Menjadi Aktivis itu Pilihan, Bukan Nasib

redaksi bakaba

Ketika memilih menjadi aktivis, maka ada dimensi individual atau personal dan dimensi sosial bahkan ekonomi politik serta kultural yang harus dipertimbangkan

Virtuous Setyaka-FB

Oleh: Virtuous Setyaka

MENJADI aktivis bukan perkara mudah, meskipun itu bisa menjadi pilihan yang sangat personal. Namun, ternyata harus mempertimbangkan realitas sosial baik secara ekonomi, politik, dan kultur. Oleh sebab itu, menjadi aktivis juga perlu untuk dianalisis ancamannya, hambatannya, gangguannya, dan tantangannya (AHGT).

Sehingga, dengan demikian tidak sederhana dan mudah untuk menjadi aktivis dan atau menilai seorang aktivis akan mampu mempertahankan bahkan identitas aktivisnya berkelanjutan dalam seumur hidupnya.

Melepaskan Aktivisme?
Daniel Silver (2018) dalam What are the factors that lead to the disengagement in activism over an individual’s lifetime in the Global South? sebuah Social Policy Working Paper Series (02-18). The London School of Economics and Political Science, Department of Social Policy, London menyebutkan, literatur gerakan sosial yang terbatas. Silver berhipotesis mengapa individu di Global South atau Selatan Global melepaskan diri dari aktivisme, membuat aktivisme tidak berkelanjutan dalam hidupnya.

Empat lensa digunakan untuk memahami mengapa pelepasan dapat terjadi: (1) ekonomi politik aktivisme; (2) tekanan sosial-budaya dari Global South; (3) masalah konstruksi identitas dan (4) lensa poststrukturalis tentang konstruksi identitas dan kerangka aksi kolektif yang menunjukkan bahwa tekanan struktural dan budaya tertentu ada di Global South yang membatasi individu dari aktivisme berkelanjutan dalam hidup mereka.

Ada keseimbangan antara biaya dan risiko versus manfaat potensial aktivisme. Masuk akal untuk mengasumsikan bahwa pelepasan dari aktivisme akan terjadi ketika proses struktural politik dan ekonomi yang ada, menciptakan risiko dan biaya tinggi, mengarah ke persepsi negatif aktivisme.

Biaya politik dan ekonomi dari aktivisme dapat menunjukkan bahwa aktivisme yang membawa risiko, menciptakan lingkungan di mana keterlibatan berkelanjutan dalam aktivisme menjadi tidak diinginkan. Individu di Global South mengalami tekanan sosial-budaya yang mungkin berarti identitas aktivis bertentangan dengan harapan sosial dan budaya.

Mengelola identitas aktivis dalam kaitannya dengan identitas lain kemudian dapat memainkan peran penting dalam kemampuan individu untuk mempertahankan aktivisme selama hidup mereka. Dengan memusatkan perhatian pada pembangunan identitas, dan wacana yang diciptakannya – baik inklusif maupun ekslusif – tidak boleh diasumsikan bahwa masyarakat sipil diposisikan secara seragam terhadap negara dalam episode-episode politik kontroversial.

Kontestasi dalam identitas dan dalam bingkai aksi kolektif mengarah pada realitas yang lebih bernuansa. Konsepsi masyarakat sipil ini juga menambah kenyataan bahwa para aktivis tidak selalu bekerja secara harmonis satu sama lain melawan negara tetapi mungkin menghadapi konflik di dalam atau di antara kelompok-kelompok.

Konflik semacam itu menambah kemungkinan bahwa seorang aktivis tidak akan mempertahankan keterlibatan mereka dalam aktivisme tapi dapat menarik diri karena tekanan yang diciptakan oleh konflik itu.

Dalam pemaparan Silver tersebut dapat dinyatakan bahwa aktivisme tidak mudah untuk digeneralisasi, terutama dalam asumsi bahwa aktivisme dapat menyebabkan perubahan. Lebih bijaksana untuk mempertimbangkan hambatan besar yang dihadapi individu sebagai aktivis dalam konteks Global South.

