perhimpunan Pedagang Aua Kuniang mencontohkan dirinya. Dia punya toko/kios 3 x 4 meter, biasanya membayar retribusi Rp 125.000. Sejak awal tahun 2019, harus membayar retribusi Rp 728.000.
“Dengan kondisi sekarang, sulit bagi kami pedagang membayar retribusi yang naik enam ratus persen itu. Fasilitas yang disediakan pun minim,” ungkap Acin.
Retribusi dinaikkan Walikota dengan cara membuat Perwako tanpa merevisi Perda. Perwako justru mencabut dan bisa membatalkan pasal tentang besaran retribusi yang ada di Perda 16 Tahun 2013.
Tindakan sepihak Walikota yang merugikan pedagang terkait kartu kuning yang menjadi bukti kepemilikan kios di Pasar Aua tidak bisa seperti dulu lagi. Tidak bisa digunakan untuk agunan pinjaman ke bank. Kios tidak bisa pula dipindahtangankan karena tidak bakal mendapat rekomendasi dari Walikota.
Sejak 1992, kartu kuning berlaku sebagai bukti kepemilikan. Bisa diagunkan dan bisa dibaliknamakan. Sekarang tidak bisa lagi seperti itu. “Kami harapkan kartu kuning ini bisa diagunkan lagi dan retribusi diterapkan jumlahnya yang wajar,” kata Acin.
Masalah Pasar Atas
Ketua Perhimpunan Pemilik Toko Korban Kebakaran Pasar Atas Bukittinggi, Yulius Rustam, menyatakan, pedagang pemilik toko di Pasar Atas berhadapan dengan Walikota yang otoriter dan selalu memaksakan kehendak kepada pedagang.
Tindakan sewenang-wenang Walikota sudah terlihat ketika menetapkan titik penampungan sementara bagi pedagang korban kebakaran.
Setelah pemerintah pusat menurunkan dana pembangunan kembali Pasar Atas sebesar Rp 292 miliar, korban kebakaran 30 Oktober 2017 harus menyewa toko.
Padahal Pasar Atas itu punya status istimewa. Sejak awal pendiriannya bukan dibangun pemerintah. Pasca kebakaran 1972, karena kebersamaan diperintahkanlah oleh pemerintah agar BNI menalangi biaya pembangunan pasar. Dan pedagang membeli dengan cara mencicilnya hingga sepuluh tahun, tergantung kemampuan pedagang.
Pedagang baru dikenakan retribusi pada tahun 1989. Pedagang punya kartu kuning yang bisa diagunkan ke bank dengan persetujuan Pemko. Pada kebakaran 1995 dan 1997 dibantu APBN dan pedagang dapat kunci tanpa membayar.
“Artinya kios dan toko milik pedagang. Itulah makanya ada riak usai pengumuman pemko bahwa toko akan disewakan, hak atas kartu kuning hilang,” ujar Yulius Rustam.
Prilaku dan tindakan Walikota yang demikian otoriter, tidak mau bermusyawarah, merasa benar sendiri, telah dilaporkan pedagang Bukittinggi ke Komnas HAM Pusat. Berdasarkan laporan itu, Komnas HAM meneliti semua tindakan Walikota kepada pedagang dalam kurun waktu 2018-2019. Akhirnya Komnas HAM menemukan dan menyimpulkan bahwa Walikota telah melakukan pelanggaran-pelanggaran HAM atas pedagang.
“Komnas HAM telah menyurati Presiden, meminta Presiden melakukan tindakan yang kongkrit kepada Walikota yang terbukti telah melanggar HAM,” kata Yulius Rustam.
Masalah Tanah Serikat
Masalah lain yang disampaikan ke anggota DPD Leonardy Harmainy Dt. Bandaro Basa terkait tanah Pasar Atas. Diungkap Sekretaris Tim Inisiator Hak Pasar Serikat 40 Nagari di Luak Agam, Asraferi Sabri bagaimana status tanah Pasar Atas. Pasar itu diawali sebelum abad ke-17. Pasar Serikat Agam Tuo dibangun di Bukit Kubangan Kabau oleh masyarakat serikat 40 Nagari di AgamTuo.
Tahun 1784 merupakan waktu bersejarah, waktu itu niniak-mamak 40 Nagari rapat, sepakat mengubah nama Bukik Kubangan Kabau menjadi Bukik Nan Tinggi dan sekarang menjadi Bukittinggi.
Kolonial Belanda, setelah Perang Paderi 1842, mengelola pasar dengan meminta izin pengelolaan dari Komite Pasar yang merupakan wakil Serikat 40 Nagari di Agam Tuo. Belanda membagi hasilnya dengan Serikat 40 nagari.
Tapi anehnya, pada Januari 2018 tanah pasar atas yang tidak pernah tercatat sebagai tanah negara, bisa diubah seorang pejabat yakni Sekda Pemko Bukittinggi menjadi tanah negara. Tanah seluas 18.740 m2 itu kini jadi milik negara yang dibuatkan Sertifikat Hak Pakai nomor 21 Tahun 2018 oleh BPN ke Pemko Bukittinggi.
“Kita telah bersikap, mengajukan surat ke BPN untuk tidak melayani pihak-pihak yang ingin mensertifikatkan tanah Pasar Atas. Karena sertifikat terbit juga kami akan menempuh jalur hukum,” ujar Asraferi.
Akhir dari pertemuan itu, para pihak perlu memperjuangkan hak atas tanah pasar atas ini terlebih dahulu. Leonardy, setelah mendengar semua masalah pedagang dan masyarakat menyatakan, bakal terus mengikuti perkembangannya.
“Sebagai anggota DPD, akan berkoordinasi dengan pihak terkait. Terutama yang jadi mitra Komite I DPD RI,” kata Leonardy.
~ Fadhly Reza