~ Ronny P Sasmita
MENYAKSIKAN teriakan masyarakat menengah ke bawah yang kebingungan menghadapi aktifitas ekonomi berhenti, empati kita sebagai sesama anak bangsa tentu akan sangat terusik.
Saat ditanya, apakah mereka sudah mendengar soal Covid-19 dan himbauan pemerintah? Jawabnya: “sudah, tapi ya bagaimana lagi.” Paham tentang bahayanya Corona? Jawabannya: “Iya, paham sudah melihat di tivi, ya tapi bagaimana.”
Begitulah kira-kira respon dari berbagai elemen masyarakat yang masih terus berjuang menyambung hidup, meskipun berbagai aktifitas ekonomi masyarakat lainnya terhenti.
Dominan Pekerja Informal
Tidak bisa dinafikan bahwa dari total seluruh angkatan kerja Indonesia yang bekerja, sekitar 60 persenan adalah pekerja informal, yang tidak terikat pada jaminan gaji bulanan, tapi terikat pada seberapa basah keringat mereka dalam berusaha setiap hari. Mereka itu kuli bangunan, kaki lima, pemilik kios, jutaan pekerja ojek, baik online maupun konvensional, tukang pangkas rambut, tukang parkir, buruh tani, penjahit keliling, tukang gorengan, penjual sayuran, pelaku UMKM dan usaha mikro, serta banyak lagi jenis lainnya.
Bahkan ada beberapa perusahaan, yang keuangannya sangat pas-pasan, meliburkan karyawannya dua minggu, bahkan lebih, sembari memotong setengah gaji mereka. Kemudian saat ditanya mengapa, rasanya jawaban manajemennya juga masuk akal. “Tak ada produksi, tak ada penjualan. Tak ada penjualan, artinya tak dapat pemasukan, lantas mau bayar gaji dari mana?”
Dan sampai hari ini, belum terdengar apa bukti kehadiran negara atas kedua persoalan semacam itu, apalagi kehadiran politisi. Negara disibukkan dengan urusan kekurangan human resources, sumberdaya manusia; equipment, peralatan, dan kapasitas tampung beberapa titik lokasi untuk pasien coronavirus.
Kehilangan Pendapatan
Bagi kalangan masyarakat 40 persen menengah ke bawah, misalnya, terutama di perkotaan, dihimbau untuk libur sebulan berarti kehilangan pendapatan sebulan. Disuruh libur dua bulan, berarti kehilangan pendapatan dua bulan. Berbeda dengan negara-negara kaya, besar, dan kuat fundamental ekonominya. Mereka siap memberi jaminan kepada warganya yang terimbas, mulai dari pemberian uang saku (BLT) sampai penyediaan makanan, dan segala bentuk proteksi ekonomi selama masa lockdown.
Begitulah Wuhan diperlakukan oleh China. Memang negara tersebut duitnya banyak, devisanya terbesar sejagad-raya.
Pengusaha pun demikian, sebagian besar tidak terlalu merasakan imbas dari insentif dan relaksasi pajak, karena itu semua adalah kewajiban yang harus dibayar jika berproduksi. Jika tak berproduksi dan karyawan disuruh libur, tapi tetap digaji, akan lain lagi ceritanya. Pengusaha juga akan ikut lumpuh. Kondisinya berbeda dengan 50 konglomerasi terkaya di Indonesia, misalnya, yang reserve-nya boleh jadi sangat kuat.
Bagaimana dengan usaha sedang, UMKM, apalagi mikro. Skema counter-crisis belum terlihat sama sekali, atau boleh jadi negara memang belum mampu karena dukungan fiskal nihil. Didorong sedikit ke pos anggaran baru, malah defisit fiskal jadinya. Ujungnya opsi yang tersisa hanyalah utang, dan akan buruk secara politik bagi pemerintah.
Baca juga: Menko sampaikan Update Ekonomi dan Politik di Davos
Dengan gambaran demikian, serangan Covid-19, secara ekonomi, terima atau tidak, langsung ke jantung ekonomi nasional, yang sebagian besar ditopang oleh UMKM dan usaha sedang. Jatuh kedua pilar ini, goyang ekonomi Indonesia. Di saat itulah suntikan dari berbagai negara besar dan lembaga donor diperlukan. Jadi kondisinya memang sulit sekali.
