Sumbar, bakaba.co – Tanam paksa kopi di pedalaman Minangkabau, wilayah darek –dimulai tahun 1840– akhirnya membuat produksi kopi melimpah. Setengah abad kemudian, tahun 1891, Kolonial Belanda terinspirasi membuka jalur kereta api di Sumatera Barat, waktu itu bernama Minangkabau.
Sebagaimana ditulis pada web Kereta Api Divre II Sumbar, rencana membangun rel kereta api di Sumbar awalnya hanya digunakan untuk distribusi kopi dari daerah pedalaman Agam/Bukittinggi, Payakumbuh, Tanah Datar dan Pasaman ke pusat perdagangan di Padang.
Ditemukannya batubara di Sawahlunto, tahun 1871, gagasan membangun rel kereta api oleh Belanda tidak lagi hanya untuk distribusi kopi. Belanda memulai membangun rel kereta api pertama dari Pulau Aie, Padang ke Padang Panjang, sepanjang 71 km. Selesai Juli 1891. Kemudian diteruskan ke Bukittinggi, sepanjang 19 km. Bulan November 1891 selesai.
Pembangunan rel kereta api tidak berhenti. Jalur Padang Panjang ke Solok, 53 km, siap Juli 1892. Dalam tahun sama Padang Panjang ke Muaro Kalaban, 56 km, selesai Oktober 1892. Dari Solok ke Muarokalaban, 23 km, dan jalur Padang ke Teluk Bayur, 7 km, selesai Oktober 1892. Sementara jalur Muarokalaban ke Sawahlunto, Padang Panjang dan Bukittinggi – Payakumbuh terkoneksi tahun 1896.
Jalur kereta api pengangkut batubara dibelokkan melewati Padang Panjang sehingga bertemu dengan jaringan rel dari Bukittinggi. Jalur ini sejajar dengan ruas jalan pedati yang dibuat Van Den Bosch di Lembah Anai yang berakhir di Pelabuhan Teluk Bayur..
Setelah jeda 10 tahun, kemudian dibangun pula jalur kereta api dari Lubuk Alung ke Pariaman, selesai tahun 1908. Diteruskan Pariaman ke Naras, selesai Januari 1911. Naras ke Sungai Limau tahun 1917. Jalur Payakumbuh ke Limbanang selesai Juni 1921. Jalur Muaro Kalaban ke Muaro Sijunjung diselesaikan tahun 1924.
Dalam rentang waktu 1891 sampai 1924, pembangunan jalan kereta api di Sumbar diselesaikan sepanjang 240 km, tulis Yuliansah Arbama Putra dalam blog tentang Sejarah Kereta Api di Sumatera.

Zaman kolonial
Di zaman kolonial Belanda, perkeretaapian di Sumbar berada di bawah Perusahaan Kereta Api Negara Sumatra Staats Spoorwegen (SSS). Setelah merdeka, 28 September 1945, dibentuk Djawatan Kereta api Republik Indonesia (DKARI). Beberapa perusahaan kereta api swasta bergabung dalam SS/VS, Staatsspoorwagen/Vereningde Spoorwagenbedrijf yakni gabungan perusahaan kereta api pemerintah dan swasta Belanda yang ada di Pulau Jawa dan DSM (Deli Spoorweg Maatschappij) yang ada di Sumatera Utara, masih menghendaki untuk beroperasi di Indonesia.
Kereta api di zaman Belanda, sampai tahun 1950 dijuluki Mak Itam. Sebutan itu mengacu pada warna lokomotifnya yang dicat hitam. Kereta api yang digerakkan dengan pembakaran kayu dan batubara, zaman itu, disebut kereta uap. Hasil pembakaran dari lokomotif mengepulkan asap hitam. Asap hitam, warna cat hitam, bermuatan dan pembakaran dengan batubara, kereta api di Sumbar juga disebut kereta batubara.
Era Merdeka
Awal kemerdekaan kereta api di Sumatera Barat masih mengunakan fasilitas peninggalan Belanda yang berfungsi sebagai sarana transportasi barang dan orang. Antara tahun 1945-1950 saat Indonesia mempertahankan kemerdekaan perusahaan kereta api tidak terurus. Fasilitas kereta api banyak yang rusak akibat perang Asia Pasifik. Bahkan banyak rel kereta api yang sebelumnya dibongkar Jepang dipergunakan untuk membangun rel kereta api di Burma.
Pada tahun 1950an kerajaan Belanda mengakui kedaulatan Indonesia. Perkeretaapian di Indonesia mulai bangkit. Di Sumbar transportasi kereta api mulai normal. Dan kereta tenaga uap berganti lokomotif diesel. Ketika perekonomian mulai berjalan baik. Kereta api mengangkut para pedagang yang membawa hasil tanaman palawija dari Bukittinggi, Padang Panjang dan Solok ke Padang. Dari Pariaman juga di angkut kopra. Dari Payakumbuh dibawa teh dan gambir.
Masa Bergolak
Dinas DKA memodernisasi teknologi kereta api. Kereta api tenaga diesel lebih efesien. Akhir tahun 1950-an kereta api kembali terganggu. Sumatera Barat bergejolak dengan adanya gerakan PRRI. Aktivitas kereta api tidak normal. Banyak penduduk diungsikan mengunakan kereta api. Persediaan makanan ke pedalaman juga memakai kereta api.
