Diskusi Warga: Seniman Dipinggirkan di Bukittinggi

redaksi bakaba

Kesenian juga berhak hidup, jangan hanya pembangun fisik dan pacu kuda yang diperhatikan walikota.”

Diskusi Forum Warga Kota foto courtesy fb Eril Anwar
Diskusi Forum Warga Kota foto courtesy fb Eril Anwar

bakaba.co | Bukittinggi | Bukittinggi yang digadang-gadang sebagai Kota Wisata sampai saat ini tidak memiliki platform, program yang berpihak kepada masyarakat kesenian. Seniman, warga kreatif kota selalu dipinggirkan. Bahkan, satu-satunya fasilitas insan seni yakni Medan nan Balinduang, sebuah bangunan yang sederhana, tahun 2018 dirubuhkan Pemko tanpa ada bangunan pengganti sampai kini.

“Ke depan, para seniman, warga kreatif dan pelaku seni berharap Pemda Bukittinggi lebih membuka mata. Sumber daya di bidang kesenian di Bukittinggi cukup banyak. Kesenian juga berhak hidup, jangan hanya pembangun fisik dan pacu kuda yang diperhatikan walikota.”

Demikian antara lain masalah yang mencuat dalam ‘Silaturahmi dan Diskusi Warga’ dengan topik ‘Peran Seni(man) bagi Masa Depan Bukittinggi Kota Wisata’, yang digelar Forum Warga Kota (Forwako) Bukittinggi di Cafe Laku, Jl. Guru Hamzah, Bukittinggi, Sabtu, 14 Maret 2020.

Diskusi warga kota diikuti para insan seni dari berbagai cabang kesenian. Forwako menghadirkan pemantik diskusi: Dedy Yerza, Ketua Dewan Kesenian Bukittinggi, Asril, SE, anggota DPRD Bukittinggi dan Moch. Abdi, SE., MM., dosen Fakultas Pariwisata UMSB Bukittinggi. Diskusi berlangsung sekitar dua jam, dimoderatori Yovandri Riki, penggagas Diskusi Warga.

Dalam sesi awal diskusi, Ketua Dewan Kesenian Bukittinggi Dedy Yerza memaparkan ‘nasib malang’ pelaku seni di kota Bukittinggi. Lembaga yang mewadahi seniman mitra Pemda di bidang seni yakni Dewan Kesenian di waktu Walikota Djufri dan Ismet Amzis hidup karena ada SK Walikota yang melegalkan. Di masa Walikota Ramlan Nurmatias, Dewan Kesenian Bukittinggi yang masa kepengurusan sudah berakhir tahun 2016, dibiarkan matisuri.

“Sudah empat tahun seniman mengurus ke pemko agar Dewan Kesenian dihidupkan, diperbarui SK-nya, sampai hari ini tidak digubris,” cerita Dedy Yerza.

Dimandulkannya organisasi seniman, Dewan Kesenian, para pelaku seni otomatis terkendala dalam mengusulkan program secara formal ke Pemko Bukittinggi. Pelaku seni di Bukittinggi yang mestinya bisa bersama, bersatu aktif menghidupkan kota wisata di kegiatan seni, jadinya jalan sendiri-sendiri.

Bahkan ketika ada sanggar seni Bukittinggi diundang KBRI Perancis dan KBRI UNESCO untuk mengisi program Bulan Indonesia, September 2019 di Paris, tidak ada sedikitpun perhatian dan support dari pemko Bukittinggi.

“Begitulah fakta yang terjadi dan dialami seniman, pelaku seni di Bukittinggi. Jika harus disebut, sudah lelah kita berurusan dengan pemerintah kota sekarang,” ujar Dedy Yerza, seniman musik senior di Bukittinggi.

