~ Delianur
SUATU hari Gipo Viani ingin melepaskan kepenatan dengan menyusuri pantai Tyrrhenian, Salerno Italia. Pelatih Salernitana FC ini pusing. Tim sepakbola yang dia latih sedang berkompetisi di Serie B Liga Italia 1946-1947, tidak mempunyai sistem bertahan yang baik. Selalu kedodoran menghadapi serangan lawan.
Namun ketika berjalan di Pantai inilah Viani mendapat inspirasi. Viani tertegun melihat cara nelayan menangkap ikan. Jala yang dilepas, terdiri dari beberapa lapis. Ikan yang lepas pada jaring pertama, belum tentu lolos pada jaring kedua. Ikan yang lolos pada jaring kedua, belum tentu lolos pada jarang ketiga. Begitu seterusnya.
Viani pun menerapkan sistem pertahanan berlapis ala jaring pada tim asuhannya. Viani tidak hanya menempatkan gelandang bertahan sebagai filter serangan, tetapi juga sweeper yang bertugas melakukan man to man marking ketat pada lawan. Di belakang sweeper, ada seorang libero yang tidak hanya bertugas menyapu bola, tetapi juga membaca permainan dan arah bola. Pendekatan Viani ternyata efektif. Salernitana bukan hanya dinobatkan sebagai tim dengan pertahanan terbaik, tetapi juga naik kasta ke seri A.
- Baca juga: Berpikir Positif pada Masa Krisis
Sistem permainan yang kelak disebut dengan Catenacio ini, meski dikenal dan menjadi trade mark Italia, tapi menurut beberapa kalangan pada dasarnya sudah diterapkan satu dekade sebelumnya di Swiss oleh Karl Rappan. Sistem yang juga berhasil menyelamatkan Timnas Swiss dari keterpurukan. Sistem Rappan ini disebut dengan Verrou. Pada sistem Verrou terdapat seorang Verrouller yang berfungsi seperti sweeper pada Catenacio.
Namun sulit membantah Catenacio lebih unggul dibanding Verrou. Catenacio tidak hanya membuat Salernitana promosi ke seri A, tapi juga membawa Inter Milan di bawah asuhan Helenio Herrera merajai seri A Italia dan jawara di Eropa dan Dunia pada tahun 60-an. Catenacio juga telah menjadi pola dasar permainan Italia. Juara Dunia empat kali
Muncul perdebatan tentang kenapa Catenacio Italia menjadi unggul. Ada yang bilang ada kaitannya dengan postur tubuh orang Italia ada juga yang mengatakan bila ini berkaitan dengan filosofi sepakbola orang Italia.
Berkaitan dengan hal ini, menarik apa yang ditulis Gianluca Vialli, striker timnas Italia era 90an yang sempat bermain di Liga Italia dan Inggris, dalam bukunya : The Italian Job: A Journey to the Heart of Two Great Footballing Cultures terbit tahun 2007. Menurut Vialli, akar permainan orang Italia bisa ditemukan pada tradisi gladiator. Seorang gladiator, meski sudah bertarung berdarah-darah atau terluka parah namun bila dia kalah, dia tetaplah pecundang. Karenanya yang penting itu bukan proses bertarungnya, tapi kemenangannya. Veni Vidi Vici (saya datang, saya melihat, saya taklukan/saya menang), begitu kata Julius Caesar, jenderal dan konsul Romawi pada tahun 47 SM.
Situasi ini berbeda dengan sepakbola Inggris. Di negara Ratu Elizabeth ini, Sepakbola adalah permainan, bukan kemenangan. Orang menonton atau bermain sepakbola untuk menikmati permainan. Karena itu menurut Vialli, orang Inggris bermain sepakbola dengan hati, sementara orang Italia bermain Sepakbola dengan otak.
Seiring berjalannya waktu, Catenacio pun dipertanyakan. Bukan hanya adanya kampanye negatif terhadap Catenacio yang dianggap “Negative Football”, tetapi juga penerapan sistem baru pemberian poin. Bila sebelumnya kalah-seri-menang poinnya secara urut adalah 0-1-2, maka sekarang berubah menjadi 0-1-3. Sistem ini otomatis membuat setiap orang tidak melulu memikirkan pertahanan, tapi juga penyerangan demi kemenangan.
