Berebut Kursi Menteri – Puncak dari proses demokrasi lewat pemilu 2019 lalu berakhir dengan klimaks: dilantiknya Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden K.H Ma`ruf Amin, Minggu 20 Oktober 2019. Poros berikutnya, kabinet yang terdiri dari para menteri-menteri sebagai pembantu presiden ditunjuk dengan berbagai pertimbangan, baik kemampuan maupun –mungkin– bargaining politik.
Secara konstitusi, pasal 17 UUD 1945 memberikan hak prerogatif kepada presiden untuk menunjuk para menteri yang akan membantunya dalam menjalankan mandat rakyat lewat Pilpres.
Konsolidasi
Hal menarik, peristiwa paling mutakhir itu adalah terjadinya konsolidasi Jokowi-Prabowo, yang hampir pasti akan mendapatkan “jatah” di kabinet.
Salahkah itu? Jelas tidak, karena di satu sisi sebagai bagian dari rakyat Indonesia yang sudah muak dan bosan melihat hampir dua tahun terakhir bangsa ini seakan terbelah antara kubu “cebong” dan kubu “kampret” sebagai polarisasi pendukung dua pasang Capres.
Pertemuan pasca Pilpres di atas MRT Jakarta dan berakhir makan siang antara Jokowi dan Prabowo serta beberapa pertemuan lainnya termasuk hadirnya Prabowo dan Sandiaga Uno saat pelantikan, menunjukkan seteru dua kubu berakhir dengan happy ending dan saling berangkulan. Kita senang dan bersyukur karena para anak bangsa kembali bersatu membangun bangsa dan negara ini secara bersama (ingat tagline “bersama kita bisa”).
Senin (21/10) Presiden Jokowi mulai memanggil para calon pembantunya ke Istana dan publik sedikit kaget karena kubu Prabowo ikut dipanggil ke istana (sebenarnya tidak terlalu kaget karena tanda-tandanya sudah ada dari sinyal yang ada).
Terus masalahnya apa? Secara aturan ketatanegaraan dan hukum, jelas tidak ada yang dilanggar kalau kubu Prabowo masuk menjadi bagian kabinet ke depan. Yang ada adalah secara etika dan fatsun politik tidaklah sangat pas saja karena merujuk saat Pilpres lalu dua kubu ini berhadap-hadapan.
Baca juga: Kabinet Kompromi Elit
Malah ada korban, baik fisik maupun yang berakhir di penjara karena diduga mau makar atau menyebarkan kebencian, termasuk meninggalnya ratusan penyelenggara pemilu karena kelelahan.
Benar, dalam politik ada adagium “tiada lawan yang abadi, yang ada hanya kepentingan –yang abadi” tapi merapatnya setelah perang secara politik yang melelahkan tiba-tiba berakhir dalam pangkuan pemenang. Di sini, rasanya ada yang janggal dan terkesan bagi-bagi “kue” kekuasaan.
Jika alasan ingin membangun negara, maka berbuat baik untuk rakyat dan bangsa jelas di mana dan dalam posisi apapun tetaplah bisa termasuk menjadi rakyat yang baik dan patuh pada hukum juga merupakan perbuatan yang mulia.
Berada di luar kabinet juga terhormat , dengan menjalankan fungsi pengawasan di parlemen atau menjadi oposisi yang konstruktif dan solutif bagi kepentingan bangsa dan negara ke depan.
Berebut Kursi Menteri
Kenapa menjadi bagian kabinet seakan menjadi seksis sekali dan menjadi begitu berharga bagi partai politik termasuk yang tidak ikut berdarah-darah dalam Pilpres lalu ataupun juga bagi Parpol pengusung.
Teka-teki berapa jumlah menteri yang didapat masing-masing Parpol seakan-akan begitu penting dan berada di luar kekuasaan seakan tidak bisa apa-apa. Padahal bercermin dari PDI Perjuangan selama 10 Tahun berada di luar pemerintahan (oposisi), akhirnya berakhir menjadi pemenang pemilu 2014 lalu.
Termasuk berhasil menjadikan kadernya Presiden. Pada, sejak zaman Presiden SBY sudah beberapa orang menteri kader PDI Perjuangan yang tersandung kasus hukum, malah ada yang sudah menjalani hukuman, dan belum termasuk yang diduga bermasalah.
Khusus pada periode pertama presiden Jokowi, dua menteri PDI Perjuangan pun berakhir jadi tahanan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Atau seperti bisik-bisik di luaran, berada di luar kekuasaan akan berakibat “kekurangan gizi”.
Jika begitu, hanya rumput bergoyang yang bisa menjawabnya. Mudah-mudahan, siapapun yang diberikan mandat oleh Presiden Jokowi benar-benar amanah menjalankan tugas dan sebenar-benarnya bekerja untuk kepentingan rakyat, bangsa dan negara tercinta ini. Amiin. (*)
Penulis, Dr. Wendra Yunaldi, S.H., M.H., Dosen Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Sumatera Barat
Foto fitur koleksi Sekretariat Negara