bakaba.co, – Harimau nan Salapan, delapan orang ulama penting dari Agam Tuo di zaman pergerakan Perang Tuak dan ‘pemurnian Islam di Minangkabau’ dan perlawanan terhadap kolonial Belanda, semakin dikaburkan.
Salah satunya terbaca dalam tulisan/buku ‘Minangkabau Dalam Catatan Sejarah yang Tercecer’ yang ditulis Ampera Salim, Zulkifli (Citra Budaya, 2005).
Dalam buku tersebut penulis memaparkan bahwa Harimau Nan Salapan adalah sebutan untuk pimpinan beberapa perguruan yang tersebar di nagari yang ada dalam Kerajaan Pagaruyung, yang kemudian menjadi pemimpin dari Kaum Padri.
Ditulis juga, Harimau Nan Salapan karena jumlah anggotanya delapan orang. Mereka adalah: Tuanku Nan Renceh, Tuanku Pasaman, Tuanku Rao, Tuanku Tambusai, Tuanku Lintau, Tuanku Mansiangan, Tuanku Pandai Sikek dan Tuanku Barumun.
“Ulama yang dikenal dengan Harimau nan Salapan semuanya berasal dari Agam Tuo. Tidak ada dari daerah lain,” kata H. Asbir Dt. Rajo Mangkuto, 82 tahun, dalam perbincangan dengan bakaba.co
Tokoh-tokoh Harimau nan Salapan yang benar kata Dt. Rajo Mangkuto adalah 1. Tuanku nan Renceh (Kamang), 2. Tuanku Kubu Sanang (Pasia, Ampek Angkek), 3. Tuanku Ladang Laweh (Banuhampu), 4. Tuanku Padang Lua (Banuhampu), 5. Tuanku Galuang (Nagari Sungaipua), 6. Tuanku Koto Ambalau (Canduang Koto Laweh), 7. Tuanku Lubuk Aua (Batu Balantai, Canduang) dan 8. Tuanku Biaro (Biaro, Ampek Angkek)
Tidak hanya penulis Ampera Salim, Zulkifli, bahkan penulis A.A. Navis dalam buku ‘Alam Takambang Jadi Guru’ menulis bahwa pemimpin Harimau nan Salapan adalah Tuanku Mansiangan. Dalam aktivitas, yang menonjol Tuanku nan Renceh.
Begitu juga dalam buku ‘Tuanku Rao: Antara Fakta dan Khayal”, 1974, yang ditulis Mangaradja Onggang Parlindungan Siregar menempatkan Tuanku Haji Miskin sebagai seorang anggota Harimau nan Salapan.
Dari nama-nama yang disebut dalam buku ‘Minangkabau Dalam Catatan Sejarah yang Tercecer’ kata Asbir, hanya satu nama yang benar yakni Tuanku nan Renceh. Tujuh Tuanku yang lain bukan anggota Harimau nan Salapan.
Menurut Asbir Dt. Rajo Mangkuto yang menulis buku ‘Direktori Minangkabau‘, Tuanku Mansiangan berasal dari Mansiangan, Nagari Paninjauan, IX Koto, Tanah Datar. Bahkan, Tuanku Mansiangan ada dua orang. Tuanku Mansiangan nan Tuo, dan kemenakannya Tuanku Mansiangan nan Mudo. Nama lain dari ulama asal Paninjauan ini adalah Tuanku Pamansiangan.
Sementara Haji Miskin, berasal dari Pandai Sikek, Tanah Datar, tidak termasuk sebagai anggota Harimau nan Salapan. Haji Miskin, juga Haji Sumaniak dan Haji Piobang adalah pelatih di sekolah kadet, militer, yang didirikan Tuanku nan Renceh di Bansa, Kamang.
“Menulis sejarah berkaitan suatu peristiwa serta pelaku sejarahnya bukanlah pekerjaan ringan dan tidak bisa disederhanakan. Perlu kecermatan, ketelitian sehingga sejarah tidak kabur atau salah,” kata Asbir Dt. Rajo Mangkuto.
Gerakan Radikal
Gerakan para tokoh ulama, kaum adat di Minangkabau antara tahun 1803 sampai 1844 ditulis dalam banyak versi sehingga sejarah jadi kabur. Dalam rentang waktu 41 tahun itu disimpulkan sebagai Perang Paderi. Istilah Paderi, yang diciptakan Belanda dengan merujuk pada sorban yang dikenakan para ulama. Ulama dijadikan simbol sentral sebagai pihak yang memerangi kaum adat, dan yang melawan kolonial Belanda.
Harimau nan Salapan dikenal berkaitan dengan gerakan ‘pemurnian agama Islam’ di Minangkabau antara tahun 1809-1821. Gerakan mereka dalam kurun waktu itu tidak berkaitan dengan Perang Paderi. Tetapi Perang Tuak.