Orang Italia pun tentunya mengerti. Butuh koreksi terhadap Catenacio. Conte, Prandeli, atau Allegri adalah Italiano terkini yang tidak hanya memperhatikan sisi pertahanan tim, tetapi juga sisi penyerangan. Sebelumnya pada era 90an, ada Arrigo Sacchi pelatih AC Milan. Sacchi bukan hanya pelatih yang menemukan kecemerlangan Franco Baresi sebagai libero. Tetapi juga mentransfer trio Van Basten, Gullit dan Rijkard dari Belanda. Negeri Sepakbola yang dikenal konsisten menerapkan sepakbola menyerang: Total Football.
Berkaitan dengan Total Football, ini juga menarik. Bila Catenacio dikenal sepakbola bertahan dan “Negative Football” maka Total Football adalah sepakbola menyerang dan “Positive Football’. Total Football Belanda seperti anti-thesa Catenacio Italia. Final Piala Champion 1972 menjadi pembuktian. Inter Milan yang sedang berjaya, dihajar 2 gol tanpa balas oleh Ajax Amsterdam dan media di Eropa menyebutnya sebagai The Death of Catenacio.
Fleksibilitas pertukaran posisi pemain adalah kekuatan Total Football. Semua pemain mesti bertukar posisi secara konstan (permutasi pemain) sambil menekan pemain lawan ketika mereka menguasai bola. Posisi pemain hanyalah sementara dan dia akan berubah sesuai kebutuhan. Setiap pemain bukan hanya dituntut nyaman bermain di setiap posisi, tetapi juga bisa bermain di semua posisi. Total Football menyaratkan pemain yang memiliki fisik prima karena mesti tampil konstan selama selama 90 menit. Johan Cruyff menggambarkan filosofi Total Football dalam ucapannya “Playing football is very simple, but playing simple football is the hardest thing there is”
Barry Hulshoff, Defender Ajax, menceritakan cara kerja mereka ketika menjadi juara Champions League tahun 1971, 1972, dan 1973. Menurut Hulshoff, sepanjang waktu mereka berdiskusi tentang ruang. Johan Cruyff, selalu berbicara tentang ke mana pemain harus berlari, di mana pemain harus berdiri, dan kapan pemain harus diam dan tidak bergerak pindah. “Semua tentang menciptakan ruang, mengisi ruang tercipta, dan mengorganisir arsitektur ruang yang terbangun.” Begitu kata Hulshoff.
Sebagaimana Catenacio yang dianggap sudah dipraktikkan orang Swiss, begitu juga dengan Total Football. Pola ini dianggap banyak kalangan sudah diperkenalkan sebelumnya oleh The Wunderteam Australia tahun 1930an juga timnas Hongaria dengan kapten legendarisnya Ferenc Puskas tahun 1950an. Adalah Jack Reynold, pelatih Ajax 1915 – 1947, yang mengamati sistem ini dan memolesnya menjadi taktik tim asuhannya. Rinus Michels, yang dianggap sebagai bapak Total Football, adalah pemain Ajax yang berada dalam asuhan Reynolds.
Mesti begitu, Total Football tetap dianggap milik Belanda. Melalui pola ini Ajax mencetak rekor selalu menang dalam 46 pertandingan sepanjang 1971-1973 dan meraih 5 titel juara baik tingkat Belanda, Eropa maupun dunia. Pertanyaannya, kenapa permutasi pemain, konsep dasar Total Football, menjadi begitu mudah dimainkan orang Belanda?
David Winner, orang Inggris yang tergila-gila sepakbola Belanda, menguraikan hal ini dalam bukunya : “Brilliant Orange: The Neurotic Genius of Dutch Soccer” yang diterbitkan pertama kali tahun 2000. David Winner mengurai dimensi sosial budaya, kenapa pola permainan ini bisa menjadi pegangan orang Belanda.
Mungkin sebelum memahami uraian Winner, kita mesti mendudukan terlebih dahulu konsep objektif dan subjektif. Bila dalam masyarakat yang mempunyai mobilitas tinggi dikenal istilah “Jarak” dan “Jauh”, maka dalam kategorisasi objektif dan subjektif, ‘jarak’ adalah sesuatu yang objektif. Karena ukurannya jelas. Bisa 10 km, 20 km. Sementara ‘jauh’ adalah sesuatu yang subjektif. Karena 10 km bisa jadi jauh bagi sebagian orang, dan dekat bagi sebagian yang lain.
