Kebaikan umum – Institusionalisasi lembaga-lembaga demokrasi cenderung mendesak pertumbuhan demokrasi masyarakat ke area negatif. Lembaga-lembaga perwakilan sejatinya menjadi alat bagi masyarakat untuk menyuarakan aspirasi dan pilihan politik secara mandiri, bebas, egaliter dan merdeka.
Institusionalisasi lembaga demokrasi dengan demikian diharapkan mampu mewujudkan kehendak politik masyarakat sesuai dengan cita-cita politik masyarakat itu sendiri, bukan sebaliknya, marginalisasi suara politik rakyat untuk kepentingan yang mewakili malah kemudian menciptakan tirani minoritas yang dengan bebas dan berdasarkan perundang-undangan mengklaim kebenaran tindakan mereka.
Robert A. Dahl dalam Democracy and Its Critics panjang lebar menguraikan, bagaimana demokrasi pada intinya belum selesai dan final dalam memberikan jawaban-jawaban penting terhadap persoalan pokok demokrasi.
Dahl mencontohkan masalah pengertian demokrasi “pemerintahan oleh rakyat”, siapakah yang dinamakan rakyat, apakah artinya bahwa rakyat itu “memerintah”
Dalam konteks Indonesia, apakah rakyat itu yang ada di setiap kabupaten, kota dan atau yang berada dalam lingkup provinsi. Jika pilihan langsung terhadap kepala daerah (Pilkada) di setiap daerah memperlihatkan pengertian “rakyat” yang dimaksud oleh istilah demokrasi.
Baca juga: Pilkada di Sumatera Barat tahun 2020 di Era “Post Truth”
Lantas pertanyaan berikutnya, kenapa ketika pencalonan kepala daerah itu rakyat tidak dilibatkan? Secara prosedural calon kepala daerah mesti mendapatkan rekomendasi dari pimpinan partai politik yang berada di luar daerah pemilihan seperti Jakarta dan atau provinsi.
Konsepsi demokrasi perwakilan sebagaimana dinoktahkan sila ke-4 Pancasila “kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan”, terkandung konsepsi demokrasi yang bijaksana melalui musyawarah yang diwakilkan.
Kebijaksanaan demokrasi Pancasila terletak bukan pada sistem perwakilannya, akan tetapi pada kepemimpinan yang bijaksana. Artinya, sistem musyawarah dengan cara perwakilan dapat saja berubah bentuknya sesuai dengan perkembangan pemikiran dan kualitas berpolitik bangsa Indonesia, apakah dengan bentuk langsung ataupun tetap dengan sistem perwakilan dalam berbagai bentuknya.
Akan tetapi, kepemimpinan yang bijaksana tidak dapat dihilangkan ataupun diganti dengan bentuk liberalisme, oligarkisme ataupun otoritarianisme.
Ide kepemimpinan yang bijaksana memang terkesan utopis, sebagaimana juga utopisnya demokrasi sebagai sebuah sistem yang dipandang representatif menjawab kebutuhan politik yang berkeadilan bagi masyarakat.
Sebab, asumsi-asumsi yang dibangun oleh sistem demokrasi, baik pendekatan substansial maupun prosedural, dengan tingkat kepercayaan yang tinggi terhadap nilai-nilai demokrasi yang lengkap telah begitu meyakinkan sehingga tertutup untuk sistem lainnya yang dapat menggantikan model demokrasi.
Kepemimpinan yang bijaksana sebagaimana dengan tegas disebutkan sila ke-4 Pancasila merupakan sistem politik yang bertumpu kepada kerakyatan. Rakyatlah yang menentukan pemimpin mereka, dan dengan pilihan yang menentukan pemimpin itulah kemudian wilayah-wilayah politik “rakyat” dapat dipahami sebagaimana pertanyaan Dahl di atas.
Kepemimpinan merupakan simbol dari rakyat yang terorganisir dengan kepemilikan hak, kebebasan, kemerdekaan, dan jaminan terlaksananya kebaikan umum.
Kepemimpinan yang bijaksana merupakan simbol dari kaidah-kaidah kebaikan umum yang diharapkan dan dibangun secara bersama-sama oleh masyarakat.
Kebaikan umum yang melekat dalam sistem organismik, kebaikan-kebaikan pribadi, tidak boleh merusak prinsip kebaikan umum. Kepemimpinan yang bijaksana oleh karenanya merupakan kecenderungan untuk mengedepankan cara pandang antroposentris, di mana nilai-nilai yang menjadi tatanan masyarakat merupakan simbol korelasi antara kepemimpinan yang bijaksana dengan kebaikan umum.
Pandangan ini berbeda kemudian dengan apa yang terjadi pada rezim Orde Lama maupun Orde Baru, di mana kebaikan umum diletakkan pada personifikasi Soekarno dan Soeharto yang kedua-duanya dianggap sebagai model dari kepemimpinan yang bijaksana sekalipun ada kecenderungan egoistik.
Padahal, akar konsepsi ini melekat pada manusia, manusia yang dimaksud bukanlah person, melainkan simbol kemanusiaan yang melekat pada dirinya nilai-nilai humanis sebagai khazanah dari tatanan sosial bangsa tersebut.
Perkembangan demokrasi Indonesia paska Reformasi, dengan dihapuskannya kepemimpinan yang bijaksana dengan melembagakannya dalam kepemimpinan politik yang terdistribusi ke lembaga-lembaga negara dan politik.
Ternyata reduksi terhadap kebaikan umum menciptakan kekuatan politik oligarkisme yang diperlihatkan oleh dominasi pimpinan partai politik dalam menentukan arah politik bangsa melalui kolegialisme dengan kekuasaan.
Kekuasaan secara basa-basi atas nama demokrasi dengan diam-diam berkolaborasi dengan pimpinan partai politik menentukan kebaikan umum.
Dengan kritikan yang tajam Dahl mengatakan “apalah artinya demokrasi (polis) jika tidak merupakan suatu tempat di mana para warganya dapat melaksanakan suatu kehidupan yang penuh, dan dalam setiap saat dapat dipanggil untuk melakukan tugas warga negara.
Lantas reformasi politik yang telah berlangsung lebih kurang 21 tahun dengan berbagai perubahan sistemik terhadap struktur, sistem dan budaya lembaga dan politik bangsa, benarkah sudah dapat mengejawantahkan hakikat substansial dari demokrasi itu sendiri.
Dalam bentuk pertanyaan yang agak teoritis, apakah pilihan terhadap demokrasi telah berhasil menciptakan kepemimpinan yang bijaksana dan kebaikan umum tercipta secara simultan dan pasti bagi bangsa ini.(*)
*Penulis, Advokat, Peneliti & Sekretaris eksekutif Portal Bangsa
**Foto fitur