Injil berbahasa minang ilustrasi Gambar oleh Free-Photos dari Pixabay

Injil Berbahasa Minang dan Minangkabau yang Antisipatif

Dedi Navis
Dedi Navis

Injil berbahasa Minang – Orang Minangkabau tumbuh dengan sifat kebudayaannya yang komunal, egaliter, kompetitif dan berpandangan kosmopolit yang menganggap manusia di muka bumi ini sama dengan segala hak dan kewajiban dalam menjalankan kehidupan.

Bukan berarti sifat seperti itu orang Minangkabau berpikir bebas menerima begitu saja pengaruh perkembangan keadaan. Hal ini lebih karena mereka menganggap alam terkembang adalah gurunya. Alam terkembang jadi guru sebagai sesuatu yang sunatullah dengan segala persoalan yang ada di dalamnya. Setiap yang baik dipakai, yang buruk dibuang. Martabat adalah harga dirinya.

Sifat ini membawa orang Minangkabau berpikir kritis dan antisipatif agar tidak mudah terpengaruh terhadap suatu perkembangan yang akan merusak nilai-nilai kehidupannya. Hal ini tergambarkan dalam mamangannya yang berbunyi “tahu di rantiang nan ka mancucuak, tahu di dahan nan ka maimpok” (tahu pada ranting yang akan menusuk, tahu pada dahan yang akan menimpa) yang maknanya agar berhati-hati terhadap sesuatu yang buruk yang bisa saja terjadi, “raso dibaok naiak pareso dibaok turun” (rasa dibawa naik perisa dibawa turun) yang maknanya sama dengan check and recheck.

Motivasi seseorang dalam berucap dan berperilaku juga tidak luput dari pemikiran kritis ini. Apa yang tersurat dan terlihat, sudah bisa tersirat dalam hati dan pikiran. Sudah tahu apa maksud orang itu di balik ucapan dan perbuatannya. Digambarkan dalam mamangannya “alun takilek alah takalam, takilek ikan dilauik alah tantu jantan batinonyo” (belum tertimpa sinar agak sekejap sudah terlihat kelamnya, sudah tersinar agak sekejap ikan di laut sudah bisa tahu jenis kelamin ikannya).

Keampuhan sifat kebudayaan dan cara berpikir orang Minangkabau ini sudah dibuktikan sampai mereka merantau keluar negeri sekali pun. Di mana-mana mereka mampu menjadi orang berguna di berbagai tempat yang mereka datangi. Dan tidak pula berusaha merusak nilai-nilai yang berkembang di tengah-tengah masyarakat di wilayah yang dikunjunginya.

Terbentuknya Republik Indonesia dengan segala landasan idiil dan konstitusionilnya sebagai syarat sebuah negara, juga tidak luput dari cara berpikir orang-orang yang tumbuh dalam alam kebudayaan Minangkabau.

Begitu juga dengan penerimaan secara menyeluruh konsensus “Adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah” yang terjadi dan disepakati sejak ratusan tahun lalu. Hal ini menegaskan Islam adalah agama orang Minangkabau. Yang tidak menerima, tidak lagi punya hak adat. Dibuang sepanjang adat. Begitu hukum adat berlaku di seluruh nagari-nagari yang ada. Dengan demikian yang dibuang ini bisa tetap menjalankan kehidupan seperti apa yang dia inginkan sebagai manusia. Akan hal hubungan silaturahim dengan saudaranya, tak ada larangan. Silahkan saja, asal jangan merusak tatanan adat yang ada.

Dengan sifat dan cara berpikir seperti inilah orang Minangkabau mempertahankan kebudayaannya sekaligus mempertahankan harga dirinya. Prinsip-prinsip kebudayaan ini selalu saja diganggu orang tiap sebentar. Tujuannya kalau tidak menggoyahkan akidah orang Minangkabau, bisa juga ingin merebut tanah ulayatnya. Injil berbahasa Minangkabau adalah salah satu upaya itu seperti yang terdapat pada aplikasi Google Play Store baru-baru ini.

