RUU Sumbar dan Kebhinekaan yang Otentik

redaksi bakaba

adat dan budaya Minangkabau berdasarkan pada nilai falsafah, adat basandi syara’, syara’ basandi kitabullah sesuai dengan aturan adat salingka nagari yang berlaku,

RUU Sumbar | Buku Nagari & Negara oleh Wendra Yunaldi
RUU Sumbar | Buku Nagari & Negara oleh Wendra Yunaldi

RUU Sumbar | Baru – baru ini telah disepakati oleh Komisi II DPR RI tentang RUU Provinsi Sumatera Barat. Sambil menunggu proses penandatanganan oleh Presiden RI, tentu besar harapan kita sebagai masyarakat Sumatera Barat terhadap kehadiran UU Sumatera Barat yang notabene dengan tegas menyebutkan karakteristik Sumatera Barat.

Dalam pasal 5 RUU Sumatera Barat, disebutkan karakteristik Sumatera Barat dalam poin ketiga, yaitu “adat dan budaya Minangkabau berdasarkan pada nilai falsafah, adat basandi syara’, syara’ basandi kitabullah sesuai dengan aturan adat salingka nagari yang berlaku, serta kekayaan sejarah, bahasa, kesenian, desa adat/nagari, ritual, upacara adat, situs budaya, dan kearifan lokal yang menunjukkan karakter religius dan ketinggian adat istiadat masyarakat Sumatra Barat.”

Mengacu kepada rumusan pasal 5 tersebut, ada hal-hal yang menjadi entry point pengakuan recognisi terhadap Minangkabau, pertama; adat dan budaya Minangkabau berdasarkan falsafah ABS-SBK, kedua; aturan adat salingka nagari yang berlaku, ketiga; kearifan lokal yang menunjukkan karakter relegius dan ketinggian adat istiadat.

Ketiga point penting ini semakin menegaskan tentang sikap negara dan pemerintah terhadap Minangkabau sebagai sebuah entitas kebudayaan yang terjaga dan terpelihara dalam membangun masyarakatnya berdasarkan kaidah-kaidah dan nilai-nilai, baik yang bersumberkan kepada syari’ah maupun adat istiadat yang dengan teguh dipegang serta dihormati oleh masyarakat di Minangkabau.

Penegasan identitas karakter relegius masyarakat Minangkabau yang berfalsafah kepada adat basandi syara’, syara’ basandi kitabullah menunjukkan bagaimana orang-orang Minangkabau sebagai daerah kultural dan administratif menempatkan syari’at Islam sebagai sumber norma. Aksentuasi pada sila pertama Pancasila; Ketuhanan Yang Masa Esa, dan diperkuat dengan Pasal 28E ayat (1) dan (2) UUD 1945 berarti negara menunjukkan pengakuannya terhadap bentuk keyakinan dan kepemelukannya atas sebuah agama.

Karakteristik aturan adat salingka nagari yang berlaku menunjukkan bagaimana negara telah “masuk” ke dalam ruang kesadaran kultural masyarakatnya yang pluralistik dalam penerapan hukum. Adat Minangkabau diakui sebagai identitas kultural yang hidup secara partikular dengan sifat plural dalam setiap lingkungan hukum terendah. Pemerintah Sumatera Barat, oleh karenanya mutatis mutandis tidak boleh mencampuri kewenangan hukum yang hidup dalam setiap nagari, di mana di nagari tersebut terdapat para penghulu kaum sebagai pemimpin yang bertanggungjawab terhadap sako dan pusako anggota kaumnya.

Baca juga: Pergumulan Adat dan Islam di Minangkabau

Karakteristik kearifan lokal yang menunjukkan karakter relegius dan ketinggian adat istiadat merujuk kepada pembedaan antara rekonstruksi dan recognisi oleh Aidul Fitriaciada Azhari (15;2014), dengan terbitnya UU ini, maka upaya pembentukkan norma dengan cara menyesuaikan dan memperluas tradisi atau norma yang ada di tengah-tengah masyarakat ke dalam struktur negara bangsa modern. Di mana upaya memperbaharui norma itu ke dalam bentuk dan skala yang lebih luas tanpa menghilangkan prinsip-prinsip pokok dari norma tersebut.

