
MASYARAKAT hukum adat (adat rechtsgemeenschappen) sebagai konsep, telah dikembangkan sejak masa Pemerintahan Hindia Belanda. Salah satu sarjana pelopor perumus konsep ini adalah Cornelis Van Vallenhoven yang kemudian diteruskan oleh sarjana-sarjana lainnya, misalnya J.F Holleman.
J.F. Holleman sendiri menjelaskan bahwa adat rechtsgemeenschappen adalah unit sosial yang terorganisir dari masyarakat pribumi yang mempunyai pengaturan yang khusus dan otonom terhadap kehidupan masyarakatnya.
Adapun faktor-faktor pembentuk masyarakat hukum adat adalah; (1) Representasi otoritas lokal (kepemimpinan adat) yang khusus, (2) Kekayaan komunal, utamanya tanah, yang memungkinkan komunitas tersebut menjalankan pengaturannya, (Savitri dan Uliyah, 2014).
Secara lebih detil, konsep adat rechtsgemeenschappen sendiri menggunakan kacamata ilmu antropologi dan sosiologi tentang struktur sosial masyarakat adat.
Adat rechtsgemeenshappen berakar dari konsep gemeinschaft untuk padanan lain dari Community (komunitas) yang membedakannya dengan Gesellschaft, yaitu padanan lain untuk Society.
Gemeinschaft adalah bentuk alamiah dari sebuah kelompok yang tumbuh dari hubungan organis antara manusia dengan lingkungannya, dan mempunyai ikatan sukarela antar manusia dan kelompok. Sedangkan Gesellschaft adalah kelompok artifisial yang terikat dengan kesadaran dan persamaan tujuan.(Sasmita, 2016).
Gemeinschaft sendiri tidak otomatis menjadi persekutuan hukum (rechtsgemeenschappen), apabila belum memenuhi kriteria sebagai entitas hukum. Kriteria sebagai persekutuan hukum sendiri oleh Ter Haar dijabarkan sebagai golongan-golongan yang mempunyai tata-susunan yang tetap dan kekal, dan orang yang segolongan itu masing-masing mengalami kehidupannya dalam golongan sebagai hal yang sewajarnya, hal menurut kodrat alam. Tidak sekalipun dari mereka yang mempunyai pikiran akan memungkinkan pembubaran golongan itu. Golongan manusia tersebut mempunyai pula pengurus sendiri dan harta benda, milik keduniaan dan alam gaib. (Sasmita, 2016).
Masyarakat Hukum Adat
Rechtsgemeenschappen atau Persekutuan Hukum adalah konsep umum untuk membantu menjelaskan masyarakat hukum adat (adat rechtsgemeenscappen) secara khusus, yaitu persekutuan-persekutuan hukum yang berbasis pada adat.
Pengertian lain tentang Masyarakat Hukum Adat juga disebutkan Kusumadi Pudjosewojo sebagai masyarakat hukum sebagai suatu masyarakat yang menetap, terikat dan tunduk pada tata hukumnya sendiri (hukum adat).
Masyarakat hukum adat adalah masyarakat yang timbul secara spontan di wilayah tertentu, yang berdirinya tidak ditetapkan atau diperintah oleh penguasa yang lebih tinggi atau penguasa lainnya, dengan rasa solidaritas yang sangat besar di antara para anggota, memandang yang bukan anggota sebagai orang luar dan menggunakan wilayahnya sebagai sumber kekayaan yang hanya dapat dimanfaatkan oleh anggotanya. (Lihat: Kurniawarman, 2006).
Ciri Khusus
Salah satu ciri khusus paling menonjol dari Masyarakat hukum adat adalah hubungannya dengan kedaulatan atas wilayah adat atau beschikkingsrecht. yang jamak dikenal dengan konsep hak ulayat yang merupakan sumber kekayaan yang hanya bisa dinikmati oleh anggota komunitasnya, (Sasmita, 2016; Warman, 2006)
Soetandyo Wignosoebroto menyebutkan bahwa beschikking adalah hak penguasaan yang berada di tangan komunitas desa berdasarkan hukum adat atas suatu teritori tertentu. Orang-orang adat tidak menciptakan istilah khusus untuk menyebut hak semacam ini, sehingga para pengkaji hukum adat harus menciptakan istilah khusus untuknya.
