Haji Abdul Latif Syakur adalah seorang murid dari Syeikh Ahmad Khatib Al Minangkabawy yang melancarkan pembaharuan di daerah asal ulama besar itu sendiri yaitu Balai Gurah, IV Angkek.
Selain itu, dia juga dikenal sebagai seorang ulama penulis yang sangat produktif. Tidak kurang dari 14 buku karyanya telah tersebar di berbagai daerah, yang dipelajari terutama di madrasahnya.
Ulama ini juga dinilai inovatif karena sekolahnya “Al Tarbiyah al Hasanah” merupakan sekolah agama modern pertama di Minangkabau yang berdiri sebelum Madrasah Thawalib dan Madrasah Tarbiyah Islamiyah. Dia mengubah cara lama yang menggunakan sistem “halaqah” di surau menjadi sistem klasikal dan memasukkan pelajaran umum.
Asal Usul Keluarga
Haji Abdul Latif Syakur dilahirkan di dekat Air Mancur Padang Panjang, 16 Agustus 1881/27 Ramadhan 1299 H.
Ayahnya seorang pengusaha bernama Muhammad Amin Panduko Intan yang berasal dari Balai Gurah Simabur Sawah Gadang. Ibunya bernama Fatimah yang berasal dari Simabur Sawah Gadang. Selain berasal dari kampung yang sama, kedua orang tuanya bersuku yang sama yaitu Pili, kondisi yang jarang ditemukan dalam budaya Minangkabau.
Ayahnya bekerja sebagai tukang bangunan pembuat jembatan dan rel kereta api. Bila borongan tidak ada, biasanya ayahnya menyabit rumput di sawah dan kemudian menjualnya kepada kusir bendi. Sedangkan ibunya seorang ibu rumah tangga yang pada malam harinya mengajar mengaji bagi anak-anak sekitar. Dalam usia 7 tahun, ibunya meninggal dunia. Dia pun kemudian berada di bawah asuhan ayahnya.
Setelah kembali menimba ilmu selama 12 tahun di Mekah, Haji Abdul Latif Syakur mengawali hidup berkeluarga dalam usia 21 tahun. Sebagaimana tradisi adat Minangkabau bagi pemuka agama dan adat pada masanya, memiliki banyak istri sebab banyak pihak yang ingin mengawinkan anaknya dengan orang terkenal. Tercatat Haji Abdul Latif Syakur menikah dengan 9 orang isteri. Nama-nama istrinya yaitu: 1). Rafah, 2). gadis dari Koto Tuo, 3). Maryam yang dikaruniai empat orang anak yaitu: Sya’diah, Syakurah, Sa’nuddin, Sa’dullah dan Lafifah, 4). Raqiyah, 5). Kamaliyah yang dikaruniai satu orang anak Muhammad Said Syakur, 6) Aisyiah, 7). Na’isah yang dikarunia lima orang anak yakni: Su’ada, Syafiuddin, Mahdiyah, Nafisah dan Syafruddin, 8). Rafi’ah dan 9) Zahara.
Pendidikan
Setelah kematian ibunya tanggal 4 Juni 1890, Abdul Latif Syakur “kecil” dalam usia 8 tahun dibawa ayahnya menunaikan ibadah haji. Kepergian itu bukan hanya semata-mata berhaji, melainkan juga untuk bermukim. Tujuan ayahnya adalah untuk mempersiapkan anaknya kelak sebagai ulama yang memiliki ilmu pengetahuan dan penguasaan bahasa Arab dengan luas.
Pada masa itu, tidak mudah melakukan perjalanan menuju Tanah Suci. Berbagai tantangan dan rintangan harus dilalui. Jangankan menggunakan moda transportasi pesawat terbang, jalur transportasi laut secara langsung belum tersedia. Hanya orang-orang yang gigih dan pantang menyerah saja yang mampu melakukan karena perjalanan itu dilakukan secara estafet.
Perjalanan mereka diawali dengan naik kapal ke Pulau Pinang. Setelah itu perjalanan diteruskan ke Bombay dan dilanjutkan ke Habsyah hingga sampai Jeddah. Meski susah dalam perjalanan, ayahnya tidak putus asa. Malah selama perjalanan Abdul Latif kecil sempat mempelajari bahasa Urdu. Sampai di Mekah, keduanya bernaung di bawah pengawasan Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawy.
