HAMPIR setiap semester, hingga di berbagai pelatihan, selalu ada pertanyaan tentang amplop untuk wartawan. Saya harus menjelas panjang lebar tanpa lelah. Seperti melawan tembok kenyataan yang begitu tebal.
Wartawan itu ditakuti dan disegani karena mata pena yang tajam. Inilah kekuasaan publik yang sulit dimiliki orang biasa. Menjadi wartawan berarti bisa memberitakan, hal itu bisa menakutkan bagi orang yang tak siap.
Kenapa tak siap? Beragam sebab tentunya, salah satunya ada sesuatu yang harus disimpan, mungkin itu kesalahan dan kejahatan dsb. Bagi yang tidak pun, wartawan juga bisa mencari kesalahan. Apalagi bagi yang tidak mengerti tentang dunia wartawan, akan lebih takut lagi.
Inilah masalah awalnya, ketidakmengertian dan ketidaktahuan. Kini dengan terbukanya akses ilmu pengetahuan, tak perlu takut dan tak ada alasan untuk tidak tahu tentang dunia wartawan dan dunia media. Akses internet memberi ruang untuk bacaan-bacaan tentang dunia wartawan.
Jika sudah tahu, apakah harus ada amplop bagi wartawan? Sekali lagi, tidak ada kewajiban bagi nara sumber dan panitia manapun yang mesti memberi amplop berisi uang kepada wartawan. Titik.
Namun ada budaya uang transportasi bagi wartawan. Ada biaya publikasi oleh pemerintah dan panitia acara. Uang inilah biasanya menjadi rebutan bagi sebagian kalangan wartawan yang bekerja tanpa gaji oleh medianya. Perkembangan lebih lanjut, teraktual, justru banyak pula pegawai-pegawai kehumasan yang membuat online sendiri sehingga dana publikasi di kantornya diambil oleh mereka sendiri. Lucu sekali.
Inilah dinamika dunia informasi yang sulit dicegah. Perkembangan lebih cepat dari aturan-aturan. Peraturan tinggal peraturan. Wartawan datang dan pergi. Ada yang meminggirkan diri, seperti saya, ada pula yang bertahan. Berbagai latar belakang ilmu pengetahuan, adat, budaya, agama, dsb.
Pertanyaannya, apakah amplop buat wartawan masih tersedia? Apakah masih ada wartawan amplop? Jawabannya, apapun profesi yang mengedepan profesionalisme, akan selalu ada godaan. Semuanya kembali kepada kesetiaan terhadap profesi yang dicintainya. Jika ia ingin melacurkannya, bukan saja citra profesi yang hancur tetapi juga dirinya, keluarganya, kampungnya, dan hal-hal yang berkaitan dengannya.
Sebanyak yang buruk, sebanyak itu pula yang baik. Ada wartawan yang buruk di lapangan, menggertak, menyipak, menekan, merampas, mengompas, setiap saat mengintai kesempatan. Narasumber akan menandainya, mengklasifikasi, memberi cap dipunggung kepada seseorang wartawan.
Di balik itu, ada juga wartawan yang baik, tak pernah meminta, tak pernah menyipak, bahkan sering pula menolak pemberian narasumber.
Pelajaran penting saya pernah aktif di Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Padang, menunjukkan, menolak pemberian justru menunjukkan semangat dan sikap yang terpuji terhadap profesi. Menolak bukan berarti menolak rezeki. Ada jalan lain, yang lebih bermartabat untuk diterima. Sebab rezeki telah dijamin yang Maha Pemberi Rezeki. Menolak dan menerima dua hal yang berbeda, apalagi dengan meminta. Wartawan bermartabat akan selalu menjaga diri, sekalipun bertahan lapar tetapi rezeki memang urusan Maha Kuasa.[]
**Dr. Abdullah Khusairi, MA.
Jurnalis yang berkhidmat di dunia akademis, bidang Komunikasi Massa dan Pemikiran Islam
***Gambar fitur oleh Matthiasr Schild dari Pixabay