Jurnalisme Wajah Baru di Media Cetak

redaksi bakaba

Media cetak memang banyak yang sudah “gulung tikar” tetapi faktor penyebab tidak hanya karena kehadiran media online. Ada beberapa faktor lain, yaitu: manajemen yang buruk; tidak ada kreativitas menanggapi keadaan pasar; kualitas pemberitaan yang tidak berubah; ketiganya berkelindan saling mendukung.

Dr. Abdullah Khusairi, MA.
Dr. Abdullah Khusairi, MA.

MEDIA cetak sebagai medium paling tua di abad modern, menunggu kiprah jurnalisme dengan wajah baru. Ketika media elektronik lahir yakni radio dan televisi, guncangan segera mereda karena karakter antarmedium ini masih memiliki perbedaan (defferent) yang kuat.

Media cetak bisa disimpan oleh pembaca sebagai bukti otentik sebuah dokumen, sementara radio dan televisi hanya mengandalkan kecepatan untuk bisa sampai ke pendengar. Pendengar tidak bisa cepat mendapatkan dokumen sebagai milik sendiri sebagaimana media cetak.

Media cetak memang banyak yang sudah “gulung tikar” tetapi faktor penyebab tidak hanya karena kehadiran media online. Ada beberapa faktor lain, yaitu: manajemen yang buruk; tidak ada kreativitas menanggapi keadaan pasar; kualitas pemberitaan yang tidak berubah; ketiganya berkelindan saling mendukung.

Manajemen buruk
Baiklah, mari kita mulai dari manajemen yang buruk. Pada bisnis apapun, manajemen yang buruk lambat laun akan membawa kehancuran jika tidak disadari sejak semula. Banyak terjadi, manajer-manajer yang mapan tidak mau menyingsingkan lengan bekerja keras untuk menghadapi persoalan. Leadership yang lemah diduga masalah utama dari manajemen yang buruk. Leadership yang kuat akan selalu mampu dan tajam melihat setiap gerak-gerik yang buruk seperti kemampuan kapten kapal di tengah lautan yang mampu melihat ke depan dan ke belakang.

Pada kasus-kasus media cetak yang tutup, sikap kaku dan lamban dalam mengambil keputusan terbukti menjadi alasan kuat bagi pemiliknya untuk menutup cepat media cetaknya.

Manajemen yang buruk itu juga berhubungkait dengan tumpulnya kreativitas dalam menanggapi keadaan pasar. Media massa membutuhkan orang-orang kreatif dalam menanggapi pasar yang berubah cepat. Orang-orang kreatif harus dipelihara sebagai aset. Manajemen yang buruk sering menguburkan impian-impian orang kreatif karena dianggap sering keluar dari jalur berpikir mainstream.

Jangan jadi follower
Kreativitas seperti apa yang dibutuhkan pasar, membutuhkan kajian terus menerus di ruang diskusi. Jika ruang diskusi ditutup, pola instruksional dibuat, maka media akan mengalami stagnasi dalam produktivitas hal baru. Sedangkan watak media massa adalah selalu membawa hal baru. Ia harus menjadi trendsetter, bukan follower.

Kini banyak isi media cetak adalah follower dari medium lain, hal inilah membuat ia ditinggalkan. Apapun medium informasi hari ini harus mampu menyita perhatian publik melalui berita-berita yang diproduksinya, bukan mengikuti medium lain.

Manajemen yang buruk, tumpulnya dan mungkin juga matinya kreativitas, ditambah lagi dengan kualitas pemberitaan yang tidak berubah. Pola berita straight news yang sudah diproduksi oleh media online masih diproduksi oleh media cetak, merupakan kegagalan manajemen membaca keadaan.

Media cetak yang cakap akan mencari celah perbedaan yang kuat melalui kekuatan kata-kata, riset data, serta kelangkaan-kelangkaan lain yang tak pernah didapatkan media online. Tetapi hal ini belum terjadi begitu masif. Hanya media-media cetak yang besar sudah paham membaca keadaan, sementara media-media kecil, di lokal, masih berkisar model straight news, feature, yang kadang-kadang masih garing. Tidak basah oleh ilmu pengetahuan.

Jurnalisme baru
Terakhir, pasar media cetak masih ada jika dikelola dengan jurnalisme baru dan membuat perbedaan mencolok dengan media online, media sosial, dengan cara meningkatkan kreativitas para awak redaksi. Memproduksi berita yang lebih kuat, kokoh, dalam hal data, logika, bahasa, grafis, foto, serta hal-hal yang mendukung kualitas lainnya.

Kini justru keadaan kian membahayakan, “tauhid jurnalisme” yang dipakai sudah jauh menyimpang. Ruang redaksi yang mesti dipisah dengan pagar api sesuai dengan teori telah dipadamkan dengan kewajiban redaksi harus memiliki pendapatan.

Mencari iklan, meminta para jurnalis menekan narasumber agar nembeli koran. Ini kecelakaan bagi jurnalisme yang memegang kepentingan publik. Tanggung jawab kepada publik yang dikebiri seperti itu, tak ubahnya pejabat negara yang berkhianat dengan bertindak korup. Semoga ada ledakan perubahan dalam jurnalisme kita.Salam.

*)Dr. Abdullah Khusairi, MA.
Jurnalis yang berkhidmat di dunia akademis, bidang Komunikasi Massa dan Pemikiran Islam.

**)Gambar oleh USA-Reiseblogger dari Pixabay

Next Post

KIM ya Gitu, Trus Mau Apa?”

KABINET Indonesia Maju (KIM) 2019-2024 telah selesai disusun dan diumumkan Presiden Republik Indonesia Joko Widodo atau Jokowi pada Rabu, 23 Oktober 2019. Hal itu mengakhiri seluruh spekulasi yang dibincangkan banyak orang, baik secara langsung maupun di berbagai forum di media sosial. Setelah itu, maka pertanyaan yang muncul adalah mengapa begitu? […]
Presiden Jokowi-wawancara-setneg gallery photo courtesy

bakaba terkait