Adat dan syara’ pakaian segala alam. Disebut Tambo Alam Minangkabau (TAM 1875:238). “… pakaian alam banyak baginya dan perkaranya. Pertama; adat yang kawi, kedua; syara’ yang lazim..”.
syara’ banamo lazim
adat nan banamo kawi
habih tahun baganti musim
buatan nan usah diubahi
Dalam pepatah disebut syara’ banamo lazim, adat nan banamo kawi, habih tahun baganti musim, buatan nan usah diubahi (syara’ bernama lazim, adat bernama kuat, habis tahun berganti musim, buatan/adat jangan diubah).
Artinya betapa pun rumitnya menjalankan ketetapan lama: “adat nan sabana adat” dan “adat nan diadatkan”, termasuk kesepakatan musyawarah baru (adat nan teradatkan dan adat istiadat) harus dijalankan dan tidak boleh diubah begitu saja.
Adat yang kawi (arab, qawiy) artinya adat yang kuat. Adat tidak berdiri kuat kalau tidak dikuatkan dan diperkuat (penguatan). Demikian pula syara’ (Islam dan hukumnya) sebagai kewajiban setiap orang menjalankannya, tidak berjalan dengan baik kalau tidak dilazimkan (dibiasakan, diadatkan). Lazim dimaksudkan wajib, tetapi dalam bahasa lazim lebih aktif, keduanya mempunyai sanksi hukum dan berdosa tidak dipenuhi.
Dalam Tambo Alam Minangkabau (TAM 1875:238) dijelaskan “cawang adat itu ado kalonyo kalakuan orang dalam nagari atau atau dari pado satu nagari seperti utang piutang, salang manyalang….” (cawang/ cabang adat itu adakalanya prilaku orang dalam nagari atau lintas nagari seperti utang piutang, pinjam meminjam…). Fenomena ini namanya dalam adat “mampatenggangkan (membantu) urang kampung”.
- Baca juga: Filsafat Minangkabau, Sebuah Telaah
Namun tidak beradat dan lebih keras lagi tak bataratik namanya, kalau utang tak mau membayar, piutang tak diterima, salang manyalang (pinjam meminjam) tak menjadi prilaku karena yang meminjam sering tak mau mengembalikan.
Fenomena itu bukan adat namanya tetapi prilaku. Pandai dan cadiak, tapi cadiak buruak. Ini merusak adat sebagai pakaian alam.
Kalau pandai memakai adat bersumber syara’ sebagai pakaian alam, maka alam menjadi aman santoso (sentosa). Kata pepatah: dibukak buhua deta datuak, disamek kain saluak timbo, kok gapuak lamak tak dibuang, dek pandai alam santoso (dibuka buhul deta datuk, disemat kain saluak timbo, kalau gemuk tidak membuang lamak, kalau pandai alam sentosa).
Artinya alam aman makmur, kalau orang besar mengayomi dan penuh persahabatan damai dan saling mempertenggangkan orang di kampung, adalah modal untuk mewujudkan keamanan dan kemakmuran di alam, nagari ini. Itulah adat.
Adat dan (sumbernya) syara’ sebagai pakaian alam. Pakaian itu akan menjadi rusak karena tidak dipakai. Adat dipakai baru. Ada yang salah pakai. Entah adat mana yang dipakai entah syara’ (agama) mana yang ditumpang, perangai seperti ini ialah pasik. Ilmu ada tapi tak jadi prilaku. Tahu adat dan syara’ tapi tak dipakai.
Tambo Alam Minangkabau (TAM, 1875:1) “…menerangkan patut dipakai oleh sakalian isi alam ini pada negeri Arab, Parsi dan Ajam menjadi pakaian pada pihak masyriq dan maghrib dari pada sekalian raja-raja yang mempunyai kerajaan pada tiap-tiap nagari Arab, Parsi dan Ajam dari pada masa Nabi Adam a.s. lalu kepada kesudah-sudahan sekalian anbiya yaitu Nabi Muhammad SAW.”
Artinya adat yang patut dipakai oleh seisi alam ini di masyriq (timur) dan maghrib (barat), orang Arab, Persia dan orang Ajam (asing) dan kerajaan-kerajaan/raja-rajanya adalah adat yang dipakai (orang Minangkabau), karena adat Minangkabau itu, adat yang sudah dipakai sejak Nabi Adam as sampai masa Nabi Muhammad SAW.
Ayah Buya Prof. HAMKA yakni Dr. HAKA dalam bukunya “Kitab Pertimbangan Adat” (1921) menyebut adat Minangkabau itu adalah “al-adat al-mu’tabarah,maa kaana fi zamanin nubuwwah, wa illa falaa i’tibarun lahaa” (adat kuat yang dipakai, sudah ada sejak zaman kenabian –dari Adam as sampai ke masa Nabi Muhammad SAW– karenanya harus jadi pedoman”.
Dr. HAKA yang juga dikenal dengan Inyiak Rasul atau Inyiak Deer itu, mengajak, ”hamba Allah jan-lah tangguang, syara’ pakai, adat pakaluang (dipeluk erat)”. Ia mengingatkan bahwa “adat dan syara’ kalau bacarai (bercerai), tandanya alam ‘kan binaso (binasa)”.
Pernyataan yang menguatkan adat dan syara’ adalah pakaian alam. Pakaian alam ini bila dipakai, bagi keyakinan orang Minangkabau, alam ini lestari, nagari aman santoso. Perangai yang tidak mau memakainya, meski mengaku beradat dan pemangku adat, tak disukai orang Minang.
HAMKA justru benci kepada orang yang mengaku beradat apalagi pemangku adat, tetapi perangainya tak beradat (tak memakai adat dan syara’).
Kebencian itu menjadi bagian pesan utama novel-novelnya di antaranya seperti “Merantau ke Deli”, “Tenggelamnya Kapal Van der wijck”, “Dibawah Lindungan Ka’bah”. Justru perangai tak beradat seperti ini membuat nagari tidak mau maju.
Katanya beradat, tetapi tidak memakai “adat nan kewi” (sejati), tetapi yang dipakai dahan dan ranting saja. Itupun banyak pula jahiliyah modernnya. Seperti disebut pepatah: di mano kain ka baju, diguntiang indaklah sadang, lah takanak mangko diungkai, di mano nagari namuah maju, adat sajati nanlah hilang, dahan jo rantiang nan dipakai (di mana kain dijadikan baju, digunting tidak cukup, sudah dipasang lalu diungkai, di mana nagari mau maju, adat sejati– kewi yang sudah hilang, dahan dengan rangtingnya saja yang dipakai). Wallahu a’lam.*
*Penulis, Dr. Yulizal Yunus, M.Si Datuk Rajo Bagindo, Dosen UIN Imam Bonjol Padang
*Foto fitur pixabay – realyusra