Oleh Irwan Rajo Basa
Diskursus tentang masyarakat sipil atau yang disebut Nurcholis Madjid dengan masyarakat madani sebenarnya bukanlah sesuatu yang baru. Sebab, dengan posisi Nabi Muhammad sebagai pelanjut kekuasaan Bani Hasyim, kabilah kaumnya dalam klan Quraish, Muhammad adalah politisi berkeadaban yang lahir pada late antiquity, akhir zaman kuno.
Kemudian ditegaskan oleh Muhammad dengan posisinya sebagai Nabi dan Rasul yang tidak saja pembawa misi ke-Tuhan-an, melainkan juga mengemban amanah secara sosial untuk mengatur dan menata masyarakat Islam dengan sistem baru yaitu negara daulat umat, maka Muhammad dapat disebut sebagai tokoh masyarakat sipil.
Negara buatan Nabi Muhammad memang agak unik jika dibandingkan dengan negara-negara imperium Roma, Byzantium dan Persia. Dengan menerapkan sistem daulat umat, Muhammad menata kehidupan masyarakat dengan menempatkan hukum sebagai pedoman dalam menjalankan hak dan kewajiban dalam bernegara.
Semasa di Mekah, Muhammad menjadi aktor politik dengan pesan-pesan ideologis kemanusiaan yang disampaikannya. Idiom-idiom sosial yang baru dan bertentangan dengan sistem sosial masyarakat Mekah, Muhammad dengan berani berseberangan dan melawan sistim Mekah yang cenderung berlawanan dengan humanisme dan hak asasi manusia.
Kondisi sosial kesukuan yang diterapkan masyarakat Mekah, dengan kedudukan penting pemimpin dan garis keturunan klan, Muhammad sebenarnya telah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kultur politik Mekah itu.
Kedudukkannya sebagai keturunan penting kaum Quraish, model kepolitikan yang dialaminya berbanding terbalik dengan sistem baru yang menjadi misi kenabiannya.
Muhammad dengan keyakinan yang penuh atas kebenaran wahyu dan ideologi kenabiannya, dengan terang-terangan menghadapi setiap tantangan yang dihadapi. Komunitas yang bertambah setiap hari, sekali pun kecil, Muhammad bersama-sama penggerak perubahannya dengan yakin melawan politik anti-ke-Tuhan-an dan anti-kemanusiaan.
Politik ke-Tuhan-an Muhammad dibangun di atas prinsip ideologi monoteisme. Tuhan adalah simbol tertinggi kebenaran, di mana melalui otoritasnya menjadi sumber perenial ideologi yang dirumuskan Muhammad berupa persamaan hak di antara sesama manusia.
Hal itu tidak otomatis Muhammad mengklaim dirinya mewakili Tuhan di dunia. Muhammad, untuk urusan sosial politik tidak menempatkan dirinya sebagai dewa, apalagi wakil Tuhan yang dapat bertindak semena-mena atas nama Tuhan.
Dalam pendekatan sekularistik, Muhammad bukanlah tokoh politik. Muhammad bagi mereka adalah Nabi dan Rasul yang tidak memiliki korelasi politik dengan kekuasaan. Gagasan inilah yang pernah digaungkan Ali Abd Al-Raziq, Muhammad baginya adalah Tokoh Religius.
Sementara kalangan tradisional melihat Muhammad sebagai manusia sempurna, dengan peran religius dan politik. Kedua pandangan ini berbeda dengan kalangan moderat.
Bagi para pemikir moderat, melihat Muhammad secara rasional dan kontekstual dengan menempatkannya sebagai Nabi dan Rasul yang bertanggung jawab untuk membentuk kehidupan sosial religius yang monoteistik.
Orientasi politik Muhammad bukanlah kekuasaan politik. Politik hanyalah alat. Politik Muhammad tidak berorientasi kekuasaan apalagi berkeinginan melahirkan rezim Muhammad.
Politik Muhammad menempatkan manusia sebagai pusat tamaddun, bukan dewa, malaikat, pastor apalagi para rahib. Bagi Muhammad, sebagai makhluk intelek dan berketuhanan, kesadaran intelek dan berketuhanan itu mendorong manusia untuk beramal berdasarkan spirit ketl-Tuhan-an dan akal cerdas.
Benarkah Muhammad berpolitik dengan model teokrasi. Benarkah Muhammad tidak memiliki kecerdasan untuk membangun sistem sosial yang antroposentris. Benarkah Muhammad tidak menggunakan kecerdasannya seperti seorang filosof yang memiliki gagasan-gagasan besar dan ide-ide politik yang demokratis.
Muhammad adalah manusia luar biasa, memimpin manusia dengan kesadaran religius, hidup mempunyai tujuan akhirat tapi tidak meninggalkan dunia. Ikut berperang melawan kezaliman politik, membantu masyarakat miskin, yatim piatu, menghargai perempuan, menolak kehidupan sosial anti keadilan, persamaan, dan kesetaraan.
Artinya, Muhammad tidak saja layaknya seorang filosof yang memiliki gagasan-gagasan besar dan berkualitas, tetapi Muhammad juga menempatkan dirinya sebagai seorang revolusioner yang hidup dalam realitas sosial yang dinamis.
Menggerakkan kepedulian sosial sekaligus menjadi bagian dari penggerak perubahan itu sendiri. Muhammad tidak berada di puncak menara gading yang hanya sekedar melihat-lihat apa yang terjadi.
Menggerakkan politik dalam model yang paripurna, raih kekuasaan namun kemudian juga bertanggung jawab terhadap kekuasaan itu. Berperang, tetapi tetap menghormati orang tua, perempuan, anak-anak dan orang yang menyerah. (bersambung)
Penulis; Irwan Rajo Basa, Peneliti PORTAL BANGSA institute