Luput dari Penglihatan

Anggota komisi 2 DPRD Bukittinggi Asril dari sisi legislatif memaparkan, mekanisme pengajuan program dan anggaran APBD kota penting diketahui para pelaku seni. “Secara prosedur, pengajuan anggaran dari lembaga masyarakat terbuka yang dilakukan melalui Musrenbang kelurahan,” kata Asril dan mencontohkan, untuk APBD tahun 2021 sudah diusulkan paling lambat akhir Maret 2020 ini.

Terkait masalah tidak adanya perhatian dan support Pemerintahan Kota Bukittinggi terhadap masyarakat pelaku seni, Asril terus terang menyatakan, tidak mengetahui persoalannya secara pasti.

“Sebagai anggota badan anggaran, selama ini saya tidak pernah melihat dan membaca adanya usulan program dan anggaran dari Dewan Kesenian dalam RAPBD kota,” kata Asril, yang sudah dua periode jadi anggota DPRD dari Partai Nasdem.

Asril menginformasikan, kegiatan masyarakat seperti Marching Band SD saja bisa dianggarkan di APBD kota Bukittinggi. Setiap tahun dianggarkan ratusan juta rupiah. “Saya hanya bisa mengatakan, rekan-rekan seniman ajukanlah proposal program yang jelas, nanti saya coba kawal. Jangan melewati penjadwalan perencanaan anggaran Pemko,” ujar Asril.

Lebih jauh Asril mengatakan, kota Bukittinggi sebagai kota wisata membutuhkan adanya kegiatan seni dan budaya. Persoalan diruntuhkan Medan nan Bapaneh sebagai fasilitas tempat tampilnya sanggar seni setiap malam, diakui Asril bahwa DPRD setuju diruntuhkan karena tempat itu tidak representatif. “Masalahnya, setelah diruntuhkan belum ada penggantinya,” kata Asril.

Milik Masyarakat

Di bagian lain, Moch. Abdi sebagai pemantik ketiga memaparkan perbandingan suasana kota Bukittinggi di bidang kesenian. Tahun 2000-an katanya, Bukittinggi semarak dengan berbagai acara dan aktivitas seni.

“Beberapa tahun belakangan, kita lihat tidak lagi semarak. Contoh kecil, dulu di Jam Gadang saya melihat seniman melukis wajah, potret pengunjung secara langsung. Itu sesuatu yang khas dan menarik,” kata Abdi.

Sebagai pengamat bidang pariwisata Abdi berpendapat, sebuah kota kunjungan wisata, Bukittinggi mestinya memiliki agenda seni budaya yang banyak, jelas, pasti dan bermutu. Label Bukittinggi Kota Wisata yang sudah dicanangkan sejak 1984, tidak terlihat dalam program dan kegiatan Pemko.

“Pelaku seni adalah bagian penting pada kota yang menyatakan unggulannya sektor pariwisata,” tutur Abdi, yang juga dosen pada Fakultas Pariwisata UMSB Bukittinggi itu.

Moch. Abdi menyatakan, sebuah kota tidak hanya milik government, pemerintah. Masyarakat dengan berbagai profesi dan kelompok, juga berhak atas kota tempat mereka berada. “Dengan begitu, program kota tidak bisa hanya diisi bagaimana maunya pemerintah. Masyarakat juga dilibatkan, termasuk pelaku seni,” kata Abdi.

Perasaan Terdalam

Dalam sesi tanggapan, para seniman, pelaku seni membongkar perasaan terdalam yang mereka hadapi. Pimpinan Sanggar Seni Gastarana Zami Sofa, menceritakan pengalaman pahit tidak adanya perhatian dan dukungan Pemko ketika Gastarana diundang tampil di Perancis dalam event Bulan Indonesia atas undangan KBRI Paris. Gastarana tampil dalam forum seni terkait akan ditetapkannya Silek sebagai Warisan Budaya tak Benda oleh UNESCO. Hanya ada empat wakil propinsi dari Indonesia yang tampil, Gastarana dari Bukittinggi.