Pengembaraan ilmunya bermula dengan berguru kepada Syeikh Khatib Alim Kumango, ulama asal Kumango (Batusangkar) yang ketika itu sudah mengajar di Mekah selama 40 tahun. Setelah itu, dia pun menyauk ilmu agama langsung dari sumbernya yaitu Syeikh Ahmad Khatib Al Minangkabawy.
Selama 12 tahun, sang ayah mendampingi Abdul Latif Syakur belajar agama Islam di Mekah sambil bekerja menutupi kebutuhan hidup. Di Mekah, Abdul Latif Syakur sangat senang dapat diajar langsung oleh Syeikh Ahmad Khatib Al Minangkabawy karena ulama ini telah menciptakan kader-kader potensial di Indonesia. Selain itu, ulama ini pun adalah orang sekampung dengan ayahnya. Teman-temannya sesama di Mekah antara lain: Syeikh Sulaiman Arrasuli, Syeikh Abdul Karim Amrullah, Syeikh Muhammad Jamil Jambek, Syeikh Ibrahim Musa Parabek dan lain-lain.
Pendiri Sekolah Agama Modern Pertama di Minangkabau
Sekembali dari Mekah, hidupnya masih belum teratur sebagaimana layaknya orang terdidik yang pulang dari sumber ilmu pengetahuan. Abdul Latif Syakur lebih dikenal sebagai parewa alias preman dari tahun 1902 hingga 1905. Selain itu, dia pun mengalami kesulitan dalam percakapan bahasa Minang. Hal ini bisa dimaklumi karena dalam usia yang relatif muda, 8 tahun, dia telah meninggalkan ranah Minangkabau dan baru kembali 12 tahun kemudian. Tapi lama kelamaan, secara perlahan-lahan kesulitan itu dapat teratasi, khususnya dalam berkomunikasi dengan bahasa Minang.
Setelah melewati masa pancaroba dan masa penyesuaian, dia mulai sadar dan mengajar di daerah asalnya Balai Gurah dengan mendirikan sebuah surau di Sicamin Balai Gurah, di tengah persawahan penduduk. Selain mengajar, dia pun bergerak aktif dalam bidang dakwah lisan.
Di kampung halamannya, dia melakukan tugas dakwah yang begitu berat guna menyadarkan pelaku maksiat yang saat itu “bersimaharaja”. Dakwah yang dilakukannya dinilai santun dengan mendekati pelaku maksiat penuh rasa empati, apalagi dirinya pernah menjalani kehidupan parewa. Lambat laun kampung halamannya berubah menjadi kampung urang siak (kampung santri).
Selain dikenal santun, dalam berdakwah Abdul Latif Syakur juga menjalankan dakwahnya dengan sangat bijak. Dia tidak lantas mengatakan “haram” kepada pelaku maksiat, tapi mendekatinya dengan lemah lembut, duduk bersama dan memasukkan pelajaran agama dengan perlahan namun pasti.
Pada tahun 1906, dia memperkenalkan inovasi dalam pendidikan melalui pemakaian papan tulis serta meja di sekolah itu. Meja yang digunakan ini berukuran rendah dan murid-murid duduk di lantai. Sekolah yang semula bertempat di Sicamin, di tengah persawahan penduduk, kemudian dipindahkan ke perkampungan di Balai Gurah karena surau Sicamin ini disambar petir dan terbakar.
Deliar Noer dalam disertasinya yang masyhur itu, “Gerakan Moderen Islam” menyebutkan bahwa madrasah ini merupakan sekolah agama modern pertama di Minangkabau yang telah berdiri sebelum Madrasah Thawalib dan Madrasah Tarbiyah Islamiyah. Dia mengubah cara lama dari sistem “halaqah” di surau menjadi sistem klasikal lengkap dengan papan tulis. Selain itu, inovasi lainnya adalah memperbaharui metode pembelajaran dengan memasukkan pelajaran umum. Dari segi isi, madrasah ini tetap mempelajari kitab-kitab seperti madrasah tradisional atau surau-surau lainnya.
Kitab yang dipakai di madrasah ini antara lain kitab fiqih Syafi‟iyah, seperti I’anah al-Thalibin dan Fathul Qarib. Selain itu buku pelajaran lain seperti hadits, muthala’ah, metode mengajar (Manahij al-ta’lim) dan Bahasa Arab ialah karangan Syekh Abdul Latif sendiri.
