Nasib Sebuah Buku di Tengah Iklan Gadget Baru

redaksi bakaba

Jika datang pilihan, beli gadget atau beli buku, orang cenderung beli gadget. Bila ada pilihan beli buku atau beli baju, orang pilih beli baju. Begitulah nasib buku-buku, di tengah gempuran iklan-iklan gadget baru.

gadget versus buku - Image by klimkin from Pixabay
Image by klimkin from Pixabay
Dr. Abdullah Khusairi, MA.
Dr. Abdullah Khusairi, MA

Buku & Gadget –  “Buku bagus justru sangat paling sedikit dibaca,” ungkap Dan Brown dalam salah satu novelnya. Buku tersebut diduga terlalu serius dan kaku sehingga membuat orang tak dapat berimajinasi karenanya. Bukan pula buku yang tidak bagus, yang banyak dibaca tetapi buku yang mampu menghibur, menumbuhkan dan merangsang minat insani (human interest) pembacanya.

Membicarakan buku di tengah budaya baca yang rendah seperti hendak mengangkat batu besar seorang diri. Budaya di depan gadget berjam-jam telah menjauhkan kehidupan dengan buku. Kecuali bagi mereka penggila bacaan, haus pengetahuan, juga akademisi yang diwajibkan untuk menguasai bidang keilmuannya.

Entahlah, yang jelas data-data survei menyebutkan, Indonesia termasuk bangsa yang malas membaca. Survei Most Literate Nation In The World 2016 mengungkapkan, Indonesia berada di urutan ke-60 dari 61 negara soal minat baca. Di bawah Thailand (59) di atas Botswana 61.

Menurut survei Perpusnas 2017, frekuensi membaca orang Indonesia rata-rata tiga-empat kali per minggu dengan durasi 30-59 menit. Jumlah buku bacaan rata-rata hanya lima hingga sembilan buku per tahun. Ini menguatkan pendapat Seno Gumira Ajidarma (1999) dalam sebuah pidatonya, di negeri kami membaca hanya untuk mendapatkan kabar tentang diskon-diskon harga saja.

Buku Baru

Saya terkesima mendengar dan tak punya hak bicara dalam sebuah webinar yang membedah buku yang saya tulis, berjudul Teologi Informasi; Refleksi Wacana & Literasi Media (Portal Bangsa – bakaba.co – JBS: 2020). Tampil sebagai pembicara, Dosen Komunikasi Massa dan Budaya Universitas Islam Negeri (UIN) Imam Bonjol Padang, Dr. Sheiful Yazan, M.Si dan Ketua Jurusan Falsafah dan Agama Universitas Paramadina, Fuad Mahbub Siraj, Ph.D.

“Buku ini ditulis atas penjelajahan seorang jurnalis dengan pendekatan keilmuan yang dimilikinya secara formal. Menjadi luar biasa karena begitu luas cakupan tetapi memiliki benang merah teologis. Membacanya membuka cakrawala dan kesadaran kita sebagai masyarakat informasi pada hari ini,” ungkap Kang Iful, demikian kami akrab memanggilnya.

Baca juga: Nasib Singkat Pesan Pendek

Sementara itu, Fuad Mahbub Siraj menyatakan, buku ini bukanlah buku tentang teologi yang menguraikan secara rigit dan sistematis seperti di perguruan tinggi. Buku ini justru membicarakan informasi dari sudut pandang teologi. Sehingga terasa praksis, tidak lagi teoritis. “Ini buku yang renyah dibaca. Saya begitu cepat menamatkannya. Buku ini memberikan penyadaran, kita harus menyadari tentang bahaya pandemi kebodohan karena informasi. Buku ini salah satunya memberi petunjuk agar jangan pernah terbawa arus yang menyesatkan dari informasi yang dikonsumsi,” ungkap Fuad.

Sebagai penulis, saya mengucapkan terima kasih atas kritis dan saran pada webinar series Portal Bangsa Insitute ini. Sungguhpun pembicaraan melebar ke mana-mana dan kadang juga melompat dari konteks, saya makin meyakini, betapa teks sebuah buku selalu melahirkan penafsiran baru.

“Teologi Informasi, mendekatkan dua diksi yang tak pernah disangka orang sebelumnya. Kita berharap memberi pencerahan di tengah keadaan informasi dari medium ke medium mengalami distorsi yang amat pekat. Simulakrum kian pekat sejak terbukanya akses karena kemajuan teknologi informasi,” ujar Dosen dan Peneliti Sejarah Leiden University, Ajo Suryadi Sunuri, Ph.D.

“Akhir-akhir ini memang ada kecenderungan, fenomena sosial dipandang dari sudut teologis. Salah satunya buku ini. Teologi itu kajiannya bukan saja ilmu kalam, ilmu tauhid, tasawuf, aqidah akhlak, tetapi mencakup tentang alam, manusia, kemanusiaan, kedamaian, toleransi. Semua itu adalah terangkum jadi informasi yang memang mestinya memiliki sandaran spiritual,” ungkap Dosen Fakultas Ushuluddin UIN Imam Bonjol Padang, Dr. Faizin, MA. Ia sepertinya hendak menjelaskan, agar diksi teologis jangan ditakuti dan seakan-akan hanya persoalan ketuhanan semata.