Begitu juga dengan konsep ruang dan Luas. Ruang adalah sesuatu yang objektif karena bisa diukur dengan angka. Namun luas adalah subjektif. Karena 100 m bagi sebagian orang bisa jadi sangat luas, tapi bagi yang lain bisa menjadi sangat sempit.
Ruang lapangan sepakbola untuk pertandingan internasional dimana pun ukurannya sama. Lapangan harus memiliki garis sentuh antara 100-110 dan lebarnya antara 64-75m. Ruang itu objektif sementara luas itu subjektif. Total Football adalah upaya mengeksploitasi ruang untuk membangun luas permainan. Ketika menguasai bola, pemain harus aktif bergerak menciptakan ruang sehingga lapangan terasa luas. Sebaliknya, ketika bola dikuasai lawan, setiap pemain harus bergerak menutup pergerakan lawan sehingga lapangan terasa sempit bagi lawan. Karenanya di samping skill, kecerdikan memanfaatkan ruang adalah skill yang mesti dikuasai. Menurut Winner, kecerdasan inilah yang dimiliki oleh orang-orang Amsterdam atau Belanda.
Meminjam istilah psikologi, Total Fooball adalah penerapan “Psyche” paling dasar orang Belanda dalam memahami kehidupan. Belanda adalah negeri di mana 50 persen tanahnya berada di bawah permukaan laut dan sisanya sangat sempit untuk dihuni penduduk. Karenanya secara teknis, Belanda bukan hanya terus menerus melakukan reklamasi untuk memperluas daratan, tetapi juga harus memiliki disiplin ketat dalam memanfaatkan ruang tersisa. Bila ingin tetap hidup, mereka harus bisa merawat tanah yang tidak seberapa. Kanal, selokan air, bendungan kecil dan besar mesti ditata dengan rapi sehingga bisa mendatangkan manfaat bukan bencana. Orang Belanda disebut sebagai spatial neurotic atau bangsa yang tergila-gila oleh ruangan ataupun pemanfaatannya.
Namun hal-hal di atas adalah upaya teknis objektif dalam memanfaatkan ruang. Untuk membuat ruang terasa lebih luas, dibutuhkan upaya tambahan. Upaya subjektif inilah yang kemudian muncul. Orang Belanda tidak hanya melakukan rekayasa teknis-objektif dalam memanfaatkan ruang, tetapi juga membangun daya khayal tentang ruang yang luas dalam benak. Untuk memicu tumbuhnya daya subjektif tentang ruang yang luas, orang Belanda dikenal bisa membangun tata kota yang kompak dibanding negara manapun di dunia.
Arsitektur di Belanda dianggap sangat inovatif, tidak umum, aneh, tidak normal tapi kesannya selalu longgar dan lapang.
Jejak spatial neurotic untuk melepaskan diri dari kungkungan dan menciptakan keluasan, juga tercermin dari norma sosial, budaya juga politik. Ketika Protestan semarak di Belanda pada awal kelahirannya karena mereka secara instingtif memberontak terhadap hal-hal yang mengungkung. Ketika negara lain melarang ganja, kita akan menemukan orang sedang menghisap ganja atau mariyuana di Vondel Park Amsterdam.
Mentalitas itulah yang turun pada diri pemain sepakbola Belanda. Ketika turun ke lapangan, benak mereka selalu bermain-main dengan keinginan menciptakan ruangan selonggar mungkin lalu mengeksploitasinya. Total Football sendiri pada dasarnya adalah penamaan pada gerakan sosial para arsitek-filosof Belanda tahun 1970an yang ingin memahami kehidupan perkotaan secara menyeluruh mulai dari mengatur urbanisasi, lingkungan, dan pemanfaatan energi dalam satu totalitas. Total, agar ruang yang tersedia di Belanda bisa dimanfaatkan secara maksimal.
Seperti Salerno tempat kelahiran Catenacio, Jakarta adalah Kota pinggir pantai. Jakarta juga seperti Amsterdam, kota yang menghadapi ancaman banjir. Bedanya, dari Salerno dan Amsterdam lahir model dan pesepakbola kelas dunia, sementara dari Jakarta muncul……. buzzer hamdalah. (*)
*Penulis, mantan Ketua PB PII, berasal dari Agam
**Image by Sasin Tipchai from Pixabay