Injil berbahasa Minang sebelumnya pernah beredar di Sumatera Barat antara tahun 1997-1998. Seperti keterangan Buya Mas’oed Abidin, mantan Ketum MUI Sumbar yang dimuat dalam media rmol.id, bahwa tahun 1987-1998 didapatkan kitab Injil berbahasa Minangkabau tersebar di Sumatera Barat. Tidak kurang 7.000 eksemplar jumlahnya.

Muncul kehebohan mempertanyakan apa motivasi penerbitan dan penyebaran kitab Injil ini. Lalu Danrem mengundang pemuka agama termasuk pemuka agama Nasrani seluruh Sumatera Barat. Sebanyak 40 orang lebih yang hadir waktu itu. Danrem menanyakan adakah orang Minangkabau memeluk agama Nasrani? Mereka jawab: tidak ada. Lalu kenapa ada Injil berbahasa Minangkabau ini? Mereka pun tidak bisa menjawabnya. Lalu semua pemuka agama Nasrani mengusulkan agar Injil berbahasa Minang itu dimusnahkan saja karena berpotensi membuat gaduh. Maka selesailah persoalan. Masyarakat Sumatera Barat kembali menjalankan kehidupan dan ibadahnya dengan tenang.

Diterjemahkannya Injil ke dalam bahasa daerah sudah diketahui umum motifnya, yaitu memperkenalkan Injil kepada masyarakat adat di seluruh Indonesia. Misinya tentu saja agar bisa mempengaruhi masyarakat adat mengikuti agama si penginjil.

Dr. Suryadi, seorang lecture dan dosen di Leiden University di akun facebooknya bahkan dengan tegas mengatakan: “Sejak zaman penginjil Alfred North dan Keasberry di Singapura/Temasek (1840an-1880an) sampai tadi siang cacing pun tahu bahwa penerjemahan Injil ke dalam bahasa lokal di Nusantara dimaksudkan untuk mengkristenkan penutur vernacular language yang bersangkutan. #Masih belagu lu dan menganggap orang bodoh dan tak tahu sejarah. Anda boleh berdebat 1000 hari dengan saya soal ini”.

Beranjak dari pengalaman sejarah ini, ketika diketahui adanya kitab Injil berbahasa Minangkabau di aplikasi Google Play Store, maka sontak muncul sikap penolakan. Sikap penolakan ini tak lepas dari sikap antisipatif orang Minangkabau dari berbagai macam pengaruh luar yang bisa mengakibatkan kerusakan dalam kebudayaan dan agamanya yang akan ditanggung oleh anak kemenakan di belakang hari. Injil berbahasa Minangkabau ini cuma salah satunya.

Baca juga: Emeraldy: Gaya Balai Masuk Surau dan Kampus

Karena itu ketika Gubernur Sumbar yang didukung MUI Sumatera Barat mengajukan permintaan kepada Menkominfo menghapus aplikasi Injil berbahasa Minangkabau di Google Play Store, disambut baik oleh orang Minangkabau. Namun, yang protes yang menganggap tindakan Gubernur berlebihan juga ada. Mereka umumnya intelektual dan politisi. Bermacam alasan mereka. Misalnya dengan mengatakan Injil dalam bahasa Arab saja ada kenapa berbahasa Minangkabau tidak boleh? Adalagi yang menuduh anti kemapanan, konservatif, anti globalist dsb.

Bahkan Ade Armando yang dosen dan bergelar Doktor itu menjustifikasi orang Sumatera Barat lebih Kadrun dari Kadrun karena penolakan itu. Sebuah perkataan yang berasal dari hujatan penghinaan PKI kepada kalangan ulama dan santri yang menentang mereka pada tahun 1960an lalu. Karena ucapannya inilah dia dipolisikan oleh para niniak mamak karena sudah dianggap melecehkan harga diri orang Minangkabau.