Pemimpin Redaksi Harian Singgalang, Khairul Jasmi mengajak para akademisi untuk membangun dan menguasai arus wacana publik dan tidak membiarkan perkembangan wacana itu oleh orang-orang tak bertanggung jawab dan tak berkompeten. Atau digunakan orang-orang berkompeten untuk kepentingan politik kekuasaan, bisnis, dan segala macamnya.

“Kita di media massa hampir saja apatis melihat akademisi yang tak hendak ikut ambil bagian dalam tulis menulis di tengah publik. Hanya sedikit. Kalah banyak dengan wacana yang dimainkan orang-orang berkepentingan di media sosial. Menulislah,” ajak KJ, demikian kami menyapanya.

Pengalaman ujian promosi doktor Juli tahun lalu agak sama dengan kondisi webinar beberapa malam lalu. Bedanya, sebagai penulis tak perlu menjelaskan kembali apa yang telah ditulis di buku. Sedangkan dalam ujian promosi, selain masukan, kritik, pertanyaan, sebagai promovendus wajib menjawabnya secara singkat padat dan gamblang. Jawaban akan dinilai para profesor penguji.

KJ berharap pada webinar ini, membedah buku saya yang berasal dari disertasi, bukan buku kumpulan tulisan-tulisan yang berserakan di media massa. Draft buku itu memang sudah ada, tetapi masih dalam proses, mungkin tahun depan.

Nasib Buku

Diskusi dan bedah buku masih tetap dilakukan bagi para pencinta ilmu pengetahuan. Data survei di atas tadi seperti ingin menyatakan, buat apa menulis buku jika pembelinya kian sedikit. Orang memilih membeli gadget keluaran terbaru, baca saja berita online, buku versi pdf, dst. Informasi tidak ketinggalan, ilmu dapat, jadi buku bisa minggir dulu.

Di sinilah persoalan muncul, ketika kesadaran mengonsumsi informasi di media sosial, dunia maya, tidak dibarengi dengan pembacaan mendalam pada buku-buku sering membuat seseorang tanpa disadari terbawa arus kepentingan bacaannya. Kepentingan itu memang bersetuju dengan pendapatnya, lalu menumpulkan daya kritis terhadap informasi.

Inilah yang dikhawatirkan Fuad Mahbub Siraj, Ph.D, pandemi kebodohan. Pandemi kebodohan itu adalah kehilangan daya kritis menerima informasi dan ikut-ikut saja. Terpengaruh tak menentu, lalu share ke sana, ke mari. Hoax dan fakenews menyebar karena ini.

Baca juga: Cara Baik Melawan Gempuran Informasi

Siapa yang disalahkan? Hampir tak ada. Publik sudah punya pilihan, daripada buku lebih baik gadget. Sebab gadget punya daya prestise dan beli satu, dapat informasi banyak. Beda dengan beli buku, hanya satu tema saja. Apalagi bila kembali ke pendapat, membaca buku tebal melelahkan, menghabiskan waktu, beda dengan membaca yang perlu saja. Cari di internet, baca. Begitulah.

Bagi pencinta ilmu pengetahuan, buku adalah jendela ilmu, bukan gadget. Gadget dipandang sebagai teknologi informasi yang berguna tetapi tidak mampu menjawab keingintahuan secara mendalam. Bahasa lainnya, pendangkalan dan penumpulan nalar terjadi karena gadget. Itu terjadi bagi orang yang tidak menyadari bahaya informasi yang merasuki alam bawah sadarnya. Bagi yang mengerti, akan sulit, apalagi bagi pembaca buku, biasanya akan menggali kembali, melakukan kritik sumber, sumber yang tidak otoritatif akan ditinggalkan.

Punya gadget penting, buku lebih penting. Keduanya bisa menambah wawasan. Gadget bisa menyimpan buku digital tetapi alangkah malas membukanya. Membaca panjang-panjang di gadget jarang dilakukan. Jangankan buku, komentar panjang di bilik percakapan yang dishare saja, orang juga malas.

Jika datang pilihan, beli gadget atau beli buku, orang cenderung beli gadget. Bila ada pilihan beli buku atau beli baju, orang pilih beli baju. Begitulah nasib buku-buku, di tengah gempuran iklan-iklan gadget baru. Tanyalah pada diri sendiri, sudah berapa lama tak beli buku? Bila terakhir beli baju, berapa usia gadget di tangan? Ingat, gadget umumnya paling lama berumur dua atau tiga tahun. Setelah itu rusak dan hancur. Buku? bagi pencinta buku, buku akan terpelihara di rak yang tersusun rapi. Bertahun-tahun dan turun temurun.

Entahlah, budaya baca buku kini kian gawat di tengah gawai di tangan. Pandemi kebodohan yang dikuatirkan Fuad sepertinya menyebar tak tertahankan jika tak ada penyadaran sosial pentingya baca buku. Dan beli… (*)

~ Dr. Abdullah Khusairi, MA. Dosen Pengkajian Islam dan Komunikasi Massa di Jurusan Komunikasi Penyiaran Islam (KPI), Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi (FDIK) Universitas Islam Negeri (UIN) Imam Bonjol Padang
~Image by klimkin from Pixabay 

Next Post

Catatan Amal di Otak Kita

Di kulit otak yang berbentuk gulungan itu terdapat bagian yang mengontrol seluruh gerak tubuh manusia yang disebut wilayah motorik.
otak - Image by Gerd Altmann from Pixabay

bakaba terkait