Selanjutnya, Van Vallenhoven mengakui bahwa penggunaan istilah beschikkingrechts ini, atau terjemahaannya dalam Bahasa Inggris sebagai the rights of disposal, yang dipakai sendiri olehnya dalam tulisannya berjudul; The Study of Indonesia Customary Law, Illinois Law Review (1918) adalah kurang tepat, karena menurut hukum adat, komunitas yang memegang hak ini dapat mengalihkan haknya atas objek yang berkenaan secara mutlak dan permanen kepada subjek hak lain (Holleman, 1981).
Oleh Wignosoebroto, padanan Hak Purba untuk menyebut jenis hak ini (baca; beschikkingrechts) lebih tepat karena hak purba dalam bahasa Jawa lebih terbatas dalam maknanya sebagai; penguasaan untuk mengurusi, mengatur dan atau menjaga agar semua berlangsung aman dan tertib.
Sedangkan dalam pendekatan hukum agraria, Budi Harsono (2003) menjelaskan secara lebih detil bahwa Beschikkingsrechts mempunyai tiga aspek yaitu ; (1) hak ulayat masyarakat hukum adat yang beraspek perdata sekaligus publik, (2) hak kepala adat/tetua adat bersifat hak publik, (3) hak-hak atas tanah individual, baik langsung atau tidak langsung berasal dari hak ulayat.
Bakri (2007) mempertegas hak ulayat dalam dua aspek, yaitu; (1) aspek keperdataan yang mengandung hak kepunyaan bersama atas tanah bersama para anggota atau warga komunitas adatnya, (2) aspek publik yang berarti mengandung tugas kewajiban mengelola, mengatur dan memimpin penguasaan, pemeliharaan, peruntukan dan penggunaan tanah bersama.
- Baca juga: Nagari, Hak Ulayat dan Keadilan Agraria
Secara umum, definisi Beschikkingsrechts atau Hak ulayat itu oleh Westenenck disebut sebagai kekuasaan, hak untuk mengurus, mengawas dan juga menguasai atas wilayah adat.
Selain itu, Masyarakat hukum adat secara khusus juga mempunyai susunan dan corak yang terbagi dari tiga kelompok; geneologis, teritorial dan campuran (geneologis-teritorial). Susunan masyarakat hukum adat bersifat fungsional telah disebutkan oleh Mahmakah Konstitusi dalam Putusan MK N0.35/PUU-X/2012. Mahkamah menyebutkan bahwa masyarakat hukum adat fungsional adalah golongan masyarakat hukum adat yang tidak digolongkan pada tiga golongan klasik, yaitu berdasarkan geneologis dan teritorial itu.
Masyarakat Hukum Adat bersifat fungsional belum mempunyai definisi baku dan detil, namun dianalogikan seperti sistem irigasi Subak di Bali oleh Mahkamah Konstitusi, yaitu komunitas yang terikat pada fungsi-fungsi khusus sekaligus tradisional. Fungsi-fungsi khusus tersebut menyangkut kepentingan bersama yang mempersatukan dan tidak bergantung kepada hubungan darah ataupun wilayah (Savitri dan Uliyah, 2014).
Pengampu Adat dan Pluralisme Hukum
Masyarakat hukum adat adalah pengampu adat (hukum adat), yaitu memproduksi dan menjalankan hukum adat tersebut yang oleh Van Vallenhoven diklasifikasikan dalam 19 wilayah berlakunya hukum (rechtskringen).
Rechtskringen bukanlah wilayah persekutuan hukum masyarakat adat, namun adalah wilayah kebudayaan yang identik dengan wilayah sebaran etnis.