Pada tahun 1912, dia mendirikan sekolah Al Tarbiyah al Hasanah di Tengah Sawah Bukittinggi. Dalam berdakwah ini, dia dibantu teman seperguruan Syeikh Muhammad Jamil Jambek yang baru pulang dari Mekah. Di sekolah Al Tarbiyah al Hasanah ini sebagaimana halnya di Sicamin, semula digunakan papan tulis dan meja-meja yang berukuran rendah dengan sistem klasikal.
Pada tahun 1915, dia mulai menggunakan meja tinggi dan bangku-bangku tempat duduk seperti yang digunakan di sekolah-sekolah Pemerintah Belanda. Karena itulah, sekolah yang didirikan oleh Haji Abdul Latif Syakur dinilai sebagai sekolah pertama yang merombak sistem pendidikan tradisional di Minangkabau, di samping sekolah yang didirikan oleh Haji Abdullah Ahmad di Padang.
Tidak lama kemudian, surau tersebut sempat terbakar dan dibangun kembali tahun 1918. Di samping berdakwah dan mengajar, dia juga menyempatkan diri mengajar di surau Inyiak Jambek, Diniyah Pasir IV Angkat, dan Kulliyat al-Islamiyat al-‘Asriyah. Selain itu, Haji Abdul Latif Syakur pernah mengajar tafsir Al Quran di Modern Islamic College (MIC) di Bukittinggi.
Ulama Penulis
Haji Abdul Latif Syakur dikenal sebagai ulama yang produktif yang telah melahirkan banyak karya buku sebagai khazanah Islam.
Syeikh Muhammad Djamil Djambek pernah menanyakan mengapa dia begitu produktif dalam menulis. Jawaban Haji Abdul Latif Syakur adalah, “Menuangkan pemikiran kita melalui tulisan akan membuat pemikiran kita akan abadi dan tetap berguna bagi orang banyak, walaupun kita telah mati”. Sehingga tidak salah apabila kawan seperguruan sekaligus kawan karibnya tersebut mengatakan bahwa Haji Abdul Latif Syakur merupakan ulama penulis. Mungkin ulama-ulama sekarang banyak yang produktif dalam tradisi menulis, akan tetapi untuk masa ini tradisi tulis-menulis merupakan sesuatu yang amat langka.
Setidaknya dia sudah menulis sebanyak 14 buku dengan judul: 1). “Mabādi` alQarī” yang berisikan tentang pengenalan huruf-huruf Al-Qur’an, makhraj, baris dan tata cara membacanya, 2). Akhlāq al-Adabiyyah” yang berisikan tentang akhlak nabi-nabi pilihan terutama akhlak rasulullah SAW, 3). “Al-Akhlāq wa al-Adab” yang berisikan tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan keseharian (muamalah), 4). AdDa‟wah wa al-Irsyad, 5) “At-Tarbiyyah wa at-Ta’līm” yang berisikan tentang pengertian pilar-pilar Islam seperti iman, ihsan, hukum-hukum akal, kemudian penjelasan mengenai rukun Islam dan rukun Iman serta persoalan persoalan akidah dan seterusnya, 6). “Ta’līm alQirā`at al-‘Arabiyyah” merupakan buku penuntun Bahasa Arab untuk tingkat pemula, 7). “Al-Mabādi‟ al-‘Arabiyyah wa Lugatuha” yang berisikan tentang ilmu qawa’id dalam Bahasa Arab. Fokus buku ini adalah ilmu Nahwu dan ilmu Sharaf, 8). “Al-Fiqh al-Akbar” merupakan terjemahan dari buku Imam Syafii dan diberi komentar oleh penulis yang berisikan tentang seluk beluk hukum Islam, 9) Laṭāif (kitab tentang ilmu Hadis); 10) Malak at-Tarīq al-Islamī (kitab tentang sejarah Nabi dan Khulafaurrasidin); 11) Tafsīr al-Khalīq (berisi tentang tafsir Al Qur‟an); 12) Kitāb at-Tauḥīd; 13) “Ad-Da‟wah wa al-Irsyād li Sabīl ar-Rasyad” berisikan tentang kewajiban dakwah bagi setiap orang Islam beserta tata cara berpidato dan tantangan dakwah yang dihadapi, 14) Sullam al-‘Arab (kitab yang serupa dengan kamus bahasa Arab).
Selain itu, masih terdapat beberapa manuskrip tulisan tangan yang belum sempat diterbitkan.