Orang-orang yang mampu membeli keperluan apapun, uang di rekeningnya masih berlimpah, boleh saja marah-marah, bahkan mengutuk, mengapa masih ada yang bekerja atau berkeliaran mencari penghidupan. Tapi bagi mereka, bekerja dan berusaha adalah juga bagian dari menyelamatkan hidup, atau justru mati kelaparan. Di sisi lain, mereka belum juga dapat kepastian tentang jaminan apa yang akan mereka dapat dari otoritas terkait jika tidak beraktifitas.
Ekonomi Terkunci
Jika tidak lagi ada ruang untuk berusaha, lalu disuruh libur, maka pilihannya untuk bertahan adalah pulang kampung. Di kampung bisa menyambung hidup dengan berbagai cara, meski berhenti dulu berusaha, minimal untuk beberapa bulan. Dan ternyata itupun dilarang, karena dianggap akan memperluas pandemik ke kampung-kampung. Lantas mau bagaimana lagi? Situasinya sebenarnya sudah “Lockdown,” ekonomi kita sudah terkunci, sudah bingung mau bergerak ke mana. Dalam bahasa Amerika, namanya Mexican Standoff, terkunci. Makin bergerak, makin terlilit.
Kemudian ada yang mengomentari; “kalau ekonomi mati, bisa dihidupkan kembali. Kalau orang mati, memangnya bisa dihidupkan kembali,” katanya. Konon kalimat tersebut dikutip dari Presiden Ghana. Ya, begitulah. Sebagian dari kita, ya kita sebagai anak bangsa, dipaksa memilih antara mati oleh virus atau mati oleh kemiskinan dan kelaparan. Padahal, tidak ada yang meminta pemerintah menghidupkan orang mati. Memangnya ada yang menuntut pemerintah untuk menghidupkan ratusan ribu pengidap TBC yang meninggal? Atau pengidap HIV, atau korban malaria, demam berdarah, dan penyakit lainnya.
Sejatinya, bukan itu poinnya. Di tahun 2019, angka kematian Indonesia 1,6 juta. Artinya 4.338 orang meninggal setiap hari. Sebagian karena faktor umum, sebagian karena sakit (TBC, diabetes, jantung, demam berdarah), dan ada juga karena kecelakaan (rata-rata per tahun 26.000-29.000 orang). Tidak ada yang pernah meminta pemerintah menghidupkan kembali. Lantas mengapa mendadak sekarang jadi opsi yang dipersoalkan? Yang diminta dari pemerintah adalah mengantisipasi penyebaran virus corona di satu sisi sekaligus mengantisipasi agar tidak terjadi hentakan ekonomi yang membuat banyak orang berhenti berpenghasilan, dunia usaha berhenti bergerak, lalu muncul ledakan pengangguran, kemiskinan, kemudian banyak yang tak bisa hidup layak, kekurangan makanan, kekurangan uang untuk memenuhi kebutuhan, termasuk kebutuhan cicilan ini dan itu, kebutuhan pendidikan, lalu anak-anaknya terlunta, masa depannya entah bagaimana.
Dengan cara apa menghidupkan ekonomi yang sudah terpuruk, yang menjerumuskan banyak manusia ke bawah garis kemiskinan, pengangguran, dan hopeless, putus asa seperti itu? Mengganti uang nasabah asuransi saja pemerintah jual ini dan itu. Apalagi kalau pengangguran dan kelaparan merebak? Krisis 1997-1998 menjerumuskan tak kurang 10 juta orang ke jurang penggangguran, yang sampai hari ini sebagian masih mengganggur, terlunta-lunta setelah di PHK, bersaing mencari kerja dengan angkatan kerja baru, yang membuat mereka tak laku lagi di mata penyedia kerja. Untung ada ojek online atau taksi online, sehingga sekarang sebagian dari mereka, bisa ikut “nimbrung” mencari nafkah.