Oleh sebab itu, Rechtskrigen yang disebutkan oleh Van Vallenhoven tidak memiliki unsur sebagai adat rechtsgemeenscappen, sehingga Rechtskringen tidak mempunyai suatu sistem pengaturan yang memiliki otoritas di wilayah adat sehingga sulit dijadikan objek pengakuan hukum.
Contoh dari masyarakat hukum adat atau adat rechtsgemeenschappen adalah nagari yang mempunyai hak ulayat bukan pada wilayah lingkaran hukum adat Minangkabau (Zakaria, 2016).
Dalam pendekatan Pluralisme hukum, pembentukan negara bangsa Indonesia melahirkan interaksi antara hukum negara dengan hukum adat, dan bahkan hukum agama. Interaksi hukum ini menghasilkan konflik, akomodasi dan adopsi.
Interaksi Hukum Adat
Interaksi yang berujung pada akomodasi dan adopsi muncul dari saling meminjam elemen-elemen masing-masing hukum. Peminjaman masing-masing elemen-elemen hukum tidak melahirkan masalah hukum baru jika elemen yang dipinjam diintegrasikan ke dalam falsafah sistem hukum yang meminjam dan peminjaman elemen tersebut membuat sistem hukum yang meminjam berlaku efektif.
Persoalan muncul jika interaksi antar hukum menghasilkan hukum baru yang campuran (hybrid).
Rikardo Simarmata menjelaskan, hukum campuran digunakan untuk menjelaskan norma-norma yang tidak bisa lagi dikualifikasikan sebagai norma formal ataupun norma informal, dan dari sisi sebab norma hybrid tersebut lahir karena penetrasi antar sistem norma hanya berujung pada tumpang tindih yang tidak sampai pada hubungan saling meniadakan.
Interaksi antar elemen-elemen hukum adat dan negara, dan juga bahkan hukum agama terjadi dalam dua arena, yaitu; pertama, pembentukan hukum oleh komunitas adat yang membentuk norma baru, misalnya norma hibah tanah adat yang merupakan norma baru dari interaksi adat dan islam di Sumatera Barat.
Pertama, pembentukan kelembagaan masyarakat hukum adat baru, misalnya struktur desa adat yang mengadopsi struktur adat dan negara yang membentuk struktur baru yang khas, (Firmansyah, 2016; Vel dan Badner, 2016).
Pendekatan pluralisme hukum di atas diperlukan sebagai analisis untuk melihat situasi dan dinamika bekerjanya hukum adat dan kelembagaan masyarakat hukum adat sebagai pengampu hukum adat pada konteks terkini dan dinamika masyarakat hukum adat secara lebih luas terutama dalam interaksinya dengan negara.
Artinya, untuk membantu melihat komunitas masyarakat hukum adat yang menjadi jantung subjek pengaturan, baik pada tingkat undang-undang sampai dengan Peraturan Daerah, maka mesti mempertimbangkan tiga hal; Pertama, masyarakat hukum adat memiliki kekhasan sebagai komunitas yang terikat secara alamiah dan memiliki hak ulayat atas wilayah adat.
Kedua, Masyarakat hukum adat bersifat dinamis, sehingga kemungkinan masyarakat hukum adat bersifat fungsional bisa menjadi salah satu subjek pengaturan.
Ketiga, masyarakat hukum adat sebagai pemangku hukum adat memiliki dinamika dalam relasinya dengan hukum negara dan hukum lain, baik dalam arena pembentukan hukum maupun kelembagaan pencipta dan pelaksana hukum di tingkat komunitas masyarakat hukum adat. Perubahan-perubahan akibat interaksi antar hukum tersebut belum tentu dengan serta-merta mengubah eksistensi masyarakat hukum adat.(*)
~ Penulis, Nurul Firmansyah, S.H., M.Si., Advokat dan Peneliti Socio-Legal