Membangun Masjid dari Receh Jalan Raya

redaksi bakaba

kabar menyakitkan dari Masjid Raya Sumbar, yang petugasnya yang ASN diduga menggelapkan dana infaq miliaran rupiah. Kontras! Ketika masjid lain berlomba-lomba mencari recehan di jalan raya. Menyedihkan.

Gambar oleh QASIM REHMANI dari Pixabay
Gambar oleh QASIM REHMANI dari Pixabay
Dr. Abdullah Khusairi, MA.
Dr. Abdullah Khusairi, MA

~ Abdullah Khusairi

Jika keluar kota, siapkan uang kecil. Ada panitia pembangunan masjid yang berpanas-panas dengan tangguk di tangan mereka untuk menerima uang dari anda. Tidak satu tempat, tapi bisa puluhan tempat, tergantung sejauh mana perjalanan ditempuh.

Ini fenomena menarik, di lintas sumatera, hampir tak ada negara mengurus mereka. Pengurus masjid boleh saja meletak dua drum yang sedikit berjarak, lalu beberapa orang di tengah dengan tangguk dan mungkin juga kardus, siap menampung recehan dari mereka yang melintas.

Adakah yang risau dan menjadikan persoalan ini bagian dari kejanggalan pembangunan sumber daya manusia (SDM), keganjilan pembangunan daerah, kebebasan berbuat dan berpendapat, keshalehan beragama yang rancu?

Hampir tak ada yang menyoalkan, lebih banyak yang membiarkan. Hampir tak ada yang melarang, jika kita mau, buat jugalah begitu.

Begitulah hebatnya kebebasan, kelonggaran tanpa mempertimbangkan keteraturan, juga hak pengguna jalan raya. Semua menjadi serba permisif. Sementara itu, kabar menyakitkan dari Masjid Raya Sumbar, yang petugasnya yang ASN diduga menggelapkan dana infaq miliaran rupiah. Kontras! Ketika masjid lain berlomba-lomba mencari recehan di jalan raya. Menyedihkan.

Pada kali lain, saya menikmati suara pengamen yang dapat dinikmati dengan nyaman melalui kanal youtube. Lalu terpampang, tulisan; bagi yang jauh tapi ingin berpartisipasi saweran silahkan pindai pembayaran gopay.

Saya yakin banyak juga yang iseng mengirim uang digital itu kepada pengamen itu melalui pemindaian tersebut. Itu bisa lama dan terus berlangsung sejauh video di youtube itu dikirim-kirim ke ruang-ruang percakapan.

Dua hal yang kontras. Di satu sisi, sistem uang receh masih berlangsung di jalan raya yang membuat seorang sopir ekstra hati-hati. Jika ada waktu, jika sempat melambat, bisa melempar uang itu ke tangguk petugas untuk sedikit bersedeqah, ikut membangun masjid.

Sementara itu, bagi yang tidak sempat, tetap melambat lalu seterusnya melaju. Terasa agak sulit, bila di tikungan bisa membuat macet. Juga bila jalan mulus, sedang melaju, harus berjuang untuk melambat kendaraan.

Sejauh ini aman-aman saja. Belum ada yang kena daram kendaraan. Dua fenomena kontras di atas sama-sama menarik dikaji secara akademik. Melalui kajian fenomenologi, bisa membuka ruang analisis, ada apa dengan masyarakat kita meminta-minta di jalan raya untuk membangun rumah ibadah. Sedangkan melalui kanal video youtube, perlu juga dianalisis, adakah yang rajin mengirim gopay mereka setelah menikmati lagu-lagu dari pengamen itu.

Satu hal yang patut menjadi catatan, khususnya menyiapkan diri sebagai petugas pemungut sedekah di jalan raya, agar hati-hati karena kendaraan bisa saja mendaram.

Bagi pemerintah, hendaknya memberikan pengaturan yang jelas, tegas, agar jalan raya tidak dikuasai seenaknya. Negara harus hadir mengelola persoalan ini secara bijak. Tokoh agama dan pengurus pembangunan masjid juga harus membuat pertimbangan matang sebelum menerjunkan mereka ke jalanan. Bahaya, tentu saja.

Bagaimana pun juga, membangun masjid sehingga semegah-megah mungkin itu perlu tetapi meminta-minta di jalan raya adalah sebuah ironi. Potret buram kehidupan beragama, kehidupan sosial budaya, serta wajah sebuah daerah. Begitulah, sekadar catatan untuk kesadaran bersama.

Alangkah bahayanya, jika setiap masjid di pinggir jalan melakukan hal yang sama. Fenomena ini sepertinya tumbuh, semacam perlakuan legal untuk meminta-minta demi terbangunnya sebuah rumah ibadah yang bagus.

Uluran tangan para dermawan daerah setempat, wakil rakyat setempat, perlu agaknya agar daerah pemilihan mereka tidak jatuh pada tindakan serupa itu. Bisa jadi, dinamika ini bisa dimaklumi tetapi akan tetap menjadi buruk bagi keseluruhan wajah masyarakat muslim. Saya hanya bisa peduli melihat ini sebagai sebuah masalah tak pula bisa menghentikannya. Sebab, ada kekuatan sosial yang bisa mengesahkan prilaku demikian atas izin-izin untuk melaksanakannya.

Terakhir, begitu banyak kisah sukses diceritakan di media massa, diviralkan ke media sosial, tentang aktivis filantropi membantu mengumpulkan dan untuk kemanusiaan dan ibadah. Semestinya menjadi pelajaran penting agar meninggalkan pola lama, berpanas-panas di jalan raya hanya mengharapkan recehan membangun masjid megah di tepi jalan. Salam.

*Penulis, Dosen Jurusan Komunikasi Penyiaran Islam (KPI) Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi (FDIK) Universitas Islam Negeri (UIN) Imam Bonjol Padang
**Gambar oleh QASIM REHMANI dari Pixabay 

Next Post

Pendidikan dengan Sudut Pandang 90°

bahwa seorang guru harus pandai memadukan berbagai jenis karakter peserta didik di kelas sehingga menjadikan hasil yang memuaskan.
Gambar oleh Aditio Tantra Danang Wisnu Wardhana dari Pixabay

bakaba terkait