Lebih Parah dari Krismon
Jika diproyeksikan imbas dari Covid-19 ini, hampir bisa dipastikan kondisinya lebih parah dari 2008. Pada tahun 2008 sektor moneter yang kena hentakan. Sekarang sektor riil yang dihajar. UMKM dan usaha mikro meradang, kapasitas produksi dan pengeluaran nasional terpukul, bursa jungkir balik, mata uang berantakan. Kalau memakai logika “ekonomi bisa dihidupkan”, kita semestinya sudah jadi negara maju dan kaya, berpuluh-puluh tahun sebelum ada corona. Nyatanya tidak, jadi apa yang mudah dibangun? Ethopia atau Zimbabwe semestinya sudah menjadi negara maju, karena sudah bertahun-tahun dililit kemiskinan dan kelaparan, jauh hari sebelum corona datang. Rakyatnya masih bernafas, tapi tak juga hidup ekonominya, justru menderita, pemerintahnya impoten, mata uangnya hancur, ekonominya berantakan, mengapa tidak bangun-bangun ekonomi negara tersebut?
Segampang apa menghidupkan ekonomi yang dimaksud? Sudah hilang akal ekonom, tidak juga berubah struktur ekonomi negara kita. Pekerja informal masih 60 persen, bergelimang ketidakpastian atas penghasilannya setiap waktu. Lantas mengapa tidak kaya-kaya 40 persen rakyat menengah ke bawah? Karena membangun ekonomi masyarakat tidak semudah mengatakan “Kamu di rumah aja, tunggu kondisi membaik baru beraktifitas lagi, sembari tak pasti kapan membaiknya, dan tak dibekali apapun, tidak ada kebijakan proteksi apapun”. Kalau semudah itu, kita sudah jadi negara maju sedari dulu. Bandingkan saja, pemerintah selalu kesulitan fiskal, artinya berlipat-lipat sulitnya bagi rakyat banyak dalam hal yang sama.
Mayoritas orang, di manapun di dunia ini, bekerja keras, pagi pergi pulang malam, alasannya adalah ekonomi, untuk menjadi lebih makmur, agar kebutuhan untuk bisa hidup lebih sehat dan lebih layak bisa dipenuhi, agar masa depan anak-anak yang dilahirkan lebih terjamin karena ada biaya untuk pendidikan dan kesehatannya, sehingga kehidupan mereka di waktu mendatang lebih baik. Negara ini, sudah jelas-jelas tak punya “kemampuan lebih” untuk menanggulangi kemiskinan dan pengangguran dengan baik, karena itu 60 persen pekerja Indonesia adalah pekerja informal. Hidup dalam kerentanan, sedikit di atas garis kemiskinan. Artinya, perekonomian nasional tak mampu didorong oleh otoritas terkait untuk menyediakan pekerjaan yang layak.
Kalau sebuah kebijakan besar berskala nasional yang diambil mendorong negeri ini ke dalam krisis ekonomi, lalu dunia usaha sesak nafas, PHK melebar, maka pengangguran menanti, kemiskinan meningkat, kelaparan massal membayangi, dan menjatuhkan jutaan kelompok rentan ke bawah garis kemiskinan. Kondisi semacam itu akan semakin membuat negara ini impoten dalam menghadapinya. Lha wong dalam kondisi normal saja, mengurangi kemiskinan dan pengangguran pemerintah nyaris kehabisan rumus.
Jangan Hakimi
Bagi kalangan tertentu yang masih “gregetan” melihat pemerintah yang belum juga menutup rapat negeri ini, sekali-kali melihatlah ke bawah, kalau perlu bergaul ke bawah. Dengarkan keluhan saudara-saudara yang jauh, yang hidup di rumah reot padat penduduk, yang dindingnya lebih buruk dari tembok pagar rumah besar anda. Please, urusan kemanusiaan bukan hanya soal kesehatan, tapi soal keberlanjutan hidup jutaan manusia dalam kondisi yang layak, bukan dalam kondisi yang tragis menakutkan, tanpa harapan dan kepastian. Untuk sehat itu ada biayanya, dan itu ternyata tidak ditanggung negara. Dan untuk isolasi mandiri itu ada biayanya, dan itu tidak ditanggung pemerintah.
Sekali lagi, pertama, sebaiknya jangan menghakimi saudara-saudara kita yang bersikeras hati untuk tetap berjuang mencari nafkah. Dan kedua, jangan hakimi pemerintah, yang sudah berusaha memahami situasi ekonomi riil dengan cukup baik, meski masih belum juga bertanggung jawab secara penuh.
~ Penulis adalah Direktur Eksekutif Economic Action Indonesia/EconAct.
~ Gambar oleh Phạm Quốc Nguyên dari Pixabay