Nabi Muhammad S.A.W dan Ilmu pengetahuan – Manakah yang lebih dulu perkembangan ilmu dalam Kristen atau Islam? Jawabnya, secara mutlak adalah Islam. Umat Kristen pada abad ke-16 masih buta dengan ilmu pengetahuan. Sementara dari abad ke-7 sampai ke-11 M, Islam telah tampil dengan keunggulannya dalam ilmu pengetahuan.
Islam adalah satu-satunya agama yang memberikan apresiasi tinggi terhadap ilmu. Terdapat ratusan hadits dan ayat al-Quran yang berhubungan dengan ilmu sebagai saksinya. Belum lagi dengan fakta sejarah tentang perjuangan (baca: jihad) Nabi Muhammad Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam dalam mengutamakan ilmu.
Rasulullah tidak diragukan lagi adalah seorang guru dan pendidik yang ulung. Beliau adalah gurunya para guru, dan modelnya para model yang merupakan contoh ideal bagi umat manusia.
Dr. James E.Royster dari Cleveland State University telah melakukan penelitian intensif tentang sisi hidup Rasulullah sebagai seorang pendidik yang mendorong setiap orang menuntut ilmu (Jurnal The Muslim World, 68, no.4, th.1978,hlm. 235-258). Dengan jujur Royster mengakui bahwa tidak ada seorang pun dalam sejarah hidup manusia yang memiliki banyak pengikut dibanding Nabi Muhammad Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam.
Royster menyentil orang-orang non-muslim yang seringkali melupakan kenyataan ini. Hal yang tidak kalah penting dari kesimpulan penelitiannya adalah bahwa Nabi Muhammad tidak hanya sebagai guru bagi generasi pada
masanya saja. Tetapi juga untuk seluruh umat Islam hingga saat ini. Intinya adalah bahwa sang guru itu adalah Nabi Muhammad SAW dan murid-muridnya adalah seluruh kaum muslimin. Rasulullah SAW mengajarkan al-Qur’an dan sunah yang menjadi pegangan umat Islam.
Pendidikan Cara Nabi
Sebagai pendidik, Nabi tidak mengelola pendidikan formal, namun jenis pendidikan yang bersifat fleksibel. Sasarannya adalah untuk pembinaan jiwa, intelektual, dan moral melalui bimbingan wahyu. Sebelum Rasulullah mendirikan masjid, satu-satunya tempat yang dijadikan pusat pembelajaran adalah rumah Al-Arqam. Di rumah itulah Nabi mengajarkan dan menjelaskan doktrin ilahiah tentang keimanan (tauhid).
Wahyu yang disampaikan Nabi mengandung ajaran untuk pencerahan dan pencerdasan umat manusia. Wahyu pertama dalam surat Al-’Alaq (perintah untuk membaca) yang diturunkan kepada Rasulullah SAW terbukti telah mengubah wajah peradaban manusia dari kebodohan, keterbelakangan menjadi berperadaban mulia di bawah sinaran wahyu.
Pengakuan tulus dikemukakan oleh Bayard Dodge, sarjana Barat non-muslim, ahli sejarah pendidikan Islam, dalam bukunya Muslim Education in Medieval Times (1962) yang menulis: In the midts of this primitive culture, Muhammad’s call to prophethood was like the planting of a seed, destined to blossom as the intellectual heritage of Islam (Di tengah-tengah budaya primitif itu, dakwah kenabian Muhammad SAW bagaikan penyebaran benih yang ditakdirkan berkembang menjadi warisan kecendikiawanan Islam).
Baca juga: Sikap Muhammad S.A.W dan kaum Pagan terhadap Tempat Ibadah
Nabi Muhammad juga menunjukkan kepedulian yang besar dalam memberantas iletarasi (buta huruf). Misalnya, saat kaum muslimin meraih kemenangan dalam Perang Badar (tahun 624), beliau meminta beberapa orang tawanan yang terpelajar untuk mengajar baca-tulis anak-anak Madinah. Nabi juga menunjuk beberapa orang sahabat beliau menjadi guru, seperti: ‘Ubaida ibn al-Samit yang diangkat sebagai guru di sekolah Suffa di Madinah untuk pelajaran menulis dan studi Al Qur’an. Sejarawan Islam ada yang memandang Suffa sebagai “universitas” Islam pertama. Suffa juga berfungsi sebagai pondok penampungan bagi para pendatang baru dan penduduk setempat yang belum memiliki rumah sendiri.
Melalui pesan beliau ballighu ‘anni walau ayah, Nabi mendorong masyarakat menyampaikan kepada sesama segala hal yang mereka dapatkan dari beliau walaupun hanya satu ayat. Nabi berhasil membentuk masyarakat yang aktif belajar (learning society) yang menempatkan agama sebagai elemen pokok untuk kebutuhan spiritual dan intelektual.
Transformasi kekuatan ajaran yang dibawa Rasulullah tidak hanya melahirkan para ulama besar, namun juga orang-orang jenius di berbagai disiplin ilmu. Ibnu Nafis (ahli kedokteran) adalah penemu sirkulasi darah 300 tahun sebelum Servet dari Eropa. Ibnu Majid seorang ahli kelautan yang menjadi inspirator Vasco Da Gama untuk menemukan Calcutta. Abdul Qasim adalah penemu TBC tulang punggung, 7 abad sebelum ditemukan oleh Percivall Pot (1713-1788).
Dalam bidang matematika tidak ada yang tidak kenal dengan ahli seperti Zero, Al Gebra, dan Al Goritma. Begitu juga dengan pakar seperti Chemistry, Alcohol, Alkali, Elixir dalam bidang Kimia. Zenith, Azure, Azimuth, Gibraltar, Elimate dalam bidang geografi.
Para ilmuwan muslim telah mampu menangkap spirit untuk bersungguh-sungguh mencari ilmu seperti yang diajarkan Nabi. Mereka juga tidak mendikotomikan antara wahyu dan alam, serta wahyu dan akal. Sejarah perkembangan ilmu dalam Islam telah menunjukkan adanya hubungan harmonis dan dialektika antara ilmu agama dan non-agama.
Berkembangnya ilmu-ilmu agama lebih awal adalah isyarat bahwa manusia dengan segala peradabannya harus hidup di atas landasan agama yang kokoh.
Kini, jika umat Islam menyatakan tengah melaju mengejar ketertinggalan, maka Pendidikan Islam mulai dari Ibtidaiyah (sekolah dasar) hingga perguruan tinggi harus benar-benar melepaskan pandangan dikotomis dalam memandang ilmu pengetahuan. Alergi terhadap Eropa juga harus dikikis sebab mereka telah mengakui berutang budi kepada umat Islam yang telah mengeluarkan mereka dari lumpur kegelapan di Abad Pertengahan. Karenanya, ketika pelajar muslim datang ke Amerika untuk belajar, pada hakikatnya untuk menjemput “permata” milik Islam yang sementara “dipinjam” oleh Eropa.
Penulis, Irwandi, Dosen IAIN Bukittinggi, E-mail: irwandimalin@gmail.com