Baca juga: Kadar Wahabi Orang-orang Padri dalam catatan J.C. Boelhouwer (1831-1834)
Gerakan Harimau nan Salapan bukan perang memerangi kaum adat atau para niniak mamak dan panghulu. Tetapi memerangi aktivitas anggota masyarakat yang masih berjudi, sabuang ayam, mengisap candu, santo/tembakau yang tidak sejalan dengan syariat Islam.
“Dalam pandangan Tuanku nan Renceh dan ulama sepaham dengannya, orang Minang beragama Islam dan semua yang dilarang agama Islam harus ditinggalkan. Jika tidak, akan diperangi,” ujar Asbir Dt. Rajo Mangkuto.
Tuanku nan Renceh (1780-1833), ulama asal Kamang, Agam, dan anggota yang lain, semuanya adalah murid Tuanku nan Tuo, Koto Tuo, Balai Gurah, Ampek Angkek, Agam.
Tuanku nan Renceh dan anggota Harimau Nan Salapan memahami dukungan ulama senior sangat penting. Untuk itu, Tuanku nan Renceh meminta guru mereka: Tuanku nan Tuo, untuk menjadi pemimpin/imam pergerakan ini. Tuanku Nan Tuo menolak permintaan tersebut, karena gerakan para muridnya itu akan memaksa dijalankannya syari’at Islam di setiap nagari. Caranya, dengan kekuatan dan kekuasaan.
Tuanku Nan Tuo berpendapat, jika di suatu nagari telah ada orang beriman, meski hanya satu orang, nagari tersebut tidak boleh diserang. Lebih baik menguatkan peran dan pengaruh ulama di satu nagari, tanpa kekerasan. Pengaruh ulama ditujukan kepada para penghulu, imam, khatib, manti dan dubalang yang ada di nagari-nagari.
Kecewa dengan penolakan Tuanku nan Tuo, akhirnya Tuanku nan Renceh meminta Tuanku Mansiangan nan Mudo untuk menjadi imam meski tidak langsung menjadi pemimpin yang berada di depan.
Taktik Tuanku nan Renceh membuat Tuanku nan Tuo tidak bisa menghambat gerakan Harimau nan Salapan. Sebab, Tuanku Mansiangan nan Mudo adalah kemenakan dari Tuanku Mansiangan nan Tuo, yang adalah guru Tuanku nan Tuo, Koto tuo.
Keliru sejarah
Pengaburan penulisan sejarah dan catatan tentang Harimau nan Salapan menurut Asbir, perlu dijernihkan. Pertama, Harimau nan Salapan semuanya ulama dari Agam Tuo, dengan pimpinan Tuanku nan Renceh.
Kedua, para ulama: Tuanku Mansiangan nan Mudo, Haji Miskin (Tuanku Pandai Sikek), Imam Bonjol, Rao, Lintau, Barumun, Lintau (Tuanku Pasaman), dan Tuanku Tambusai bukan anggota dari pergerakan ini.
Ketiga, Harimau nan Salapan tidak memerangi kaum adat atau penghulu tetapi memerangi perilaku masyarakat yang tidak sesuai ajaran Islam.
“Periode gerakan Perang Tuak yang digerakkan Harimau nan Salapan berlanjut memerangi Belanda,” kata Asbir.
Tuanku nan Renceh mati ditembak Belanda dalam pertempuran di Kamang, 19 Juni 1833. Tuanku nan Renceh tidak digantikan Tuanku Imam Bonjol. Sebab, dalam perlawanan para ulama terhadap Belanda di Minangkabau, Imam Bonjol hanya salah seorang panglima perang. Imam Bonjol menjadi panglima perang dengan wilayah pertahanan di Palupuah, Agam dan memiliki benteng di Bonjol. Tuanku nan Renceh panglima perang untuk wilayah Agam Tuo, Tuanku Lintau panglima wilayah Tanah Datar.
Perang ini dicatat dalam sejarah dengan nama Perang Paderi, di mana kaum ulama bersama kaum adat dan masyarakat Minangkabau pedalaman melawan Belanda.
Imam Bonjol ditangkap Belanda, Oktober 1837 dengan janji bertemu untuk berunding, tetapi justru ditahan. Dan dibuang ke Jawa Barat, dan akhirnya diasingkan ke Minahasa dan meninggal di sana, 8 November 1864.
Perlawanan masyarakat Minangkabau, setelah Imam Bonjol ditangkap tidak berhenti. Para ulama bersama pemimpin adat, para penghulu terus melawan Belanda. Puncaknya tahun 1844, terjadi pemberontakan Batipuah. Masyarakat kalah dalam bertempur, tetapi tidak pernah tunduk dan mengakui kekuasaan Belanda.
~ asra f. sabri
~ Gambar fitur tiger-mczerrill-pixabay