Presiden Jokowi-wawancara-setneg gallery photo courtesy

KIM ya Gitu, Trus Mau Apa?”

KABINET Indonesia Maju (KIM) 2019-2024 telah selesai disusun dan diumumkan Presiden Republik Indonesia Joko Widodo atau Jokowi pada Rabu, 23 Oktober 2019. Hal itu mengakhiri seluruh spekulasi yang dibincangkan banyak orang, baik secara langsung maupun di berbagai forum di media sosial.

Setelah itu, maka pertanyaan yang muncul adalah mengapa begitu? Termasuk sebuah pertanyaan yang disampaikan oleh Baim, seorang pedagang Cwie Mie di Kota Bandung ke saya: “Menurut Abang gimana?”.
Jawaban saya sederhana saja, untuk pertanyaan mengapa begitu susunannya atau mengapa orang-orang itu yang dipilih Jokowi, maka harus dipahami itu hak prerogatif presiden. Meskipun tidak sesederhana itu, namun apakah kita bisa mengetahui dan memahami secara persis dan detil strategi dan taktik Jokowi sebagai politisi?

Menilai KIM?

Sudah beredar di masyarakat umum isi dari susunan Kabinet Indonesia Maju itu, terdiri dari 38 orang yang berasal dari 21 orang (55 %) dengan latar belakang profesional, sisanya 17 orang (45 %) dari partai-partai politik dengan rincian: dua Gerindra, lima PDIP, tiga Golkar, tiga Nasdem, tiga PKB, dan satu PPP.

Melihat angka-angka tersebut, maka menurut Penulis dapat dijelaskan sebagai berikut:

(1) Jokowi lebih banyak memilih para profesional ketimbang para politisi. Itu menunjukkan bahwa Jokowi lebih nyaman bekerja dengan para profesional ketimbang para politisi;

(2) Jokowi hanya “menggunakan” 17 orang dari enam parpol yang ada, sehingga jika Jokowi dianggap “berhutang” pada parpol, hanya kepada enam parpol tersebut yang “dihitung”nya dengan parpol “mantan oposisi” hanya Gerindra;

(3) ada 20 orang baru di Kabinet Indonesia Maju, dan 18 orang lama dari kabinet sebelumnya, dengan demikian Jokowi lebih suka bekerja dengan orang-orang baru ketimbang orang-orang lama meskipun yang lama tersebut hasil seleksi yang ketat juga.

Beragam isu besar yang mengiringi setiap posisi menteri dalam Kabinet Indonesia Maju diantaranya adalah; (1) isu deideologisasi Pancasila yang tentu saja ini membahayakan Indonesia sebagai negara-bangsa. Hal itu juga terkait dengan isu radikalisme dan intoleransi; 

(2) isu perseteruan antara manusia dengan teknologi ketika teknologi justru semakin berkembang dan maju. Hal itu juga berlanjut pada isu kedaulatan digital, serta ancaman pengangguran dari buruh-buruh atau tenaga kerja manusia yang tergusur penggunaan tenaga kerja teknologi; 

(3) isu keuntungan pendapatan negara dari industri pariwisata yang rendah; 

(4) isu pertumbuhan ekonomi yang rendah dan tidak efisien. Hal itu juga terkait dengan ancaman resesi, investasi dan pertumbuhan ekonomi yang tidak nyambung, pasar biaya tinggi, dan deindustrialisasi; 

(5) selain itu juga isu-isu pengaruh pengaruh geopolitik Indonesia yang rendah ke luar negeri, termasuk isu-isu penegakan hukum dan HAM yang rendah, juga sinkronisasi dan harmonisasi kerja-kerja kabinet, dan permasalahan lainnya yang diharapkan segera dituntaskan. Oleh sebab itu, mari kita berikan kesempatan kepada KIM untuk bekerja dan membuktikan kinerja terbaiknya.

Baca juga: Berebut Kursi Menteri

Merespon KIM?

Tentu saja tidak mudah untuk memuaskan keinginan semua pihak. Termasuk ketika Presiden Jokowi dalam menyusun dan akhirnya mengumumkan susunan Kabinet Indonesia Maju. Bahkan, artikel opini ini yang mencoba untuk memberikan analisis terbaik atas KIM tersebut, juga tidak mudah memuaskan ekspektasi pembaca.

Namun ketika kita terus menerus merasa dikecewakan setelah terus menerus berspekulasi atas susunan kabinet Jokowi di periode kedua kepemimpinannya atas republik ini, apa sesungguhnya yang bisa dipelajari?

Pertama dan yang terpenting adalah ketika kita sebagai warga negara berkesadaran untuk berpolitik dengan berbagai cara, termasuk melalui gerakan sosial, maka yang harus dilakukan adalah terus menerus berpihak kepada Rakyat atau orang banyak, dan kepada Republik ini sebagai sebuah negara-bangsa yang telah diciptakan dan dilahirkan melalui sejarah panjang dan berdarah-darah oleh para pendiri Republik.

Keberpihakan kepada Rakyat dan Republik berarti terus memperjuangkan seluruh aspek kehidupan bersama atau bergotong-royong untuk mewujudkan keadilan sosial sejati berdasarkan ideologi yang telah disepakati; Pancasila.

Kedua, jika Rakyat harus dimenangkan melalui Republik untuk menegakkan keadilan sosial dan sebagainya, mulailah berbaris dalam memperjuangkannya.

Berbaris dalam perjuangan artinya bahwa bergotong-royong dan berpancasila itu mesti diorganisasi sedemikian rupa, agar perjuangan tidak hanya bersifat karitatif dan selalu menjadi ‘tisu toilet’ yang digunakan untuk membersihkan kotoran-kotoran dari semua kebijakan pemerintah dan perilaku warga negara lainnya terutama dalam berbisnis secara korporatif yang justru menghasilkan bencana bagi seluruh Rakyat Indonesia.

Ketiga, ketika kita mengaku berkesadaran politik yang baik bahkan mau berpolitik secara praktik dalam berbagai bentuk, maka jangan pernah berlarut-larut untuk mengikuti apalagi terlibat langsung dan terus menerus dalam dinamika politik elit ketika kita tidak pernah mampu mengambil posisi dan memainkan peran signifikan untuk mengendalikan keadaan.

Sebab perjuangan Rakyat melalui Republik ini membutuhkan kekuatan politik yang nyata dengan dukungan kekuatan ekonomi dan kebudayaan Oleh sebab itu, ketimbang terus menerus menimbun kekecewaan sambil terus menerus mencaci maki, sebaiknya kita segera mengorganisasi diri untuk memperkuat daya tawar politik, ekonomi, dan kebudayaan.

Mengharapkan perubahan progresif apalagi revolusioner secara sistemik kepada elit politik tanpa pernah melakukan pengawalan bahkan pengelolaan kekuatan dan kuasa politik, ekonomi, dan budaya nyata dalam barisan perjuangan adalah omong kosong.

Ayo fokus kembali membangun kesadaran dan kekuatan dalam barisan perjuangan, bukan selalu berharap pada pepesan kosong kalau ‘nasib lagi mujur’, tapi karena kita berbaris menyusun agenda dan memperjuangkan perubahan secara nyata.

Setiap orang adalah intelektual, setiap orang adalah politisi, maka berpolitiklah dengan bergerak yang cerdas dan terorganisasi, jangan berserak dan hanya dimobilisasi. Salam progressif!

Penulis, Dosen HI FISIP Unand, Mahasiswa Doktoral FISIP UNPAD, Mentor GSC Indonesia.
Foto fitur Presiden Jokowi wawancara dengan latar anggota kabinet dok. setneg gallery photo