Baca juga: Rumah Gadang Balaman Lapang
Bidang ilmu yang dibahas dari 14 karya tulis Abdul Latif Syakur ini dapat diklasifikasi menjadi:
a). satu karya tentang Islam (umum); b). dua karya tentang Al-Qur’an dan ilmu yang terkait; c). satu karya tentang Hadits dan ilmu yang terkait; d). satu karya tentang Akidah dan Ilmu Kalam; e). satu karya tentang fikih; f). empat karya tentang akhlak dan tasawuf; g). tiga karya tentang sosial dan budaya, terutama terkait dengan kaedah bahasa Arab; h). satu karya tentang sejarah Islam dan biografi.
Dapat dikatakan bahwa Abdul Latif Syakur memiliki penguasaan ilmu keislaman yang cukup luas. Terlihat dari berbagai karyanya yang meliputi bidang Al Qur’an, Hadits, akidah dan ilmu kalam, fikih, akhlak dan tasawuf, bahasa Arab, dan sejarah Islam.
Kalau dilihat dari karyanya, Haji Abdul Latif Syakur tidak membicarakan masalah terekat. Hal ini menandakan bahwa dia benar-benar paham tentang pembaharuan yang diajarkan gurunya, Syeikh Ahmad Khatib Al Minangkabawy sehingga dia tidak terjebak pada kejumukkan tareqat.
Kamus Arab Ragam “Pasaran”
Untuk menunjang pelajaran pada madrasahnya, di samping menggunakan kitab-kitab kuning klasik, Syeikh Abdul Latif Syakur juga mengarang buku yang menjadi pegangan murid-murid dan urang siak. Buku-buku tersebut diterbitkan di berbagai percetakan di Bukittinggi.
Di antara buku tersebut berjudul ‘Sullam al-Arab ila Lughah al-Arab’. Buku ini merupakan kamus bahasa Arab yang banyak memuat kosakata yang tidak baku tapi digunakan sebagai bahasa komunikasi sehari-hari. Dalam bahasa Arab, kosa kata itu dikelompokkan sebagai bahasa Arab ragam pasaran atau “Ammiyah”.
Upaya menyusun kamus bahasa Arab ragam pasaran itu didasarkan kepada pengalamannya tinggal dan menetap di Mekah yang kesulitan memahami bahasa Arab sebagai komunikasi, sementara di Indonesia, yang dipelajari adalah bahasa Arab baku ragam akademik.
Di madrasahnya, Syeikh Abdul Latif Syakur juga menekankan murid-muridnya untuk menggunakan bahasa Arab sebagai komunikasi sehari-hari. Pengalamannya tinggal cukup lama di Mekah, membuatnya sangat mahir berkomunikasi sehari-hari berbahasa Arab, baik ragam standar “Fushah” maupun ragam pasaran “Ammiyah”.
Tidak hanya itu, dia pun mengajarkan kedua ragam itu kepada murid-muridnya di sekolah, sesuatu yang dapat dikatakan sebagai inovasi pada waktu itu. Dia berargumentasi bahwa ragam “Ammiyah” yang diajarkan tersebut dapat membantu murid-muridnya berkomunikasi dengan masyarakat Arab, apabila nanti melanjutkan pendidikannya ke Mekah. Begitu juga, kamus ini dapat digunakan bagi kalangan usahawan yang ingin mengadu untung ke Timur Tengah.
Kamus ini menerangkan arti kosakata dalam bahasa Minang huruf latin. Kamus ini terdiri dari dua jilid. Jilid pertama ditulis tahun 1915, dan jilid kedua tahun 1918. Kitab ini kemudian dicetak pada Mathba’ah Merapi Bukittinggi tahun 1920.
Penulisan kamus ini dapat dinilai cukup modern karena dia membagi pembahasannya ke dalam dua bagian. Pertama mukaddimah dan kedua daftar kata-kata Ammiyah populer.
Pada bagian mukaddimah, Syekh Abdul Latif Syakur memberi panduan lengkap dalam menggunakan kamus. Ia juga memberikan daftar tabel transliterasi yang dibakukan sendiri, sebab kamusnya itu selain berisi kata Arab juga transliterasi kata-kata itu. Pada sub kedua, dia mendaftarkan ratusan kata Ammiyah lengkap dengan terjemahan Minangnya. Inilah keunikan dari ulama kharismatik yang satu ini.