Bagi orang Minangkabau, berbeda pandangan sah-sah saja. Jika perbedaan berlarut-larut, maka musyawarah mufakatlah yang menyelesaikan. Tapi kalaulah menyangkut harga diri, tunggu dulu.

Saya mencoba mencari tahu seperti apa kalimat-kalimat dalam Injil berbahasa Minang itu. Mengingat bahasa Minangkabau adalah bahasa kebudayaan, bukan bahasa wahyu. Menerjemahkan bahasa Minangkabau ke bahasa Indonesia saja cukup sulit, apalagi ke bahasa kitab suci.

Di Google Play Store sudah tidak ada. Saya hanya mendapatkan beberapa narasi saja kiriman screen shoot seorang kawan. Membacanya saya jadi tersenyum. Di situ tuhan menyebut umatnya dengan kata “Angkau”. Kata “Angkau” dalam bahasa Minangkabau merupakan gabungan dari kata “ang” dan “kau” yang merupakan panggilan kepada seorang laki-laki dan perempuan yang lebih kecil. Tergolong bahasa rendahan. Biasa juga digunakan kalau seseorang sedang marah besar kepada orang lain dengan maksud merendahkan orang itu.

Saya dapatkan juga tuhan menyebut dirinya dengan “Aden”. Dalam kitab Injil dalam bahasa Indonesia tuhan menyebut dirinya dengan “Aku”. Kata “Aden” dan “Aku” memiliki makna yang jauh berbeda. “Aden” dalam kaedah bahasa Minangkabau adalah kasar, bahasa rendahan. Biasanya diperuntukkan kepada lawan bicara sama besar atau yang lebih kecil. Ketika marah juga menggunakan kata ini dengan tekanan suara yang lebih keras. Sedangkan “aku” dalam bahasa Indonesia lebih bermartabat.

Di sini saya bisa menyimpulkan, bahwa penulis Injil itu bukanlah orang yang intelek. Wataknya kasar. Jika dibaca secara menyeluruh, sudah bisa ditebak isi Injil jadi batea-tea tak karuan. Tak patut jadi bagian kitab suci umat Nasrani. Merendahkan martabat kitab suci itu sendiri jadinya. Ada baiknya pemuka agama Nasrani ikut mendorong agar kitab sucinya tidak diterjemahkan ke dalam bahasa Minangkabau. Intelektual sekali pun orang Minangkabau yang menulisnya, hasilnya pasti akan berbeda baik hakekat maupun hikmahnya. Karena memang bahasa Minangkabau yang banyak berkias-kias dan banyak kandungan maksud tersirat itu, tidak mudah untuk dialihkan bahasakan kepada sebuah karya tulis, apalagi yang sifatnya kitab suci. Perlu catatan kaki yang sangat banyak untuk itu.

Dan bagi Ade Armando dan para intelektual Minangkabau lainnya baik yang menghujat, menyindir-nyindir maupun yang sinis terhadap penolakan orang Minangkabau yang diwakili oleh Gubernur Sumbar maupun mempolisikan Ade Armando oleh para niniak mamak, sebaiknya kembali “menyusu” kepada kebudayaan ibu Anda dengan segala kearifan lokalnya.

Kurang-kurangilah “menyusu” kepada ketidakpatutan keadaan yang merusak hubungan antarumat manusia. Dengan demikian Anda akan bisa menjadi orang berguna, bisa pula dengan baik menjaga keutuhan dan harga diri bangsa ini. Hidup berkampung menjaga kampung, hidup bernagari menjaga nagari, hidup berbangsa menjaga bangsa.

Ada jelas tu!?

Depok, 17 Juni 2020

Penulis Dedi Navis, Rakyat biasa, pemerhati kehidupan bangsa
Gambar oleh Free-Photos dari Pixabay