Ilmu hukum tidak dapat mengabaikan dan menutup telinga terhadap perubahan fundamental yang terjadi dalam sains, terlebih hukum lingkungan dewasa ini menunjukkan kompleksitas permasalahan mulai dari penyusunan legislasi, perizinan, penaatan instrumen perizinan hingga pengawasan dan penegakan hukum lingkungan.
Di manakah kita akan menempatkan sistem hukum, kalau tidak di dalam alur besar “deep ecology”. Pada awalnya, kita berpandangan bahwa hukum merupakan suatu institut yang otonom, secluded, isolated, dan esoteric, sehingga masih dapat dimaklumi karena perkembangan sains belum seperti sekarang.
Menurut pemikiran hukum klasik, dalam keadaan yang terisolasi dan independen hukum boleh berpikir dan bertindak apapun, tanpa perlu memikirkan dan memerhatikan hal- hal lain. Pemikiran seperti itu sejalan dengan pikiran Cartesian dan Newtonian dalam sains. Kelsen menerapkan pandangan tersebut dalam ilmu hukum sehingga melihat hukum hanya sebagai bangunan blok (bulding-block) dari perundang-undangan. Semua aspek yang mengganggu dan mencemari hukum sebagai bangunan logis perundang-undangan harus dibuang.
Penegakan hukum lingkungan dalam praktik, khususnya di pengadilan sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor non hukum, terlebih mengikuti perkembangan sains dan teknologi.
Aspek instrumen perizinan lingkungan hidup berada dalam domain Pengadilan Tata Usaha Negara untuk menyelesaikannya. Pemerintah dan hakim dituntut memiliki cara pandang dan berpikir dalam alur deep ecology Capra.
Dalam kasus masyarakat petani di sejumlah daerah yang mengandung potensi sumber daya alam seringkali dihadapkan pada dilema antara pengelolaan lahan dengan pembangunan.
Cara pandang negara terhadap lahan yang sangat potensial haruslah dimanfaatkan guna mengejar pembangunan. Sementara regulasi tentang tata ruang nasional dan daerah telah mengaturnya sedemikian rupa sesuai dengan peruntukannya. Pembangunan yang dibungkus dalam sebuah kebijakan kemudian bermetamorfosa menjadi objek-objek vital nasional dan kawasan lindung. Padahal, di balik objek vital nasional dan kawasan lindung terdapat ketidakadilan dalam pemanfaatan lahan dan kerusakan lingkungan.
Keterlibatan publik dalam setiap penentu kebijakan, keputusan hukum dan kekuasaan dapat menjadi daya laku yang efektif ketika sebuah peraturan atau kebijakan tersebut memiliki kemanfaatan bagi masyarakat. Asas umum pemerintahan yang baik belum mampu dipahami, diterjemahkan dan dijalankan dengan baik oleh aparatur pemerintah daerah dan hakim pada peradilan tingkat pertama.
Sejak awal proses perizinan atau pengurusan instrumen lingkungan hidup, masyarakat tidak pernah dilibatkan melalui musyawarah, upaya keberatan-keberatan, dialog dan pembahasan bersama terkait dengan sebuah investasi besar yang berdampak kepada hak-hak ekonomi, sosial, budaya hingga hak atas lingkungan hidup.
Penerbitan izin dan pembentukan hukum yang baik adalah jika dalam prosesnya melibatkan masyarakat sekitar, termasuk pengawasan. Selain itu, prinsip kehati-hatian tidak diperhatikan oleh pemerintah dan pemerintah daerah, karena dalam wilayah tersebut mengandung lahan yang produktif untuk kehidupan dan mata pencaharian warga sekitar.
Pengambil kebijakan daerah sudah semestinya mengakomodasi kepentingan-kepentingan masyarakat lokal tradisional berkarakter kearifan lokal (local wisdom) dengan pendekatan bottom up, bukan top down. Eugen Ehrlich (1862- 1922), seorang yuris berkebangsaan Austria penganut legal pluralism yang memperkenalkan konsep living law of the people (hukum yang hidup dari rakyat).
Dalam konsepnya, Ehrlich berpendapat bahwa hukum yang hidup dan baik itu adalah berasal dari rakyat atau hukum yang relevan sesuai kehendak rakyat. Konsep tersebut kemudian diikuti oleh Roscoe Pound melalui teori hukumnya law as a tool of social engineering atau hukum sebagai alat perekayasa sosial.
Politik penegakan hukum akan sangat menentukan arah suatu kebijakan, apakah memiliki nilai kemanfaatan atau kontra produktif. Rumusan kedua pemikir tersebut menunjukkan kompromi yang cermat antara hukum yang tertulis sebagai kebutuhan masyarakat hukum dengan the living law sebagai wujud penghargaan terhadap pentingnya peranan masyarakat dalam pembentukan hukum dan orientasi hukum, yang termanifestasikan baik dalam proses penerbitan instrumen perizinan lingkungan hidup, ataupun konstruksi para ahli dan hakim di pengadilan dalam perkara izin lingkungan hidup.
Berdasarkan argumentasi empiris dan yuridis tersebut, muncul kelemahan-kelemahan dalam praktik perizinan oleh pemerintah daerah dan hakim dalam penegakan hukum di peradilan itulah, dibutuhkan cara pandang dan berpikir dengan pendekatan kearifan deep ecology (ekologi dalam).
Pikiran-pikiran mutakhir sudah bergerak lebih maju, sementara jangkauan hukum sudah sampai pada dimensi jagad (universe). Pembedahan ekslusivisme hukum (hanya) melalui optik sosiologis tidak dapat mewadahi perspektif kehidupan sejagad.
Kehidupan sejagad yang dilihat dari kacamata kehidupan di dunia tanpa ada yang tercecer, yaitu mulai dari organisme, sistem sosial, dan lingkungan. Semua terhubung menjadi satu sebagai satu kesatuan kehidupan. Bukan hanya ilmu hukum, melainkan juga yang lain perlu mencari orientasi baru dalam disiplin dan studi masing-masing sesuai dengan perubahan pemikiran mendasar dalam sains tersebut.
Paradigma baru yang muncul selanjutnya adalah holistis yang memerlukan suatu ilmu hukum dengan penataan yang baru. Hukum memang satu institut yang berbeda dari yang lain, tetapi tidak berarti hukum akan terus hidup dalam suasana isolasi dan eksklusivisme.
Kearifan holistis dan ekologi dalam (deep ecology) mengingatkan kita pada suatu kewaspadaan bahwa hukum adalah hanya satu noktah kecil di tengah-tengah jagad kehidupan. Oleh karena itu, dalam konteks penataan instrumen perizinan oleh pemerintah, khususnya pemerintah daerah dan hakim di pengadilan, paradigma holistik dan pendekatan kearifan deep ecology mutlak diperlukan sesuai dengan pandangan kehidupan dunia secara utuh, yakni organisme, sistem sosial, dan lingkungan. Dari pemikiran tersebut, terbentuklah suatu model yang ditawarkan dalam tulisan sederhana ini adalah:

Penulis, Dr. Wahyu Nugroho, S.H., M.H. Dosen Fakultas Hukum Lingkungan USAHID Jakarta & Pengajar Hukum Lingkungan Magister Ilmu Hukum UNTAR