Memilih Pemimpin di Tengah Pandemi

redaksi bakaba

Publik sepertinya membutuhkan dan perlu sesuatu yang dibenci karena keadaan yang tidak berubah, salah satunya pemimpin. Kecuali para pendukung sejak awal, biasanya akan menjadi bumper hidup-mati bagi bos besar yang sedang berkuasa.

mimilih pemimpin - Gambar oleh Mote Oo Education dari Pixabay
Gambar oleh Mote Oo Education dari Pixabay
Dr. Abdullah Khusairi, MA.
Dr. Abdullah Khusairi, MA

Memilih Pemimpin – Kita akan ke Tempat Pemungutan Suara (TPS) lagi. Kali ini dalam pesta demokrasi Pilkada Serentak 2020. Waktunya sudah ditentukan Komisi Pemilihan Umum (KPU), Rabu, 9 Desember 2020. Seharusnya bulan September, tetapi kita dihalau pandemi Covid-19, banyak hal harus ditunda karenanya, termasuk tahapan Pilkada.

Penundaan hingga Desember 2020 membawa perubahan peta politik para bakal calon. Para politisi membaca ada kesempatan untuk mengatur ulang strategi pemenangan, memilih pasangan calon, dukungan partai, juga pembacaan realitas politik di lapangan melalui survei demi survei, simulasi demi simulasi. Serta tetap aktif menebar asa dalam suasana pandemi.

Pasangan calon memang sudah lama diadu-adu tetapi belum benar-benar tuntas. Ada yang diadu-adu oleh tim sukses, oleh partai, oleh pihak-pihak yang benar-benar merasa perlu melakukannya. Lalu dipentaskan ke publik untuk menguji, mengirim sinyal, ibarat pembalap yang mencoba-coba lintasan sebelum benar-benar event balapan tiba.

Pasangan calon belum ditetapkan. Itu domain partai, perlu tanda tangan ketua partai pusat bersama koalisi yang mendapat titik temu kesepakatan politik. Seperti biasa sangat ditentukan pada detik-detik terakhir menjelang tutup pendaftaran ke KPU. Ketika itulah, akan tahu sebenarnya siapa akan berpasangan dengan siapa. Seterusnya, prediksi baru akan muncul, berbeda dengan sebelumnya.

Kaya Pengalaman

Kita sudah kaya pengalaman dengan Pilkada sejak 2004, selain pengalaman Pileg dan Pilpres. Rasanya baru kemarin, Pileg dan Pilpres 2019 digelar. Kini digelar lagi, serupa tapi tak sama. Ada partai, ada calon, ada lambang, ada gambar, ada mimpi, ada harapan, dst. Tiap sebentar kita ke TPS, guna menjalankan hak pilih sebagai warga negara yang baik dan punya cita-cita agar terpilih pemimpin hebat. Memilih pemimpin yang mampu merealisasikan seluruh janji hingga tercapainya kehidupan yang adil, makmur dan sejahtera.

Sejauh ini, baik kepala daerah yang unggul banyak dan unggul tipis dalam pemilihan, ketika telah mendapatkan kursi kekuasaan, selalu punya momen bagi publik melihat kelemahan-kelemahan yang berakhir dengan kekecewaan. Harapan-harapan yang dulunya pernah dijanjikan ternyata tidak mudah direalisasikan. Hampir setiap pemilihan, di seluruh tempat, ada momen di mana kebencian publik hampir menyeluruh sungguhpun itu adalah pilihan sendiri.

Publik sepertinya membutuhkan dan perlu sesuatu yang dibenci karena keadaan yang tidak berubah, salah satunya pemimpin. Kecuali para pendukung sejak awal, biasanya akan menjadi bumper hidup-mati bagi bos besar yang sedang berkuasa.

Siapapun itu, ketika terpilih nanti siap-siaplah akan dibenci oleh publik bila tidak mampu menjalankan amanat. Atau cari jalan dan mengajak agar publik membenci sesuatu bersama-sama, sehingga melupakan amanat yang sedang dipikul di pundaknya. Cara ini paling sering terlihat sebagai alasan klise untuk mengelak dan menutupi ketidakmampuan merealisasi janji-janji.

Kekecewaan biasanya muncul memasuki tahun ketiga, ketika benar-benar habis aroma bulan madu, pesona kemenangan, dan bagi-bagi kue kekuasaan. Ditambah lagi segera tiba tahapan suksesi periode berikutnya. Maka seluruh kekecewaan akan dihempaskan kepada pemimpin yang sedang berkuasa. Sekecil apapun, bagi pembenci, pendengung, tukang sorak, segera menjalankan aksinya melalui berbagai medium informasi yang tersedia.