Pewaris Perjuangan
Haji Abdul Latif Syakur wafat tanggal 13 Juni 1963 di Rumah Sakit Umum M. Djamil Padang. Wafatnya menimbulkan banyak kedukaan di hati masyarakat Minangkabau terutama dihati masyarakat IV Angkek Candung. Hal itu terlihat dari banyaknya massa yang mengantarkan ke pemakaman temasuk Buya HAMKA. Syeikh Haji Abdul Latif Syakur yang meninggalkan 9 isteri dan 10 anak tersebut dimakamkan di Desa Jambak, Balai Gurah, IV Angkek.
Peninggalannya yang paling fenomenal adalah sejumlah karya tulis berbahasa Arab tentang keislaman. Seluruh karya tersebut dapat ditemukan hingga sekarang, sedangkan yang aslinya tersimpan rapi di perpustakaan ahli warisnya, tepatnya di Balai Gurah.
Haji Abdul Latif Syakur seorang ulama pendidik. Meski tidak memiliki lembaga pendidikan besar dengan banyak murid seperti sahabatnya Syeikh Muhammad Djamil Djambek, namun sosoknya dinilai langka. Ulama kharismatis dan inovatif ini mampu mengajak masyarakat dengan cara berbaur dengan adat istiadat setempat.
Salah satu pewaris perjuangannya adalah puterinya bernama Sya’diyah Syakur yang menyelenggarakan pengajaran Al Quran di rumahnya sendiri. Wanita ini melanjutkan pekerjaan ayahnya mulai tahun 1949. Kemudian dibentuk lagi di Surau Sawah Gadang, Balai Gurah sebagai sekolah mengaji. Di sini Sutan Pado Basa, suami Sya’diyah Syakur, diserahi tugas untuk menjadi guru. Dari surau ini kemudian berkembang sekolah mengaji atau membaca al Qur’an di berbagai tempat di Balai Gurah. Pengaruh metode pengajaran yang telah dirintis oleh Haji Abdul Latif Syakur ini kemudian sampai ke Payakumbuh, di mana salah seorang cucunya menjadi guru.
Jasa Haji Abdul Latif Syakur masih diperingati hingga sekarang khususnya saat upacara perayaan khatam Al Quran setiap tahun di Balai Gurah. Perayaan ini dirayakan dengan pawai keliling kampung oleh masyarakat Balai Gurah dan sekitarnya.
Syeikh Abdul Latif Syakur juga dikenal banyak berkiprah dalam kemajuan pendidikan perempuan. Dia merupakan sosok yang terbuka dan mendorong kemajuan perempuan. Hal itu terlihat dari dukungan bagi puterinya dengan menerbitkan majalah khusus perempuan bernama “Djau” yang terbit tahun 1923.
Selain itu, dia juga banyak membahas tentang fiqih wanita yang menjadi perdebatan pada masanya seperti dalam hal pakaian wanita Minangkabau yang bekerja di luar rumah. Dalam hal ini, Syeikh Abdul Latif Syakur pernah berpolemik dengan Haji Abdul Karim Amrullah melalui karya tulis masing-masing yaitu “Al Mu’ashārah” karya Syeikh Abdul Latif Syakur dan “Kitab Cermin Terus” karya Haji Abdul Karīm Amrullāh.
Kedua ulama itu berbeda pendapat dalam hal yang bersifat teknis seperti cara berpakaian wanita dan boleh atau tidaknya berkarir. Haji Abdul Karim Amrullah menolak perempuan untuk berpakaian ketat dan kebarat-baratan serta melarang perempuan bekerja di luar rumah, sedangkan Sheikh Abdul Laṭīf Shakūr lebih fleksibel dalam hal berpakaian Islami asal tidak melupakan kodratnya sebagai seorang wanita. Akan tetapi, secara substantif seperti adab perempuan, hak dan kewajiban perempuan dalam keluarga, keduanya sepakat harus sesuai dengan Al Quran dan sunnah. Intinya, keduanya ingin mengubah pola pikir perempuan Minangkabau yang terikat oleh adat dan sistem matrilineal.
Dalam pengajarannya, dia sangat menekankan bidang akhlak karena pada saat itu masyarakat Minangkabau hidup dalam kebiasaan yang melanggar syariat Islam seperti meminum minuman keras, menghisap ganja, mengadu ayam dan lain-lain.
Bukittinggi, 12 Juni 2020
*Penulis, Efri Yoni Baikoeni, Dosen Pendidikan Bahasa Inggris, FKIP Universitas Muhammadiyah Sumatera Barat
*Foto doc. Penulis