Adat istiadat sebagai norma, tidak lagi sebagai mitos yang dibangun melalui representasi kolektif. Banyak orang memahami adat Minangkabau sebagai mitos yang berhasil di akademisi oleh peneliti-peneliti Belanda, sehingga adat dianggap sebagai “temuan” Belanda yang sengaja dihidupkan untuk kepentingan politik Belanda. Oleh karena itu, sangat tepat pendapat Henry Tudor (59;1984) yang mengatakan “… oleh karena, bagaimanapun, kenyataannya tetap bahwa bahasa merupakan sebuah sistem nilai-nilai murni, sedangkan mitos bukan.”

Keberhasilan negara melalui RUU Sumatera Barat tentu sebuah langkah terobosan yang luar biasa. Merekonstruksi tatanan nilai budaya yang diyakini oleh masyarakat sebagai “hukum yang hidup” menjadi norma hukum yang berlaku kemudian untuk semua turunannya, akan berdampak luar biasa terhadap penataan kehidupan masyarakat sampai ke pelosok-pelosok nagari di seluruh wilayah Sumatera Barat.

Kedudukan pribadi masyarakat, adat Minangkabau, dan lembaga-lembaga adatnya akan semakin kuat dan eksis. Ketiga elemen sistem hukum ini pada akhirnya mampu membentuk sebuah tatanan modern –tanpa menghilangkan sifat aslinya– untuk menjawab berbagai problem hukum, ekonomi, politik, sosial, budaya dan pendidikan di Sumatera Barat.

Kaidah-kaidah substantif dalam filosofi ABS-SBK, adat salingka nagari, dan kearifan lokal yang relegius dan beradat, mencoba apa yang dikemukakan oleh Mohammad Koesnoe (101;2013) menunjukkan problem yang selama ini terjadi antara adat dengan hukum positif negara meliputi kepentingan nasional, kepastian hukum dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) akan semakin dapat dieliminir.

Sengsara Membawa Nikmat

Kehadiran RUU Sumatera Barat, dengan pengakuan dan rekonstruksinya terhadap kaidah dan nilai adat Minangkabau, semakin memperjelas maksud dan kandungan Pancasila dalam keseluruhan sila-silanya yang notabene hidup dan tumbuh berkembang di tengah-tengah masyarakat adat Minangkabau serta cermin dari konsep Bhineka Tunggal Ika yang otentik, bahwa perbedaan yang ada harus tetap dihargai tanpa harus dibelenggu oleh kesatuan yang semu.

Hadirnya RUU Sumbar dengan materinya yang sangat penting bagi masyarakat adat Minangkabau, pada konteks ini relasi heuristik yang hendak dibangun oleh negara adalah menyelaraskan atau mentransformasi nilai alam Minangkabau menjadi filsafat dan kaidah-kaidah nilai yang hidup dan dengan konsekuen masih dipegang oleh masyarakatnya.

Tentu, ke depan sangat besar harapan kita, RUU Sumbar yang tinggal menunggu pengesahan presiden ini akan menjadi batu loncatan besar terhadap kaidah-kaidah dan nilai-nilai adat masyarakat adat di seluruh Indonesia, diterima, diakui dan direkonstruksi oleh negara dengan tetap menjaga keotentikkannya. Kehadiran RUU Sumbar ini juga selaras dari perluasan asas legalitas dalam RUHP, di mana juga akan mengatur bahwa juga dapat di pidana perbuatan yang melanggar kebiasaan masyarakat hukum adat. dan selangkah lagi untuk memperkuat eksistensi masyarakat adat maka seyogyanya RUU Kesatuan Masyarakat Hukum Adat agar segera dibahas dan disahkan sehingga daulat masyarat adat dalam NKRI tidak hanya semu dan amanah pasal 18B ayat (2) UUD 1945 terlaksana dengan baik.[]

Penulis | Dr. Wendra Yunaldi, SH, MH., | Dekan Fakultas Hukum UMSB

Next Post

Film 'How Are You Really?', Skenario karya Jurnalis Rinai Bening

"Kadang, setelah menikah perempuan justru terpenjara dan diperlakukan semena-mena, kehilangan suaranya. Sudah disakiti, perempuan juga dibebankan untuk mempertahankan hubungan yang harusnya dilakukan dua orang.
Pemeran Film How Are You Really ? foto courtesy Falcon Film

bakaba terkait