Baca juga: Pilkada di Media Sosial

Kini yang paling kejam, melalui media sosial. Berdalil kebebasan berpendapat, kritis dengan keadaan, maka muncullah gerakan antipati terhadap penguasa yang juga sedang berjuang ingin menyatakan keberhasilan-keberhasilan kepemimpinannya. Keberhasilan kecil dibesar-besarkan, kelemahan ditutup-tutupi tetapi tersingkap juga. Semua itu demi modal untuk maju selanjutnya atau berselera untuk naik kelas pada suksesi di tingkat lain. Ambisi kekuasaan memang tak mudah dihentikan.

Begitulah fenomena yang terhidang di hadapan kita, di media sosial, media massa, di lapau-lapau percakapan online. Gaduh, riuh, setiap waktu bicara politik kekuasaan, aroma kepentingan, pengelompokan serta munculnya politik identitas. Hebatnya, publik politik sangat menikmatinya tanpa peduli dengan substansi demokrasi yang kian jauh dari sasaran.

Mulai Garing

Pelajaran penting dari pengalaman pemilihan umum kita adalah, ke TPS memilih menjadi rutinitas yang garing dan disadari tidak memiliki imbas penting bagi kehidupan mereka dalam jangka panjang seperti kualitas demokrasi, kemajuan negeri, kesempatan kerja, kesejahteraan, keadilan dan kemakmuran. Jika ada terasa imbas, itu tiada lebih ke TPS karena ada imbalan semisal selembar jilbab.

Ini merupakan kenyataan “demokrasi di tengah masyarakat yang masih lapar” pemahaman pentingnya ke TPS atas pertimbangan memilih karena kualitas kepemimpinan yang hendak dicari. Bukan karena selembar jilbab, bukan karena citra kesalehan, kedekatan psikologis, sosiologis, dst.

Siapakah yang wajib memberikan pendidikan serupa ini kepada jelata? Apakah ini dibiarkan sebagai rutinitas yang lama-lama menjadi kegiatan pembodohan?

“Kalau kita berpikir ideal, maka pemilihan langsung yang kian rutin ini memang sudah perlu ditinjau ulang. Tetapi begitu banyak yang marah dan menduga pikiran seperti itu, hendak mengajak kembali ke masa lalu. Ini bukan soal masa lalu, masa-masa mendatang kita juga akan buram jika membiarkan keadaan yang kita sangat tahu, akhirnya tidak terlalu baik. Substansi demokrasi kian jauh panggang dari api,” ungkap Dosen Hukum Tata Negara, Dr. Wendra Yunaldi, SH, MH suatu hari.

Memang ada pikiran, agar sukses kepala daerah dikembalikan ke DPRD setempat dari pada ongkos besar tetapi hanya mendapatkan kepala daerah dari oligarki partai politik yang berbasis keluarga, kolega, kelompok yang tidak didasarkan pada kapasitas, kapabilitas, kualitas, seseorang dalam memimpin. Sejauh ini, pikiran serupa ini belum kuat pula mendobrak tatanan yang sedang berjalan.

Baca juga: Negeri Pesta Para Politisi

Kini, hal paling mungkin dilakukan dalam suksesi kali ini, di tengah ancaman pandemi, suasana batin yang tak menentu, masih ada kesempatan untuk memilih pemimpin yang memberi harapan. Mulai sekarang, cari tahu jejak rekamnya dari sumber-sumber yang tepat. Jangan mudah percaya dengan segenap citra baik yang belum tentu sesuai dengan kenyataan nantinya.

Tak lama lagi, pesan-pesan politik pasangan calon segera datang aktif menemui kita. Gunakan telepon pintar di tangan, jangan mudah tergoda dengan kata-kata manis, cari informasi pembanding setiap pasangan calon secara lengkap. Kita butuh memilih pemimpin yang berkualitas, bisa membangkitkan keadaan pasca pandemi nanti.

Usaha kecil itu sangat besar maknanya satu periode kepemimpinan. Inilah proses demi proses yang begitu lamban menuju sebuah tatanan pemilihan umum yang berkualitas di esok hari. Entah generasi keberapa setelah kita. []

~ Penulis, Dr. Abdullah Khusairi, MA. Dosen Pengkajian Islam dan Komunikasi Massa di Jurusan Komunikasi Penyiaran Islam (KPI), Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi (FDIK) Universitas Islam Negeri (UIN) Imam Bonjol Padang.
~ Gambar oleh Mote Oo Education dari Pixabay 

Next Post

Nabi dan Spirit Keilmuan

Rasulullah tidak diragukan lagi adalah seorang guru dan pendidik yang ulung. Beliau adalah gurunya para guru, dan modelnya para model yang merupakan contoh ideal bagi umat manusia.
Masjid Nabawi yang di bangun Nabi Muhammad, S.A.W - Gambar oleh Konevi dari Pixabay

bakaba terkait