“Sungguh, kami merasakan beratnya perjuangan untuk bisa memenuhi undangan dan kesempatan itu. Pemko tidak ada men-support, membantu. Kami, sampai sekarang masih harus melunasi beban pinjaman. Mau rasanya berusaha yang lain saja, membuka kolam ikan saya coba. Tetapi, profesi kesenian ini tidak mudah meninggalkannya,” tutur Zami Sofa, yang akrab dipanggil Os Gastarana.

Lebih Penting Parkir

Seniman musik, Rapper Tommy Bolin dalam tanggapannya dengan lugas mengatakan, Pemko tidak menganggap penting seniman karena tidak memasukkan uang. Kesenian hanya uang keluar. “Lihatlah, tempat satu-satunya seniman dan pelaku seni berkiprah diruntuhkan dan dijadikan gedung parkir. Parkir ‘kan uang masuk ke kas Pemda,” tutur bang Tombol, Tommy Bolin dengan logat khasnya.

Tidak cuma bangunan pertunjukan seni Medan nan Bapaneh yang diubah jadi gedung parkir, gedung bioskop Gloria pun dijadikan gedung parkir sepeda motor. Tommy berharap walikota ke depan belajar melihat yang tersirat, jangan hanya yang tersurat.

“Seniman itu, dengan seni yang dimainkan bisa mendatangkan orang ke Bukittinggi. Lalu, pengunjung akan menginap di hotel, berbelanja kuliner, nah Pemda bisa dapat uang pajak dari pengunjung itu. Pasti itu, tujuh angka itu bro,” kata Tommy Bolin, yang salah satu lagu rap-nya ‘Maleh Se Den Nyeh’.

Ekosistem Kesenian

Bukittinggi masa datang dalam konteks pariwisata dan seni menurut Asraferi Sabri, butuh kesadaran kolektif Pemda, pimpinan kota dan masyarakat yang terkait dengan potensi kota. Seni, kesenian tidak bisa dilepaskan dari manusia, masyarakat. Seni berperan membentuk manusia memiliki peradaban dan beradab.

“Ketika sebuah kota, pemimpinnya tidak memiliki kesadaran atas pentingnya seni, kita harus curigai karekteristiknya. Jangan-jangan tidak beradab, mudah-mudahan tidak begitu,” kata Asraferi Sabri, yang tahun 2003 memprakarsai berdirinya Dewan Kesenian Bukittinggi.

Lebih jauh Asraferi menyampaikan, Kota Bukittinggi ke depan perlu membangun ekosistem kesenian yang benar. Adanya ekosistem kesenian di Bukittinggi, semua pihak yang terkait dengan program pariwisata dan seni akan ikut menciptakan iklim kreatif yang sehat dan produktif.

“Dalam suatu ekosistem, semua pihak penting dan tidak ada yang merasa lebih penting dan menentukan. Sekarang, ketika tidak ada ekosistem kesenian, ada pihak yang merasa berkuasa dan menentukan semuanya,” kata Asraferi.

Forum Diskusi Warga menurut penggeraknya, akan coba terus digulirkan dengan tema diskusi yang lain. Posisi forum independen, tidak berpihak ke satu kelompok atau figur tertentu. “Sekarang mulai musim pilkada, semua calon pemimpin kota akan diberi ruang dan tempat yang proporsional di setiap diskusi,” kata Yovandri Riki.

Pada legaran perdana diskusi warga Forwana, semua figur yang muncul dalam kontestasi pilkada Bukittinggi diinformasikan. Kebetulan, yang bisa hadir baru dua orang: Muhammad Fadhli dan Fauzan Haviz.

~ aFS/bakaba

Next Post

Kabau nan Tigo Kandang

julukan Kabau nan Tigo Kandang dan rasa bangga yang berlebih-lebihan merupakan sebuah penyimpangan dari adat Minangkabau. Sekaya-kaya orang Minangkabau dia akan pandai menyurukkan kuku.
Gambar oleh Ian Lindsay dari Pixabay