~Irwan, S.H.I., M.H.
“Ketika Masyarakat Tidak lagi Percaya dengan Kebenaran, Para Demagog Berhasil Menjual Idenya Menjadi yang Paling Benar, Masyarakatpun Akhirnya Menjadi Makhluk yang Tidak lagi Berpikir tentang Pentingnya Kebenaran”.
Pilkada di Sumatera Barat akan terjadi di 13 kabupaten/kota dan satu pemilihan gubernur untuk lima tahun ke depan. Paska pemilihan legislatif dan pemilihan presiden, banyak pengalaman politik dan kurenah politik yang menjadi catatan terhadap pelaksanaan dua iven demokrasi secara nasional itu.
Catatan KPU dan Bawaslu untuk pilkada di Sumatera Barat menunjukkan bagaimana proses demokrasi yang terlihat pada kedua pemilihan itu tercederai oleh ; 1) politik beli suara, 2) politik sektarianisme, 3) hilangnya kesadaran terhadap arti penting visi dan misi serta program kerja, 4) rendahnya kualitas kinerja KPUD dan Panwas, 5) tingginya angka kecurangan, 6) penggunaan isu-isu keagamaan yang berlebihan, 7) serang menyerang menggunakan bahasa-bahasa yang tidak demokratis di media sosial dan internet, dan, 8) timbulnya friksi-friksi non-demokratis yang memaksakan kehendak.
Penyimpangan-penyimpangan terhadap demokrasi yang berlangsung selama pemilihan legislatif dan eksekutif, sekalipun telah berakhir di level nasional dengan telah ditetapkannya anggota legislatif dan presiden terpilih. Benarkah hal itu menandai telah berakhirnya konflik horizontal dan vertikal serta ekses-ekses negatif yang terbangun dalam persepsi masyarakat terhadap kualitas dan arti penting ber-demokrasi.
Apabila tolak ukurnya adalah kedua pemilihan tersebut, maka tentu pemilihan kepala daerah yang akan berlangsung pada akhir tahun 2020 itulah yang kita jadikan sebagai barometer terkait dengan korelasi antara pelaksanaan pemilu legislatif dan presiden dengan berbagai kurenahnya itu pada pelaksanaan pemilihan kepala daerah.
Secara institusional, KPUD dan Panwas sebagai lembaga yang bertugas mengatur dan mengawasi pelaksanaan Pilkada dapat saja memperbaiki kinerja mereka setelah melihat bagaimana pelaksanaan pemilihan legislatif dan presiden.
Berbeda dengan masyarakat dan kelompok-kelompok politik yang memiliki kepentingan terhadap kepala daerah, pengalaman berpolitik dalam kedua iven demokrasi itu jelas memberi bekas terhadap model hubungan politik yang terbangun selama pemilihan legislatif dan presiden.
Hubungan-hubungan kontraktual, dengan mengabaikan proses berdemokrasi yang sehat melalui pendidikan, pembinaan dan pengayaan khazanah politik demokratis, eskalasinya akan semakin meningkat.
Apalagi jika ditambah dengan kekecewaan-kecewaan yang melekat akibat ketidakpuasan atas apa yang mereka peroleh. Beberapa kondisi politik yang terjadi dapat disebutkan sebagai berikut :
- Tingginya angka friksi kelompok 01 dengan 02 dengan dukungan politik yang cenderung terfragmentasi Islam dan Nasionalis serta dominasi dukungan penuh kelompok 02 yang 85 % di Sumatera Barat yang kemudian terpadu dalam “hubungan mesra” Prabowo dengan Jokowi, akan melahirkan respon politik yang abu-abu.
- Koalisi-koalisi politik untuk mendukung kepala daerah akan cenderung mencair dan tidak terpola sebagaimana polarisasi dalam pemilihan presiden, oleh karenanya mendorong timbulnya sikap apatis di tengah-tengah masyarakat pemilih. Kondisi ini akan semakin mendorong tingginya angka pilihan tidak berdasarkan ideologi, visi, misi dan program kerja, melainkan standar pragmatism yang lebih mengedepan. Akibatnya harga demokrasi semakin mahal.
- Menarik dukungan dari kelompok simpatik, komunalitas, dan kelompok-kelompok lainnya yang memiliki hubungan politik intens akan semakin sulit oleh karena ikatan-ikatan itu telah terbelah semenjak pemilihan presiden.
- Elit-elit politik semakin kehilangan pengaruh dan dukungan dominan dari kelompok, sehingga penguatan basis politik dan dukungan kontraktuil pada masyarakat pemilih akan semakin meninggi.
- Simbolisme-simbolisme agama tidak lagi berpengaruh dominan terhadap penentuan kecenderungan dukungan pemilih.
- Kelesuan berdemokrasi akan semakin tinggi, pemilihan kepala daerah tidak lebih hanya sebatas rutinitas formal dengan partisipasi yang tidak terukur dan cenderung pengabaian terhadap kepentingan pembangunan daerah, yang ada hanya semata-mata dukungan untuk siapa dan dapat apa.
- Kepemimpinan tidak lagi ditentukan oleh figur, ketokohan dan ataupun program-program yang dijual, melainkan penentuan dukungan atas apa yang diberikan oleh para calon kepala daerah yang dapat dinikmati langsung oleh masyarakat.
- Demokrasi dan partisipasi politik tidak lagi menjadi ukuran, standar keberpihakkan masyarakat semata-mata adalah atas apa yang diberikan.
Perjanjian-perjanjian sosial yang oleh John Locke dianggap sebagai ikatan politik terkuat untuk menentukan kebijakan pemerintah (pemerintah daerah), dan bangunan partisipasi politik yang dianggap sebagai bentuk keberhasilan demokrasi, semuanya tampak semu dan cenderung absurd.
Lantas berhasilkah pertumbuhan demokrasi, atau oleh masyarakat Minangkabau disebut dengan Kepemimpinan Terhormat dan Berwibawa, serta Takah dan Tokoh. Atau jangan-jangan sebenarnya yang kita peroleh adalah kegagalan yang dipoles dengan rasionalitas keberhasilan.
Pilkada di Sumatera Barat dengan berbagai dinamika serta keterpegaruhannya dari resistensi politik yang terjadi, kebenaran gagasan dan fakta-fakta objektif yang menjadi keharusan terbentuknya politik demokratis dan masyarakat yang berkeadaban, dikalahkan oleh daya tarik emosional dan keyakinan-keyakinan yang di bentuk oleh pribadi-pribadi.
Kebenaran tidak lagi mengacu kepada pengalaman, teori-teori dan bahkan tradisi-tradisi politik relegius, kebenaran bahkan tidak begitu digandrungi sebagai suatu kekuatan dalam demokrasi itu sendiri. Pilkada ya untuk pilkada, ia tidak lagi mengandung logika-logika kekuatan demokrasi sebagai pengejawantahan dan pergantian kepemimpinan sebagai prasyarat terbangunnya kehidupan sosial politik masyarakat yang cerdas dan berkeadaban.(*)
*Penulis: Irwan, S.H.I, M.H – Sekretaris Eksekutif PORTAL BANGSA
**Gambar fitur oleh Gambar oleh MoteOo dari Pixabay