Maka lebih bijaksana lagi untuk mempertimbangkan bahwa setiap individu di berbagai penjuru dunia akan menghadapi hambatan untuk terus mengenakan aktivisme berkelanjutan dalam hidup keseharian mereka.

Menggembirakan
Menjadi aktivis itu menggembirakan. Begitu disampaikan Adrienne Maree Brown, seorang penulis Amerika Serikat, aktivis keadilan sosial terutama hak-hak perempuan, dan feminis kulit hitam dalam Pleasure Activism: The Politics of Feeling Good (2019).

Brown menganjurkan untuk mengakui bahwa kegembiraan adalah ukuran kebebasan; memperhatikan apa yang membuat merasa baik dan apa yang membuat penasaran; mempelajari cara-cara meningkatkan jumlah waktu berperasaan-baik dalam hidup untuk mendapatkan kegembiraan berlimpah; mengurangi rasa malu atau kelangkaan internal atau yang diproyeksikan seputar mengejar kegembiraan, menenangkan suara-suara trauma yang membuat kehidupan sensual penuh kesakralan; menciptakan lebih banyak ruang untuk kegembiraan, keutuhan, dan gairah hidup (dan sedikit ruang untuk penindasan, penekanan, penyangkalan diri, dan penderitaan yang tidak perlu) dalam hidup; mengidentifikasi strategi di luar penolakan atau represi untuk menavigasi kegembiraan dalam hubungan dengan orang lain; dan mulai memahami pembebasan yang mungkin terjadi ketika secara kolektif berorientasi pada kegembiraan dan kerinduan.

Bonusnya adalah kesadaran sebagai aktivis kegembiraan! Brown adalah seorang sarjana dari Sekolah Octavia Butler yang menggunakan fiksi ilmiah sebagai kerangka kerja untuk aktivisme.

Dalam buku pertamanya Emergent Strategy (2017), dia berpendapat bahwa pengorganisasian untuk keadilan sosial adalah fiksi spekulatif: membayangkan masa depan yang baru dan mungkin, dan membangun dunia yang transformatif. Pleasure Activism memperdalam ide-ide Brown tentang aktivisme ketika ia berpendapat bahwa kegembiraan bisa menjadi bentuk perlawanan yang empatetik, sengit, dan kritis.

Refleksi Aktivisme
Dari dua penulis tersebut dan karya-karya mereka, dapat kita ambil hikmah bahwa menjadi aktivis itu tidak mudah. Ketika memilih menjadi aktivis, maka ada dimensi individual atau personal dan dimensi sosial bahkan ekonomi politik serta kultural yang harus dipertimbangkan. Terutama di dalam kehidupan masyarakat yang tingkat kolektifitasnya lebih tinggi ketimbang tingkat individualitasnya.

Menjadi aktivis di Indonesia itu lebih berat ketimbang menjadi aktivis di Amerika Serikat. Oleh sebab itu, apakah pernah seorang aktivis memikirkan, bahkan mampu melampaui ancaman, hambatan, gangguan, dan tantangan (AHGT) dalam aktivismenya? Jika tidak pernah berefleksi dalam aktivismenya, maka seorang aktivis akan mengira bahwa dirinya orang pintar dan cerdas, padahal tidak pernah tahu sesungguhnya bahwa menjadi aktivis itu pilihan. Bahkan untuk mengetahui dan memahami; kapan menjadi dan kapan tidak menjadi aktivis sejati.

*)Virtuous Setyaka
Dosen HI FISIP Unand,
Mahasiswa Doktoral FISIP Unpad, Mentor GSC Indonesia.

**) Gambar fitur oleh Flore W dari Pixabay

Next Post

Jurnalisme Wajah Baru di Media Cetak

Media cetak memang banyak yang sudah "gulung tikar" tetapi faktor penyebab tidak hanya karena kehadiran media online. Ada beberapa faktor lain, yaitu: manajemen yang buruk; tidak ada kreativitas menanggapi keadaan pasar; kualitas pemberitaan yang tidak berubah; ketiganya berkelindan saling mendukung.

bakaba terkait