Mobilitas masyarakat umum melakukan perjalanan memakai kereta api turun drastis, baik dari ibukota provinsi, kota Padang ke berbagai daerah pedalaman Sumbar dan sebaliknya. Ada rasa tidak aman karena adanya pencegatan, juga sabotase terhadap sarana transportasi. Kondisi yang tidak kondusif itu terpaksa kereta api berhenti beroperasi beberapa pekan.
Setelah pergolakan daerah berakhir awal 1960-an, peran kereta api sebagai alat transportasi umum dan barang, tidak membaik. Ada beberapa faktor penyebab, antara lain kondisi loko kereta api banyak yang rusak, teknisi untuk memperbaiki minim. Juga terjadinya penurunan produksi batu bara di Ombilin sehingga kereta api tidak ada muatan.
Era Diesel
Di tahun 1963, Djawatan Kereta api Republik Indonesia (DKARI) berubah menjadi Perusahaan Negara Kereta api (PNKA). Untuk mengelola perkeretaapian di Sumatera Barat, dibentuklah PNKA Eksploitasi Sumatera Barat (PNKA ESB). Perubahan yang bertujuan meningkatkan pelayanan kereta api, tidak terwujud. Dua tahun kemudian, 1965, meletus pemberontakan G 30 S. Situasi di Sumbar tidak aman, sebagaimana terjadi di daerah lain di Indonesia.
Makin banyak kendaraan bermotor, yang lebih efisien membuat fungsi kereta api di Sumbar makin turun. PNKA sebagai penyedia jasa angkutan kereta api dikalahkan oleh kendaraan bermotor yang berseliweran di jalan raya.
Di bawah manajemen PNKA, perkeretaapian Sumbar telah dilakukan moderenisasi teknologi kereta api. Dari sistem tenaga uap, lokomotif diganti diesel. Lokomotif diesel BB 300 produk pabrik Krupp Jerman. Ketika PNKA berubah jadi PJKA dibeli lokomotif BB 303 dan BB 306 dari Henschel Jerman untuk lintas nongerigi. Sementara lintasan bergerigi lokomotif khusus dibeli yakni loko BB 204 menggantikan lokomotif uap legendaris E10 dan D18.
Pada tahun 1982 sampai 1993 kereta api dikelola PJKA. Setelah itu perusahaan beralih status dengan nama PERUMKA (Perusahaan Umum Kereta Api).

Pada awal tahun 80an, volume angkutan kereta api, khususnya batubara dan minyak sawit serta semen curah, kembali meningkat. Lokomotif baru didatangkan. Puncaknya terjadi saat menjelang akhir tahun 90an. Volume angkutan batubara mencapai lebih dari 1 juta ton/tahun. Langsung dari mulut tambang Ombilin, batubara dibawa ke pelabuhan Teluk Bayur dan pabrik Semen Padang.
Perusahaan kereta Api kembali berganti nama dari Perusahaan Negara Kereta Api (PNKA) menjadi Perusahaan Jawatan Kereta Api (PJKA) pada tahun 1971 sesuai dengan PP No 61 tahun 1971. Perubahan kembali terjadi pada tahun 1990 dengan PP. No. 57 tahun 1990 status perusahaan jawatan diubah menjadi perusahaan umum sehingga PJKA berubah menjadi Perusahaan Umum Kerata Api (Perumka). Sekarang, sejak 1991, PERUMKA berubah lagi jadi PT. Kereta Api Indonesia (Persero) atau PT. KAI. Perubahan itu berdasarkanKepres 39/1999, 1 Juni 1999. PT. KAI mengoperasikan kereta api kelas Bisnis, Eksekutif, Ekonomi dan kelas khusus secara komersil. Untuk Sumbar, perkeretaapian di bawah wewenang PT. KAI Divisi Regional II Sumatera Barat.
Baca juga: Excavator Akhiri Keberadaan Ratusan Penyewa Lahan Stasiun
Era Suram
Era keemasan kereta api di Sumbar semakin suram sejak tahun 2000an. Penurunan produksi batubara, berhentinya angkutan minyak sawit dari Pariaman membuat operasional kereta api mengecil. Yang masih berjalan kereta api wisata dari Padang ke Pariaman, pengangkutan semen dari Semen Padang ke Teluk Bayur.
Jalur kereta api Padang Panjang ke Bukittinggi, terus ke Payakumbuh sejak tahun 70an sudah terbengkalai. Tidak ada lagi kereta api melintas. Bahkan rel sudah ditutupi bangunan, dan aspal.
Sejak tiga tahu lalu, 2014, ada program pemerintah, membuka kembali semua jalur yang pernah ada Sumbar secara bertahap. Program strategis nasional itu sudah dimulai. Jalur kereta api ke Bukittinggi, terus ke Payakumbuh direncanakan mulai dikerjakan tahun 2018.
Tanda-tanda akan kembali berjaya kereta api di Sumatera Barat mulai terlihat.
asra f. sabri | bakaba
Gambar oleh Liselotte Brunner dari Pixabay