“Lebih ganteng di televisi,” celetuk seseorang. “Lebih ganteng aslinya,” seru yang lain. Kedua ungkapan di atas muncul setelah mendapat pembanding satu objek dengan cara pandang berbeda. Beda pandangan serupa ini berangkat dari aliran pemikiran subjektif dari pengungkapnya. Dua pernyataan di atas dampak dari media yang membangun pesan sehingga membentuk realitas media. Realitas media adalah realitas baru yang diambil dari peristiwa yang dijadikan berita. Sayangnya, realitas media bila terlalu melebih-lebihkan dari wujud nyata telah membuat kenyataan baru bernama hyperreality.
Begitu banyak kajian jurnal soal ini dalam ruang lingkup sosiologi komunikasi dan komunikasi sosiologi. Berangkat dari teori yang dibangun dari Jean Baudrillard (1929-2007) tentang Simulations, kemudian dikembangkan dalam kajian semiotik dalam filsafat kebahasaan, fenomena komunikasi tidak akan pernah habis untuk dikaji. Apalagi seiring perkembangan medium yang tersedia, kajian tentang informasi menjadi sangat pesat.
Sejak awal telah diprediksi, media massa dan kini diramaikan dengan media sosial, pada satu sisi merupakan cermin dari keadaan (mirror of mass) tetapi juga dikritis sebaliknya, menutup kenyataan sebenarnya. Kenyataan media juga dibangun kembali menjadi kenyataan yang baru. Proses timbal balik serupa itu menjadikan kajian komunikasi bukan sesuatu yang sederhana lagi.
Baca juga: Disrupsi Media Massa
Kasus Pandemi Covid-19 memerlihatkan kenyataan tentang simulasi di atas. Dimana tahapan pemahaman terhadap pesan kegawatan atas wabah telah diterima dalam berbagai bentuk dan ornamennya. Citra Covid-19 sebagai informasi yang horor tidak cepat diterima, pada level tertentu justru dianggap sebagai sesuatu yang begitu funny. Informasi Covid-19 diterima sebagai horor setelah ada yang positif terjangkit wabah secara dekat dalam kehidupan sosial.
Baudrillard menyebutkan, terdapat tahapan citra yang terbentuk di publik dalam memahami informasi yang datang kepada mereka. Di antaranya, citra keadaan sebenarnya (realistic). Informasi dipahami sebagai sesuatu apa adanya. Pada tahap ini, respon terhadap pesan sekadar sebagai pengetahuan umum tanpa perlu membuat tindakan. Tahap berikutnya, tahap alami yang dapat ditemukan lewat imitasi (counterfeit). Pada tahap ini, respon akan membayangkan, sehingga membangkitkan kewaspadaan. Terakhir, tahap produksi dan simulation (production) yang merupakan simulacra dari simulasi. Respon reaktif berlebihan berada di tahap ini. Ia menjadi sikap dan tindakan sesuai dengan pemahaman terhadap objek berita.
Kaji Lama
Ini kaji lama tentang pesan dalam ilmu komunikasi massa. Bahwa media telah menjadi pesan tersendiri (media is message) dari konten yang hendak disampaikannya (Marshal McLuhan: 1911-1980). Sehingga realitas media massa, ditambah media sosial, bergeser menjauh dari realitas sesungguhnya. Inilah dasar patut dicurigai setiap berita yang datang ke depan mata kita. Ada teori agenda setting, framing, yang mengajarkan untuk lebih skeptis.
Skeptisisme mengajarkan agar perlu mencermati sumber-sumber berita, siapa yang memiliki media yang menyampaikan, bagaimana cara menyajikannya, juga jumlah, durasi, perulangan, informasi yang sampaikan. Melalui cara ini akan terlihat tendesi maksud penyampaian berita sebagai sebuah pesan. Alat deteksi serupa ini, sangat ampuh agar tidak mudah terbawa arus informasi yang dikehendaki oleh pengirim pesan.
Disadari atau tidak, pandemi Covid-19 telah membangun citra tertentu di tengah masyarakat dalam level-level yang beragam. Bagi yang baru menerima, biasanya merespon tanpa dampak besar, respon lebih akan muncul ketika pandemi menjadi bagian yang dekat (proximity) secara realitas. Ketakutan, kewaspadaan, berada pada kondisi ini.
Labilitas emosi massa sangat dominan yang mengalami histeria baik positif maupun negatif, terhadap para pihak. Kemudian, respon imunitas akan muncul bila pemahaman tentang pandemi melebihi model pemberitaan yang telah mengalami pengolahan berlebihan. Publik yang paham dengan persoalan sebenarnya tidak akan mudah hanyut dengan berita yang ditawarkan tanpa ada modifikasi baru.
Pandemi Covid-19 dipandang dari perspektif content of media, adalah komoditas pemberitaan yang menyaru begitu banyak kepentingan, selain kesehatan dan horor kematian dari bahayanya.
Sumber-sumber berita yang berkomentar di panggung informasi tidak lagi berangkat dari kenyataan-kenyataan sosial dan kasus, tetapi lebih dari pengembangan pengetahuan dari realitas yang didapati dari kenyataan-kenyataan dibangun di media.
Produksi informasi dari “media untuk media oleh media” membawa sampai jauh bias dan defisit kebenaran informasi yang akan didapatkan setelah itu. Sampai di sinilah, kekacauan informasi kerap membingungkan publik dalam ketakutan. Reaksi akan muncul berlebihan pada titik ini.
Terakhir, selain kebenaran informasi mengalami defisit, menyarunya hoax dan fakenews tentang pandemi, konteks sumber informasi kadang-kadang tidak sesuai antara daerah yang satu dengan daerah yang lain. Sayangnya, dipaksakan harus sama. Ini juga masalah tersendiri, misalnya ketika informasi yang harusnya untuk zona merah diterima oleh publik di zona hijau. Begitu sebaliknya. Konteks geografis telah mengacaukan keadaan melebihi realitas sesungguhnya. Kesalahan pengambil kebijakan oleh aparat pemerintah kita, acap berada di posisi ini.
Kita akhirnya kembali kepada daya kritis, literasi media, yang dimiliki. Kadang-kadang, berita tentang pandemi ini tak lagi layak dikonsumsi berlebihan, bisa memperburuk perspektif, mengaburkan kebenaran, serta menjauhkan keadaan sesungguhnya yang ada di sekitar kita. Kita sudah lenyap dari keadaan sosial, lalu terbawa arus informasi yang hyperreality. Hanyut dibawa ke dalam ketakutan yang berlebihan. Kita bisa menjadi tiada dan tidak lagi terasa berpijak di atas tanah tetapi di atas pendapat demi pendapat yang menghanyutkan kenyataan sebenarnya. Nauzubillah. []
~ Penulis, Dosen Jurusan Komunikasi Penyiaran Islam (KPI) Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi (FDIK) Universitas Islam Negeri (UIN) Imam Bonjol Padang.
~ Gambar oleh Gerd Altmann dari Pixabay